NovelToon NovelToon
Pewaris Sistem Kuno

Pewaris Sistem Kuno

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Spiritual / Sistem / Kultivasi Modern
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ali Jok

Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.

Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.

Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku, Anak Sungai, dan Cincin yang Tiba-Tiba Bicara

Kebanyakan anak yatim piatu dapat warisan foto usang atau surat penuh rindu. Aku? Aku dapat sebuah kalung dan seluruh aliran Sungai Brantas. Cukup adil, kurasa.

Namaku Jaka. Dan ini bukan cerita tentang bagaimana aku membantu memanen padi, meskipun itu yang kulakukan hampir setiap hari. Ini adalah cerita tentang bagaimana aku menemukan bahwa diriku bukanlah sekadar pemuda desa biasa, dan dunia ini jauh lebih aneh, lebih tua, dan lebih berbahaya daripada yang diajarkan oleh dongeng pengantar tidur.

Semuanya berawal dari sungai. Bagaimanapun juga, bagiku, semuanya selalu berawal dari sungai.

Desa Sukoharjo di Tulungagung adalah tempatku besar. Bayangkan permadani hijau yang ditenun dari sawah dan perbukitan, lalu di tengah-tengahnya, Sungai Brantas mengalir seperti urat nadi raksasa yang berdenyut pelan. Bagiku, dia lebih dari sekadar air. Dia adalah ibu, penjaga, dan teka-teki terbesar dalam hidupku. Bu Parmi, wanita yang sudah seperti ibu kandung bagiku, selalu bercerita bahwa dia menemukanku masih bayi, terombang-ambing dalam keranjang rotan yang nyaris tenggelam. Satu-satunya petunjuk adalah kalung sederhana dengan nama "Jaka" yang tergantung di leherku. Jadi, ya, secara teknis aku adalah "anak sungai". Kalau Percy Jackson anak dewa Yunani, aku mungkin anak dewa... eh, tukang piara kali, mungkin.

Pagi itu dimulai seperti biasa: lebih pagi dari yang diinginkan siapa pun. Aku sudah menyapu halaman gubuk kami yang sederhana dan mengambil air dari sungai sebelum matahari memutuskan untuk muncul.

"Ibu, airnya sudah siap," kataku kepada Bu Parmi yang sedang sibuk di dapur.

Wajahnya yang penuh keriput merekah menjadi senyum. "Terima kasih, Nak. Kau selalu saja lebih cepat dari ayam jago."

Aku hanya mengangkat bahu. Bagaimana bisa aku membalas kebaikan wanita yang menyelamatkan nyawaku dari sungai? Aku membantu sebisa mungkin. Itu saja yang bisa kulakukan.

Setelah menyantap sarapan nasi dan lauk seadanya, aku bergegas ke sawah Pak Karto. Membantunya adalah rutinitas. Matahari mulai menghangatkan kulit sawo matangku, dan hamparan padi yang menguning seolah berbisik, "Panen lagi, panen lagi." Desa kami sangat menghormati Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan. Setiap musim panen, ada upacara Sedekah Bumi yang meriah. Aku sering ikut menyiapkan sesajen, tumpeng besar dengan segala hasil bumi. Aku sih lebih memfokuskan diri pada bagian "menyantap"-nya setelah upacara selesai.

"Selamat pagi, Pak Karto!" sapa ku, mencoba menyembunyikan kantuk yang masih tersisa.

"Pagi, Nak Jaka! Lihatlah! Dewi Sri lagi baik hati tahun ini!" sahutnya dengan semangat.

Aku mengangguk sambil mengamati sawah. Aku menghargai kepercayaan mereka, meski kadang aku bertanya-tanya. Jika dewa-dewa begitu perkasa, apakah mereka benar-benar peduli dengan tumpeng yang kita berikan?

Seharian aku membantu memotong dan mengikat padi. Tanganku yang sudah terlatih bekerja dengan efisien. Para petani lain selalu menyapaku. Mereka mengenalku sebagai Jaka, si anak sungai yang baik hati dan suka menolong. Aku tidak protes. Lebih baik dikenal karena itu daripada dikenal sebagai anak yang malas, bukan?

"Terima kasih, Nak. Ini untukmu," kata Pak Karto sore itu, menyodorkan beberapa ikat padi.

"Tidak perlu, Pak," tolakku, seperti biasa. "Desa ini sudah memberiku rumah. Ini hal paling kecil yang bisa kulakukan."

Seperti ritual harianku, setelah pekerjaan selesai, aku berjalan menyusuri tepi Sungai Brantas. Ini adalah saat di mana aku merenung. Aku akan memandangi air yang tak pernah berhenti mengalir, memegang kalung di leherku, dan bertanya-tanya: Dari mana aku berasal? Siapa orang tuaku? Apakah mereka melemparku ke sungai karena putus asa atau untuk menyelamatkanku? Kekosongan itu selalu ada, seperti lubang di tengah hatiku yang tidak bisa diisi oleh kasih sayang Bu Parmi atau keramahan warga desa.

Sore itu, sesuatu yang berbeda terjadi.

Mataku menangkap kilauan samar di antara lumpur dan batu di tepian. Awalnya kupikir cuma pecahan kaca atau kaleng bekas. Tapi ada sesuatu yang memanggilku. Bukan suara, tapi lebih seperti... getaran.

Dengan penasaran, aku berjongkok dan mengais-ais lumpur itu. Dan di sana, tersembunyi selama siapa tahu berapa lama, ada sebuah cincin.

Bukan cincin biasa. Ini terbuat dari perunggu kuno, penuh dengan ukiran aksara Jawa yang rumit yang sama sekali tidak bisa kubaca. Itu terasa tua. Sangat tua.

Saat jari-jariku menyentuhnya, dunia di sekitarku... berhenti.

Bukan, sungguhan. Suara gemericik air yang selalu menenangkanku tiba-tiba lenyap, seperti seseorang mematikan saklarnya. Desa angin menghilang. Semuanya hening, kecuali dentuman jantungku yang berdebar kencang di dalam telingaku.

Lalu, sebuah suara. Bukan dari telingaku, tapi langsung muncul di dalam kepalaku. Suara itu terdengar seperti batu kali yang saling bergesekan, tua dan penuh wibawa.

"Akhirnya... setelah sekian lama menanti."

Aku langsung melompat ke belakang, hampir saja terjatuh ke sungai. Kepalaku menoleh ke segala arah. Tidak ada siapa-siapa! Kucubit lenganku. Tidak, aku tidak tidur.

"Siapa di sana?" teriakku, suaraku lebih tinggi dari yang kuharapkan.

"Tenang, Pewaris," kata suara itu lagi, terdengar agak kesal, seperti guru yang kesulitan menghadapi murid yang lambat. "Aku ada di dalam kepalamu. Lebih efisien. Tidak perlu berteriak."

"Di dalam... kepalaku?" kataku pelan, merasa sangat bodoh karena sedang berbicara dengan diriku sendiri. "Aku mulai gila. Ini karena terlalu banyak terpapar matahari."

"Bukan gila. Diaktifkan. Namaku Mar. Aku adalah sistem penjaga memori leluhurmu. Dan kau, Jaka, adalah orang yang kami tunggu."

Aku menatap cincin yang masih kugenggam erat. Itu terasa hangat, seperti benda hidup. "Leluhur? Kau pasti salah orang. Leluhurku adalah sungai dan keranjang rotan!"

"Kalung di lehermu bukan sekadar nama, Jaka," suara Mar itu terdengar lebih lembut. "Itu adalah kunci. Dan cincin ini... adalah pembukanya. Darah yang mengalir dalam nadimu adalah darah penjaga. Leluhurmu adalah orang-orang kuat yang menjaga keseimbangan dunia ini, jauh sebelum dewa-dewa dari gunung dan laut yang kau dengar dalam dongeng menjadi populer."

Pikiranku berputar kencang. Ini seperti dongeng Ki Ageng Suroloyo dan tuyul-tuyulnya yang diceritakan para orang tua, tapi kali ini... nyata. Aku teringat pada semua cerita aneh yang pernah kudengar.

"Dunia keseimbangan yang dijaga leluhurmu sedang goyah," lanjut Mar, suaranya serius. "Kegelapan mengintai dari bayang-bayang masa lalu. Dan kau, satu-satunya keturunan langsung dari garis utama, adalah harapan untuk mencegahnya."

Aku melihat ke arah Desa Sukoharjo yang damai di kejauhan. Aku melihat atap gubukku tempat Bu Parmi sedang menyiapkan makan malam. Aku melihat sawah yang menghidupi semua orang. Sebuah perasaan aneh, campuran antara ketakutan dan tanggung jawab, menggelora di dadaku. Apakah mungkin? Apakah aku, Jaka, si anak sungai, bisa melakukan sesuatu untuk melindungi semua ini?

"Kegelapan seperti apa?" tanyaku, suaraku bergetar.

"Kau sudah merasakannya, Jaka. Dalam mimpi burukmu. Dalam perasaan hampa yang kau rasakan. Itu adalah gema dari ketidakseimbangan itu. Tapi untuk memahaminya, kau harus belajar melihat dan mendengar apa yang tidak bisa dilihat dan didengar orang biasa."

Aku menarik napas dalam-dalam. Ini gila. Ini sangat gila. Tapi entah mengapa, di lubuk hatiku yang paling dalam, ini terasa... benar. Seperti puzzle yang akhirnya menemukan potongan terakhirnya, meski gambarnya ternyata jauh lebih besar dan lebih menakutkan dari yang kubayangkan.

"Oke," gumamku, mencoba untuk tidak pingsan. "Oke, katakanlah aku percaya padamu. Apa yang harus kulakukan pertama kali?"

"Pelajaran pertama: belajar mendengarkan. Benar-benar mendengarkan. Pegang erat cincin itu. Pejamkan matamu. Apa yang kau dengar sekarang?"

Aku mematuhinya. Awalnya, yang kudengar hanyalah keheningan yang aneh. Lalu, perlahan-lahan, suara sungai kembali, tapi berbeda. Aku tidak hanya mendengar gemericik air. Aku mendengar kata-kata. Seperti bisikan-bisikan kuno, narasi panjang Sungai Brantas yang menceritakan sejarah, tentang kerajaan yang hilang, tentang pertempuran, tentang cinta dan air mata. Aku juga mendengar desisan angin yang membawa pesan dari pepohonan, dan getaran tanah di bawah kakiku yang berdenyut penuh kehidupan.

"Mereka adalah suara leluhur, Jaka. Suara alam. Hanya mereka yang memiliki darah istimewa yang dapat mendengarnya. Selamat datang di dunia yang sebenarnya."

Saat aku membuka mataku, segalanya terlihat sama, tapi terasa sama sekali berbeda. Warna hijau daun terlihat lebih hidup, udara terasa lebih tajam, dan sungai di depanku bukan lagi sekadar air, tapi sebuah entitas yang hidup dan bernapas. Perasaan hampa yang selama ini menggerogotiku perlahan mulai terisi oleh sebuah tujuan yang besar dan sedikit keterpaksaan.

"Jadi, ini artinya aku akan menemukan jawaban tentang siapa diriku?" tanyaku penuh harap.

"Semua akan terjawab dalam waktunya. Tapi bersiaplah, Pewaris. Jawabannya mungkin bukan sesuatu yang kau harapkan. Sekarang, pulanglah. Bu Parmi menunggumu. Dan ingat, jaga rahasia ini. Kegelapan juga memiliki telinga."

Aku berjalan kembali ke gubuk dengan perasaan campur aduk. Cincin itu terasa hangat di jari tengahku, mengingatkanku bahwa ini bukan mimpi.

"Di mana saja kau, Le? Makan malam sudah siap!" sapa Bu Parmi saat aku tiba.

Aku tersenyum, berusaha tampak normal. "Hanya berjalan-jalan di tepi sungai, Ibu." Dan berbicara dengan sebuah sistem kuno di kepalaku. Hal yang biasa.

Saat kami makan, aku memperhatikan wajah Bu Parmi. Apakah dia tahu? Apakah ada rahasia lain yang disembunyikannya dariku?

Malam itu, ketika bulan purnama bersinar terang, aku berdiri di luar. Cincinku berdenyut lembut, menanggapi cahaya bulan.

"Bulan purnama memperkuat hubungan," kata Mar. "Lanjutkan pelajaranmu. Cobalah untuk tidak hanya mendengar sungai, tapi juga menyapanya."

"Menyapanya? Bagaimana caranya?"

"Dengan pikiranmu. Alam tidak memahami bahasa mulut, tapi memahami niat."

Aku memejamkan mata dan berkonsentrasi. Halo? pikirku, merasa sangat konyol.

Untuk sesaat, tidak ada yang terjadi. Lalu, sebuah perasaan hangat dan penerimaan mengalir dari arah sungai, seperti pelukan yang lembut. Aku tersenyum. Ini gila, tapi juga... keren.

Saat aku akhirnya beranjak tidur, cincin itu masih terasa hangat. Mimpiku dipenuhi oleh bayangan masa lalu dan bisikan masa depan. Aku bermimpi tentang kekuatan yang tertidur di tanah Jawa, menunggu untuk dibangunkan oleh seorang anak yang tidak tahu apa-apa.

Keesokan paginya, segalanya terlihat sama. Tapi bagiku, semuanya berbeda. Aku bukan lagi hanya Jaka, si anak sungai. Aku adalah seorang Pewaris, seorang Penjaga. Dan seperti yang Percy Jackson temukan, begitu petualangan dimulai, tidak ada jalan untuk kembali.

Hidup lamaku sudah berakhir. Petualangan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Dan bersamanya, datanglah semua bahaya yang kutunggu-tunggu dan takuti selama ini.

1
ShrakhDenim Cylbow
Ok, nice!
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
ShrakhDenim Cylbow: Bagoos💪
total 2 replies
Marchel
Cerita yang bagus lanjutkan kak..
Ali Asyhar: iyaa kak terimakasih dukungannya
total 1 replies
Ali Asyhar
semoga cerita ini membuat pembaca sadar bahwa mereka penting untuk dirinya
T A K H O E L
, , bagus bro gua suka ceritanya
bantu akun gua bro
Ali Asyhar: oke bro
total 5 replies
Ali Asyhar
otw bro
Vytas
semangat up nya bro
Vytas
mampir juga bro,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!