NovelToon NovelToon
Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”

Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.

Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 — Lift Pertama

Pintu ruang bawah tanah terasa berat, terbuat dari kayu tebal yang lapuk dan berbau jamur. Reina dan Naya harus mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk mendorongnya. Engselnya berderit panjang, memecah keheningan malam dan mengirimkan gema menakutkan ke seluruh Gedung Lama.

“Ini benar-benar kayak film horor,” bisik Naya, tangannya mencengkeram lengan Reina dengan kuat.

“Pegang sentermu,” perintah Reina, menyalakan senter ponselnya dan menyorot ke bawah.

Mereka disambut oleh kegelapan total dan udara yang sangat pengap, berbau tanah basah, pipa berkarat, dan sesuatu yang mirip belerang. Sebuah tangga beton spiral yang sempit menurun curam, menuju ke kedalaman yang tidak terlihat.

Mereka mulai menuruni tangga itu perlahan. Setiap langkah terasa tidak stabil. Bayangan mereka menari-nari di dinding basah, membuat Reina merasa seolah mereka sedang diikuti.

“Reina… kenapa di sini bau kayak… bau kamar mandi lama? Tapi lebih kotor,” bisik Naya, napasnya tersengal.

“Mungkin ini benar-benar ruang boiler,” jawab Reina. Tetapi ia tahu, di balik bau itu, ada sesuatu yang lebih kuno, lebih tersembunyi. Tempat ini terasa tua—bukan tua secara arsitektur, tapi tua secara waktu.

Setelah menuruni tangga selama beberapa menit yang terasa seperti selamanya, mereka tiba di dasar.

Itu adalah koridor sempit, lebih mirip terowongan, dengan langit-langit yang rendah. Pipa-pipa tebal, berlumut, tergantung di atas kepala mereka.

“Kita harus cepat. Sebelum Daren...”

“Daren nggak akan ke sini, Rei,” potong Naya. “Rasa bersalahnya terlalu besar. Dia nggak akan mau mengakui dosanya di tempat yang Aksa inginkan.”

Reina mengangguk. Daren sudah tereliminasi. Sekarang hanya mereka berdua dan petunjuk dari Aksa.

Mereka berjalan mengikuti terowongan itu. Di ujung terowongan, cahaya senter Reina menangkap sesuatu yang besar dan berbentuk persegi.

Itu adalah sebuah ruang terbuka yang besar, dikelilingi oleh dinding batu bata merah yang ditumbuhi akar-akar kecil. Di tengah ruangan, berdiri sebuah kotak besi besar, hitam, dan berkarat.

Itu adalah Lift Pertama.

Lift itu terlihat sangat primitif. Tidak ada pintu otomatis. Hanya ada semacam kandang besi yang tebal, dengan katrol raksasa di atasnya. Di depan kandang itu, terpasang sebuah panel tombol kuningan yang sudah hampir menghitam.

Panel tombol itu hanya memiliki empat tombol: L1 (Lantai 1), L2 (Lantai 2), L3 (Lantai 3).

Dan, tepat di atas L3, ada sebuah tombol berkarat yang dipaku. Paku itu besar dan tebal, tertancap tepat di tengah tombol.

Itu adalah tombol ‘7’.

Reina dan Naya berhenti di depan lift itu. Suasana di sini sangat hening, tidak ada suara dengungan listrik, tidak ada suara pipa. Hanya suara air yang menetes di suatu tempat.

“Ini dia,” bisik Reina.

Naya menelan ludah. “Itu beneran tombol 7. Dipaku. Ini kayak di film-film yang tombol terlarang itu.”

Reina mendekat. Ia menatap tombol 7 yang berkarat itu. Paku itu terlihat sangat tua, seolah sudah ada di sana selama puluhan tahun.

Ia ingat kata-kata Aksa: Aku membuat kuncinya menjadi memori yang paling jauh. Memori yang paling tidak ingin aku ingat.

“Kunci untuk menutup lantai itu,” gumam Reina.

“Kenapa harus dipaku?”

“Mungkin Aksa yang memaku. Agar tidak ada yang bisa menekannya,” kata Naya.

Reina tidak menjawab. Ia mengulurkan tangannya, ragu sejenak. Jika ini kuncinya, dia harus menyentuhnya. Jika ini jebakan, mereka akan hilang seperti Zio.

Ia ingat Zio. Ia ingat Aksa. Ia ingat wajah Daren yang penuh rasa bersalah.

Kau adalah pintu keluarnya.

Reina menyentuh panel tombol yang dingin itu. Ia menggerakkan jari telunjuknya, menyentuh lembut paku yang tertancap di tombol ‘7’.

Tepat saat jari Reina menyentuh kepala paku yang berkarat itu—

KLIK!

Semua lampu senter di ponsel mereka tiba-tiba mati. Kegelapan total langsung menelan mereka.

“Rei! Jangan! Jangan gelap!” Naya menjerit, tangannya meremas lengan Reina dengan kekuatan luar biasa.

Reina merasakan ketakutan yang mencekik, kegelapan ini terasa lebih pekat dari yang ada di lift Gedung Lama.

Lalu, dari sudut ruangan, dari semacam speaker tua yang tersambung pada kabel tebal yang melilit di dinding, terdengar suara.

Bukan suara statis. Bukan suara gema.

Itu adalah suara Aksa. Suara yang sangat dikenali Reina, suara Aksa dua tahun lalu.

Suara itu terdengar panik, terengah-engah, seperti sedang berlari kencang.

“Reina! Jangan! Aku tahu kamu di sana! Kamu nggak boleh ke sini!”

Naya berteriak ketakutan.

Reina membeku. Aksa. Itu adalah Aksa, yang sedang berbicara dari masa lalu, atau dari dimensi itu. Aksa yang terjebak di suatu tempat.

“Aku tahu kamu di Lift Pertama! Tapi itu bukan kuncinya! Itu jebakan! Mereka akan menyerapmu! Daren yang membawaku ke sana! Ruangan ini menyerap suara!” teriak Aksa, suaranya kini semakin memohon.

Reina merasakan air matanya menetes. Aksa ada di sini. Di dimensi yang lain.

“Kak Aksa! Aku di sini! Aku bawa jurnalku! Aku tahu kamu yang bikin ini!” Reina berteriak ke dalam kegelapan, ke arah suara speaker itu.

Keheningan sesaat.

Lalu, suara Aksa kembali, kini lebih pelan, lebih putus asa.

“Aku harus bikin ini berhenti, Rei. Aku harus pakai kamu sebagai exit. Ruangan ini... ini ruang pemurnian. Ini hanya butuh satu pengakuan dosa sesungguhnya. Dan aku nggak bisa ngaku. Aku terlalu takut.”

“Apa yang kamu takutkan, Aksa? Kamu nggak membunuh siapa-siapa!” Reina membalas.

Suara Aksa bergetar, kini terdengar penuh penyesalan.

“Aku nggak membunuh! Tapi aku mencuri, Rei! Aku mencuri identitas yang lain. Aku memakai rasa bersalah Daren buat nutup dimensi ini. Aku harusnya jadi korban! Bukan Daren! Aku yang harusnya mengakui dosa ini!”

Reina menyadari. Dosa terbesar Aksa bukan tentang eksperimen. Dosa terbesarnya adalah mengeksploitasi Daren yang sedang trauma, menjadikannya generator.

Tiba-tiba, suara Aksa terpotong. Digantikan oleh bunyi yang mengerikan.

BZZZZZZT… KREK!

Bunyi mesin tua yang menyala.

Dan perlahan, Lift Pertama itu menyala. Bohlam tua di atasnya berkedip-kedip.

Reina dan Naya terkesiap. Mereka melihat Lift itu bergerak pelan. Kandang besi tua itu naik, dan berhenti di depan mereka.

Panel tombol kuningan itu bergetar. Paku yang menancap di tombol ‘7’ itu tiba-tiba terdorong keluar dengan bunyi gesekan besi. Paku itu jatuh ke lantai batu bata dengan bunyi Ting! yang nyaring.

Tombol ‘7’ itu menyala. Merah, merah darah, stabil, dan terang.

Dinding di belakang lift itu mulai bergerak.

Bukan dinding semen atau batu bata. Dinding itu adalah cermin buram yang sangat besar. Cermin itu memantulkan wajah Reina dan Naya yang ketakutan.

DAN DI DALAM CERMIN ITU, DI PANTULAN DINDING DI BELAKANG MEREKA, ADA WAJAH AKSALAH YANG TERPERANGKAP.

Wajah Aksa yang menangis, bibirnya bergerak tanpa suara, memohon, dan menunjuk ke tombol '7' yang menyala.

Naya menjerit histeris. Ia langsung lari kembali ke tangga spiral.

Reina tetap berdiri. Ia menatap wajah kakaknya di cermin. Ia memegang jurnal Aksa.

Aksa ingin dia menjadi Exit. Aksa ingin dia menekan tombol itu, mengakui dosa, dan menghentikan segalanya.

Tombol ‘7’ itu, kini bebas dari paku, menyala merah darah, memanggilnya.

Reina melangkah maju, tangannya terulur ke tombol itu. Ia harus menghentikan pertukaran jiwa. Ia harus menyelamatkan Zio dan Aksa.

Tepat saat jarinya hampir menyentuh tombol itu, ia mendengar suara gemerisik dari celah pintu Lift Pertama.

Sebuah amplop tua, yang sama persis dengan yang ia temukan, terdorong keluar. Amplop yang sudah lusuh, tertutup rapat.

Itu adalah surat lain dari Aksa.

Reina berlutut dan mengambil amplop itu, mengabaikan tombol 7 yang menyala di depannya.

Ia merobeknya. Kali ini, tulisannya rapi.

Reina. Jika kamu membaca ini di Lift Pertama—aku sudah gagal. Ini adalah kurban terakhir. Jangan tekan 7. Anggap saja tombol ini tidak pernah ada.

Reina menatap tombol 7, yang bersinar merah, memanggilnya.

Aksa. Daren. Mereka semua korban dari ilusi ini.

Dan Reina, kini berdiri di depan Exit atau Kurban terakhir.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!