NovelToon NovelToon
(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Cintapertama
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Penasigembul

Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10

Tidak ada jalan keluar, tidak ada pintu untuk melarikan diri, SATU-SATUNYA JALAN UNTUK PERGI ADALAH melewati wanita yang baru saja bersuara. Marvin menoleh melihat ke arah wanita paruh baya itu dan seketika tubuhnya semakin menegang ketika wanita itu melangkah ke arahnya tapi dengan cepat Saka juga sudah berada di sebelahnya.

“Mama” bisik Marvin sangat pelan bahkan tidak bisa dibilang sebuah bisikan, hanya gerakan bibir. Mata Marvin seolah terpaku untuk menatap sosok wanita yang ia gumamkan sebagai mama, tatapannya tajam tapi ada kabut mendung yang terus menghalangi tatapan tajam pria itu.

“Gue mau balik, Ka.” Sekuat tenaga Marvin mengalihkan pandangannya, menoleh sedikit ke arah Saka. Kalimat itu jelas tertuju untuk Saka karena Marvin mengucapkannya dengan sangat pelan. Saka mengangguk menyetujui karena ia sudah berjanji Marvin hanya datang untuk melihat papanya dari jarak aman.

“Apa papa harus berada di ICU untuk bisa membawamu melihatnya?” suara ketus itu terdengar lagi, wanita dengan nama Febi yang berstatus sebagai mama Marvin sudah menatap putranya, tatapan yang bagi Marvin tidak pernah ramah jika ditujukan kepadanya.

Intan yang sedari tadi terdiam memerhatikan kakak iparnya itu perlahan beranjak menghampiri Febi kemudian dengan sabar mengelus lengan Febi lembut, seolah berusaha meredakan gejolak apapun yang hendak meledak dari dalam diri kakak iparnya itu.

Marvin memilih tidak menanggapi mamanya karena tidak ingin ada perdebatan, ia mengepalkan tangannya berusaha menekan segala gejolak yang ada dalam hatinya, ingin sekali ia meneriaki Febi atas semua kerusakan yang ia alami tapi Marvin berusaha menahan diri.

Dengan langkah yang sedikit diseret, Marvin berjalan mendekat ke arah wanita yang masih terus menatap tajam dirinya kemudian berhenti tepat di sebelah wanita itu, Matanya tetap memandang lurus ke depan tanpa menoleh untuk kembali melihat wajah wanita yang sangat ia rindukan tapi sangat melukai dirinya itu.

“Malam, ma. Saya pamit pulang dulu.” Ucap Marvin akhirnya dengan menahan getaran dalam suaranya, ia melangkah dengan cepat meninggalkan Febi dan menghilang dibalik pintu ruang tunggu keluarga pasien ICU.

Saka ikut melangkah menghampiri mama dan tantenya itu dan berpamitan kemudian dengan cepat ia mengejar Marvin yang sudah lebih dulu pergi dari sana.

Dengan sedikit berlari untuk mengejar sepupunya, Saka juga langsung menghubungi supir keluarga untuk menjemput mamanya, ia juga tidak lupa mengirimkan Intan pesan bahwa wanita itu akan dijemput oleh supir untuk mengantarnya pulang. Setelah kepergian Marvin dan Saka, sekarang Febi tinggal berdua dengan Intan.

“Apa kamu yang memaksa anak itu untuk datang?” tanya Febi datar, tatapannya fokus pada kaca besar yang sudah ditutup sejak tadi seolah memaksa menembus ke dalam untuk melihat semuanya.

“Iya, tapi saya tidak memaksanya, saya hanya memintanya datang, Mba.” Jawab Intan tenang.

“Untuk apa?” balas Febi tanpa mengalihkan pandangannya.

Intan mengalihkan pandangannya mengikuti arah pandang Febi, menerawang ke arah kaca besar yang tertutup tirai itu dimana kakaknya sedang terbaring.

“Mas Anton akan senang kalau tau Marvin sudah datang melihatnya, itu akan membuatnya semangat dan saya yakin akan membantunya lebih cepat pulih.” Jelas Intan tetap tenang, sebelum Anton masuk ke ICU dia mengatakan kepada Intan untuk membawa Marvin karena ia merindukan putranya.

Febi menoleh menatap Intan tajam, “lain kali tidak perlu melakukannya, jika ia peduli ia akan datang tanpa kamu paksa.” Febi mengucapkan dengan tegas meski sesungguhnya ia cukup senang bisa melihat putranya yang sudah lama menghindar. Intan hanya mengangguk, memilih tidak memperpanjang.

*

Marvin menjatuhkan dirinya di sofa ketika tiba di penthousenya, ia membakar sebatang rokok dan menghisapnya dalam kemudian menyemburkan asapnya ke udara, seolah meluapkan semua ketegangan tadi.

Saka datang menghampirinya, seperti biasa tangannya sudah menggenggam dua gelas wine dan menyerahkan satu gelas kepada Marvin yang langsung ditenggak habis oleh pria itu.

“Bokap gue bakal baik-baik aja kan, Ka?” tanya Marvin ketika bayangan papanya yang terbaring tadi terlintas dalam benaknya, meski papanya sangat pasif dan terlihat sangat mengabaikannya tapi Anton tidak pernah menyalahkan dirinya atas kematian Martha.

Marvin sendiri tahu dengan pasti kalau dirinya tidak akan siap jika harus kehilangan keluarganya, meski sepanjang hidupnya sampai hari ini ia tidak benar-benar merasakan keluarga yang sangat ia impikan sejak kepergian adiknya dari dunia ini.

“Om Anton pasti akan lebih baik apalagi setelah tau lu datang hari ini.” Jawab Saka sambil menyesap winenya. Marvin tidak bersuara lagi, ia menyandarkan tubuhnya di sofa sambil sesekali kembali menghisap rokoknya. “lebih seringlah mengunjungi bokap lu, Vin.” imbuh Saka ketika tidak mendapat respon apapun dari sepupunya.

Marvin menoleh dan menatap Saka dalam seolah ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut pria itu, Marvin kembali menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya, tangannya memijat pelipisnya yang mulai terasa berdenyut.

Selama beberapa saat keheningan menyelimuti ruang tamu dengan dua pria yang mulai sibuk dengan pikirannya masing-masing, Saka sendiri sudah memilih untuk diam dan menikmati sisa winenya.

Saka menoleh ketika merasakan Marvin berdiri dan mulai melangkah meninggalkan sofa, “udah mau tidur?” tanya Saka.

“Belum.” Jawab Marvin sambil menggeleng dan berniat melanjutkan langkahnya.

“terus?”Saka ikut berdiri dan berjalan menghampiri sepupunya.

“kerja.” Sahut Marvin sambil membuka ruang kerjanya. Ia melangkah masuk, menyalakan lampu dan pendingin ruangan di dalam sana dan mulai membuka laptopnya.

Saka yang melihat tingkah sepupunya hanya menggelengkan kepala, disaat semua orang memilih mengistirahatkan tubuhnya di jam 1 malam, sepupunya memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang masih bisa dikerjakan esok hari.

“Ini udah malem, Vin. Besok juga mesti ke kantorkan?” bujuk Saka sambil mendudukkan dirinya di sofa ruang kerja Marvin.

“Duluan aja, Ka. Gue belum bisa tidur.” Sahut Marvin lagi sambil terus berusaha fokus dengan laptop yang ada di hadapannya.

Saka tidak lagi bersuara memberikan ruang untuk Marvin mengalihkan pikirannya, ia sangat mengenal Marvin, daripada sepupunya bertindak yang mengancam keselamatannya lebih baik ia membiarkan Marvin melakukan apapun yang ia inginkan untuk mengalihkan pikirannya. Sesaat Saka memerhatikan Marvin yang masih fokus dengan laptopnya sebelum akhirnya ia menyibukkan dirinya sendiri dengan ponselnya.

Sementara itu, disisi lain Marvin tidak bisa fokus dengan dokumen yang sudah ia baca dari tadi, suara Febi masih terdengar jelas di telinganya dan terus memenuhi kepalanya. Kata-kata yang menyiratkan bahwa ia tidak peduli dengan orang tuanya membuat Marvin menjambak rambutnya frustasi. Bagaimana mungkin seseorang yang telah membuatnya rusak dan tidak pernah merasakan kehangatan sejak kecil mengharapkan kepeduliannya?

Marvin menutup laptopnya kasar membuat Saka menoleh dan memerhatikan pria itu. “tinggalin gue, Ka. Gue mau sendiri.” Ucap Marvin dingin. Saka ragu untuk meninggalkan Marvin tapi kemudian ia mengangguk dan keluar dari ruangan itu.

1
Tít láo
Aku udah baca beberapa cerita disini, tapi ini yang paling bikin saya excited!
Michael
aku mendukung karya penulis baru, semangat kakak 👍
Gbi Clavijo🌙
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!