"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Kau Pergi, Aku Mati
Malam itu, saat Rafael tertidur lelap di samping Mila yang terus menggigil dalam mimpinya, dua sosok tua bergerak diam-diam di dalam kegelapan rumah.
Matteo memandang istrinya, Rosa, yang wajahnya pucat dan nafasnya masih tersengal, namun matanya penuh tekad besi.
“Kita harus melakukannya, Amore mio,” bisik Matteo, meraih tangan Rosa yang dingin. “Untuk anak-anak kita. Untuk cucu-cucu kita.”
Rosa mengangguk pelan, air mata diam-diam mengalir di pipinya yang keriput. Mereka meninggalkan rumah seperti dua hantu, menyusuri jalanan Mareluna yang tertutup salju, menuju stasiun kereta yang sepi.
Mereka akan pergi ke Roma. Untuk berlutut di depan Leonardo Romano. Ini adalah pengorbanan terakhir mereka.
...🌊🌊🌊...
DI KEDIAMAN ROMANO, ROMA
Leonardo hampir saja berangkat ke kamar tidurnya ketika seorang pelayan membisikkan sesuatu padanya. Alisnya naik.
“Matteo? Mantan sopirku? Dan istrinya?” Ada sedikit rasa penasaran yang jahat dalam suaranya. “Persilakan mereka masuk.”
Di ruang tamu megah yang membuat Matteo dan Rosa merasa seperti kotoran, mereka berdiri. Leonardo duduk di kursi singgasananya, menatap mereka dengan pandangan merendahkan.
“Jadi, si pelayan tua kembali,” sambutnya dingin.
Tanpa basa-basi, Matteo menyeret tubuhnya yang tua dan berlutut di lantai marmer. Rosa, dengan susah payah, mengikutinya.
“Signore Romano.” Suara Matteo gemetar. “Kumohon ... kembalikan cucu-cucu kami. Dan kami ... akan menghilang. Anda tidak akan pernah melihat kami lagi.”
Leonardo tertawa. Tertawa lebar dan sinis yang menggema di ruangan besar itu.
“Kalian akan menghilang?” ulangnya, mengejek. “Kalian pikir semudah itu? Anak kalian ... nelayan brengsek itu ... telah merusak putriku! Dia membuatnya gila!”
Matteo menunduk lebih dalam, menahan penghinaan itu. Tapi Leonardo belum selesai.
“Kau ingat, Matteo?” Suaranya tiba-tiba rendah dan berbahaya. “Hari itu. Hari aku ada perjanjian penting dengan klien. Dan kau ... tidak ada di posisimu. Kau kabur karena istrimu akan melahirkan gadis kecil yang menyebalkan itu.”
Rosa menangis tersedu-sedu, mengingat hari yang menyakitkan itu. Hari dimana suaminya ada saat dia melahirkan tapi harus dipecat sebagai sopir Romano yang gajinya jelas sangat besar.
Tapi Matteo mengangkat kepalanya. Ada api kemarahan yang lama tertahan di matanya.
“Dan Anda, Tuan.” Suaranya tiba-tiba lebih tegas. “Dimana Anda malam itu? Saya ingat ... Anda menyuruh saya berjaga di depan pintu. Sementara Anda berada di kamar pelayan, Gia.”
Diam yang mematikan.
Wajah Leonardo berubah merah padam. Rahangnya mengeras. Rahasia terkelupas oleh mantan sopirnya sendiri.
Dengan gerakan cepat, Leonardo bangkit dan menampar Matteo dengan keras.
PLAK!!!
“KELUAR DARI PANDANGANKU, KAU YANG MENJIJIKKAN!”
Matteo terjatuh.
Rosa berteriak, merangkak mendekati suaminya. Dengan sisa kekuatan, dia membantu Matteo berdiri. Mereka berjalan tertatih keluar dari istana itu, meninggalkan Leonardo yang masih gemetar oleh amarah dan rasa malu.
Di perjalanan pulang, Rosa bersandar pada Matteo. “Haruskah kita ... mengambil jalan lain itu?” bisiknya, merujuk pada rencana darurat yang lebih berisiko.
Matteo menggelap, matanya penuh dengan keputusasaan yang berubah jadi tekad baja. “No. Belum saatnya. Tapi ketika waktunya tiba … dia kan bertindak sendiri.”
...🌊🌊🌊...
DI KEDIAMAN RINALDI, MARELUNA
Sementara itu, neraka lain sedang berlangsung. Giada telah kehilangan akal sehatnya. Dia tidak mau meninggalkan lantai ruang tamu, tempat terakhir dia melihat anak-anaknya. Tubuhnya yang sudah kurus kering kini menggigil tak henti di lantai dingin.
“Anak-anakku ... kembalilah padaku …,” gumamnya terus menerus, seperti mantra orang gila.
Marco mencoba membujuknya, memohon padanya untuk pindah ke kasur. “Amore, kumohon ... kau akan sakit.”
Tapi Giada seperti tidak mendengar. Dia telah tenggelam dalam lautan keputusasaan.
Setelah seminggu penyiksaan batin yang tak terkira, sebuah keajaiban—atau mungkin lanjutan dari kekejaman—terjadi.
Saat fajar menyingsing, dua keranjang kecil diletakkan di depan pintu rumah Rinaldi. Di dalamnya, terbaringlah bayi kembar laki-laki Giada. Mereka masih hidup, tapi kulit mereka pucat, nafasnya tersengal, dan demam tinggi membakar tubuh mungil mereka.
Giada, yang tertidur lelah di lantai, terbangun oleh tangis lemah. Matanya terbuka lebar. Saat melihat apa yang ada di depan matanya, sebuah jeritan yang bukan lagi dari dunia ini keluar dari mulutnya.
“I MIEI BAMBINI!”
*ANAK-ANAKKU!
Dia merangkak, lalu memeluk kedua bayinya erat-erat, menciumi, memeriksa, dan menangis tak terkendali.
Marco bergegas mendekat, air mata kebahagiaan dan kecemasan bercampur saat dia melihat kondisi anak-anaknya yang sakit. Dia berjanji dalam hati akan mengobati mereka sampai sembuh, berapapun biayanya.
Kabar itu sampai ke keluarga De Luca. Rosa, Matteo yang baru kembali, Rafael, dan Mila yang masih lemah, semua bergegas ke rumah Rinaldi.
Pemandangan yang menyedihkan menyambut mereka. Giada yang kurus dan tak berdaya memeluk anaknya, Marco yang lelah, dan dua bayi yang mungil dan sakit.
Rafael berdiri di pintu, hancur. Matanya menatap keluarganya yang porak-poranda. Dia mendekat, lalu jatuh berlutut di tengah ruangan.
“Ini semua salahku,” isaknya, suaranya pecah oleh penyesalan yang dalam. “Jika saja aku tidak pernah menggenggam tangan gadis kota itu ... Serafina Romano ... tidak satupun dari ini yang akan pernah terjadi.”
Dia menangis, menyalahkan dirinya sendiri sebagai akar dari semua malapetaka yang menimpa orang-orang yang paling dia cintai.
Rantai penderitaan yang dipicu oleh obsesi dan dendam telah membelit keluarganya erat-erat, dan Rafael merasa dialah batu pertama yang membuat semua ini bergulingan.
...🌊🌊🌊...
Panggilan itu datang seperti bisikan iblis di tengah keputusasaan Rafael. Isabella, istri Leonardo, akhirnya turun tangan.
Dengan bantuan orang kepercayaan keluarganya, dia menyelundupkan Serafina yang nyaris hilang akal itu ke sebuah vila rahasia miliknya—sebuah tempat tersembunyi yang bahkan tidak Leonardo ketahui, warisan dari keluarga Isabella sendiri.
Untuk Rafael, ini adalah panggilan terakhir. Titik akhir. Dia akan menemui Serafina, melampiaskan semua amarah, rasa sakit, dan kekecewaannya, lalu mengakhiri segalanya untuk selamanya. Hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu.
Dengan motor sport-nya, ia melaju menuju vila yang terpencil. Jalan berliku dan licin, tapi anehnya, telah dibersihkan oleh orang-orang bayaran Isabella, memastikan jalannya lancar. Sebuah kemewahan yang ironis di tengah niatnya yang putus asa.
Saat ia memasuki gerbang vila megah itu, suasana sunyi dan mewah menyambutnya. Hanya ada Serafina. Mungkin dia diantar taksi atau mobil sewaan.
Dan di sana, di tengah ruang tamu luas dengan lantai marmer dan kaca patri, Serafina sedang menari.
Bukan tarian elegan yang dulu dia pelajari di sekolah ballet-nya yang mahal. Ini adalah tarian kegilaan. Tubuhnya meliuk-liuk tak beraturan, tangan menjangkau udara kosong, rambutnya yang tergerai berputar seperti pusaran.
Gaun putih longgar yang dikenakannya berkibar, membuatnya terlihat seperti hantu yang terluka.
Namun, di balik kekacauannya, ada sisa-sisa keanggunan yang menyayat hati—sebuah kenangan pahit dari gadis yang dulu dia cintai.
Rafael hanya berdiri di pintu, menyaksikan. Hatinya terasa tertusuk ratusan pisau. Dia melihat kehancuran, dan dia tahu, dialah akarnya.
“Basta, Serafina.” Suaranya rendah, memotong tariannya.
Serafina berhenti, matanya yang besar dan sedikit cekung menatapnya. Ada kilau kegembiraan gila di dalamnya. “Kau datang! Aku tahu kau akan datang!”
“Aku datang untuk memberitahumu bahwa ini sudah berakhir. UNTUK SELAMANYA!” bentak Rafael, suaranya menggema di ruangan itu. “Lihat apa yang telah kau lakukan! Pada keluarganya! Pada Mila! Pada Giada! Pada bayi-bayi itu! KAU ADALAH KUTUKAN!”
Teriakan itu seharusnya meluluhlantakkannya. Tapi Serafina malah mendekat, wajahnya dipenuhi obsesi yang mengerikan.
“Kau tidak bisa meninggalkanku, Rafael. Aku tidak akan mengizinkannya.” Tangannya yang halus menyentuh lengan Rafael, membuatnya bergidik.”Tanpamu, aku bukan apa-apa. Aku hanya Serafina ... anak tanpa keluarga ... gadis yang dibuang…”
Dia merangkulnya erat, wajahnya menempel di dada Rafael. “Tinggal bersamaku malam ini. Hanya malam ini. Untuk terakhir kalinya.”
Rafael merasakan pertarungan dalam dirinya. Ada belas kasihan yang tersisa untuk bayangan gadis yang dulu, tapi itu tenggelam oleh amarah dan kebutuhan untuk melindungi keluarganya.
Dengan gerakan kasar, dia melepaskan pelukan Serafina dan mendorongnya menjauh. “NO! SUDAH BERAKHIR, SERAFINA! KITA TIDAK AKAN PERNAH BERTEMU LAGI!”
Dia berbalik dan berjalan menuju pintu, hati remuk redam tetapi tekadnya membaja.
Dia harus pergi.
Sekarang.
Tapi langkahnya terhenti oleh teriakan Serafina. “JIKA KAU PERGI, AKU AKAN MATI!”
Rafael menoleh, dan apa yang dilihatnya membuat darahnya membeku.
Serafina, dengan mata kosong penuh keputusasaan, telah mengambil pisau buah kecil dari meja. Tanpa ragu, dia menyayat pergelangan tangannya sendiri. Darah segar segera mengucur, menodai gaun putihnya dan lantai marmer yang terang.
“LIHAT AKU BISA MELAKUKAN APA SAJA!” teriaknya, tapi nada kemarahannya telah berubah menjadi keputusasaan yang mendalam.
Segala niat Rafael untuk pergi runtuh dalam sekejap. Dia tidak bisa meninggalkannya begitu saja, sekarat.
Dengan kutukan dan langkah berat, dia bergegas kembali, merobek kain dari bajunya untuk membalut luka itu dengan darurat.
“Bodoh! Kenapa kau melakukan ini?!” desis Rafael.
Serafina, yang kini lemah dan pucat kehilangan darah, tersenyum getir. “Karena ... sekarang kau tidak bisa meninggalkanku ... bukan?”
Dia telah menjebaknya.
Dengan tindakan nekat ini, dia memastikan Rafael tetap ada, setidaknya untuk malam ini. Kekalahannya adalah kemenangan yang pahit.
Rafael terduduk di lantai, memeluk tubuh Serafina yang semakin dingin, sambil memanggil bantuan.
Dia datang untuk mengakhiri segalanya, tetapi justru terperangkap lebih dalam dalam jerat obsesi dan rasa tanggung jawab yang mematikan.
Vila mewah itu kini menjadi penjara bagi mereka berdua, menyaksikan bagaimana cinta yang salah bisa berubah menjadi bencana yang saling menghancurkan.
...🌊🌊🌊...
“Mila, pergi bangunkan Mamma dan Papà. Sarapan sudah siap.”
“Mamma? Papà?”
Tidak ada jawaban.