Liora, 17 tahun, lulusan SD dengan spesialisasi tidur siang dan mengeluh panjang, menjalani hidup sederhana sebagai petani miskin yang bahkan cangkulnya tampak lebih bersemangat darinya. Suatu pagi penuh kebodohan, ia menginjak kulit pisang bekas sarapan monyet di kebunnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan gaya acrobat amatir, lalu—krak!—kepalanya mendarat di ujung batang pohon rebah. Seketika dunia menjadi gelap, dan Liora resmi pensiun dari kemiskinan lewat jalur cepat.
Sayangnya, alam semesta tidak tahu arti belas kasihan. Ia malah terbangun di tubuh seorang perempuan 21 tahun, janda tanpa riwayat pernikahan, lengkap dengan balita kurus yang bicara seperti kaset kusut. Lebih parah lagi, si ibu ini… juga petani. Liora menatap langit yang sudah tau milik siapa dan mendesah panjang. “Ya Tuhan, jadi petani rupanya jalan ninjaku.”
Anak kecil itu menunjuk wajahnya, bergumam pelan, “Wa... wa...”
Liora melotot. “Hebat. Aku mati dua kali, tapi tetap dapat kerja tanpa gaji.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smi 2008, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Salwa Adalah Anakmu”
Xavier memandang laki-laki yang sudah sekarat parah dengan sorot penuh penghinaan. Tetesan darah menetes dari kedua lengannya yang terputus, namun tidak sedikit pun membuat Xavier merasa iba. Bagi keluarga De Santis, tidak ada ampun bagi siapa pun yang berkhianat.
Xavier mendekat, sementara Hazel sang pengawas secara lincah menarik kursi untuk mempersilakan bosnya duduk, sekaligus melepaskan kain yang menyumbat mulut sandera mereka: Ernab, pelaku serangan di restoran kemarin.
“Kau masih punya dua kaki. Benda itu bisa tetap menempel di tubuhmu jika kau menjawab dengan jujur,” ucap Xavier dengan senyum mematikan, membuat pria yang terikat melotot marah.
“Anjing! Cuih!” umpatnya, lalu meludah. Namun Xavier menghindar dengan cepat.
Dorrr.
“AAAARGH!” Ernab meraung, tubuhnya tersentak keras ketika peluru Hazel menembus kakinya. Kursi besi itu berderit di lantai, sementara darah mengalir membentuk garis gelap menuju drainase.
“Jaga sikapmu sebelum otakmu yang jadi sasaran terakhirku,” ancam Hazel dingin.
Xavier mencondongkan tubuh, wajahnya mendekat ke arah Ernab yang kini gemetaran hebat. Senyum tipisnya hilang, berganti sorot mata tajam yang membuat udara terasa lebih berat.
“Siapa yang menyuruhmu?”
Ernab menggigit bibir sampai berdarah. Napasnya putus-putus antara menahan sakit dan panik. Ia mencoba memalingkan wajah, tapi Hazel menarik rambutnya, memaksanya tetap menghadap Xavier.
“A-aku… aku…”
Suaranya pecah, tidak lagi terdengar seperti orang yang tadi meludahi bos besar De Santis.
“Kau korupsi uang perusahaan ayahku,” Xavier melanjutkan dengan nada datar, seolah membacakan hukuman mati. “Aku ambil semua asetmu. Kau pantas membenciku. Tapi otakmu tidak cukup untuk menyusun rencana pembunuhan. Jadi siapa yang memakai otak pas-pasanmu itu?”
Ernab menelan ludah keras-keras.
“Saya… cuma bertemu sekali… dia pakai masker…” katanya akhirnya, suara serak ketakutan. “Dia bilang… kalau aku berhasil menyingkirkan mu… saya akan dapat uang… banyak…”
Xavier mengangkat alis, tidak terkesan sedikit pun.
“Dan kau percaya begitu saja? Dasar tikus putus asa.”
Ernab menggeleng cepat. “Setelah dipecat… hidup saya habis… saya dikejar rentenir… jadi saat ada telepon dan kami bertemu… aku pikir itu kesempatan… tapi aku sumpah… aku tak pernah lihat wajahnya… aku—”
Hazel mengokang pistol.
Ernab langsung tersedak ketakutan. “Saya benar tidak tahu wajahnya!”
Dorrr.
“Arrrg…” Ernab menjerit pendek ketika peluru Hazel menggores samping kepalanya, membuat ujung telinganya berdarah. Pria itu langsung menunduk ketakutan.
“Dia… dia punya tato bulan di punggung tangannya…” ucap Ernab cepat, terbata. “Saya cuma lihat itu… saya… saya tidak bohong…”
Kata-katanya keluar dengan gemeter, tubuh masih menggigil takut. Ernab menunggu siksaan berikutnya, matanya tertutup rapat, tapi tak ada gerakan apa pun. Hanya keheningan yang membanjiri ruangan.
Ia mendongak perlahan. Pria itu masih menatapnya dengan tenang, ekspresi wajahnya tak terbacakan sama sekali. membuat Ernab semakin gelisah.
Lalu Xavier berdiri, gerakannya lembut tapi tegas, merapikan jasnya yang terlipat di pundak, lalu berucap santai seolah-olah cuma berbicara soal hal sepele: “Berikan dia seratus juta.”
“Ha?” Hazel menatap heran.
Xavier melirik Hazel dengan sinis, suaranya ringan tapi menggigit. “Kenapa kau berisik sekali? Berikan saja. Aku ini baik pada orang yang jujur.”
Hazel terdiam.
Pria itu melangkah keluar, bergumam pada dirinya sendiri, “Bulan, huh?”
Hazel mengikutinya tanpa bertanya lagi, sementara orang-orang Xavier menutup ruangan itu dan membersihkan lokasi.
Di mobil.
Xavier menarik sehelai rambutnya, memasukkan ke plastik kecil yang sudah berisi satu helai rambut lain.
“Periksa. Aku mau hasilnya secepat mungkin.”
Hazel mengambilnya, melirik Xavier sebentar. “Baik, Tuan.”
Satu minggu kemudian.
Salwa sudah keluar dari rumah sakit. Semua biaya sudah dibereskan oleh Xavier. Akmal tentu menolak, tapi tetap kalah. Saat ia hendak membayar di kasir, petugas hanya berkata bahwa Tuan Xavier De Santis sudah melunasinya sejak pagi.
Waktu Akmal mencoba mengganti uangnya, Xavier hanya menjawab tanpa menoleh, “Aku tidak terbiasa memegang uang receh.”
Kalimat sederhana itu sukses membuat Akmal ingin melempar doa-doa paling kreatif ke arah pria arogan tersebut.
Sejak hari itu, Xavier malah semakin sering muncul. Baik di rumah sakit maupun di apartemen, selalu dengan bingkisan berlebihan seolah sedang berkompetisi dengan dirinya sendiri. Liora menerimanya dengan mata berbinar, memuji betapa tampan dan baiknya Xavier, sementara kepala Akmal mendidih.
Esok harinya, Akmal harus berangkat ke luar kota untuk urusan pengiriman barang. Liora dan Salwa tetap tinggal di apartemennya. Setiap dua jam, ponsel Liora berdering; Akmal menanyakan kabar mereka dengan nada semakin gelisah.
Ancaman dari Salim beberapa hari lalu belum hilang dari pikirannya. Ditambah Xavier yang terus muncul seenaknya dan terlalu dekat dengan Liora. Di kepala Akmal, semuanya tampak seperti bendera merah raksasa.
Ia yakin satu hal:
anak sulung keluarga De Santis itu punya minat pada keponakannya.
Dan Akmal tidak akan membiarkan itu terjadi.
Hazel melangkah keluar dari lift lantai 70; pintu logam memantulkan wajahnya yang dingin. Koridor langsung berubah atmosfer. Dua staf wanita yang sedang membawa berkas spontan mengerem langkah, pura-pura sibuk membaca kertas padahal mata mereka curi-curi menatap. Meja resepsionis ikut senyap sesaat, lalu penjaganya buru-buru merapikan rambut seolah itu bisa mengubah nasib. Bisik-bisik kecil berloncatan di udara, samar tapi jelas memuja ketampanan Hazel, yang lewat begitu saja tanpa peduli.pria itu terus berjalan sampai depan pintu kantor bernuansa hitam dingin dan ia mengetuk sebentar. Setelah terdengar suara izin dari dalam, ia masuk sambil membawa beberapa map tebal, meletakkannya di meja kerja Xavier dengan rapi.
“Laporan kuartal ini,” ucap Hazel pendek. “Audit internal, ringkasan investasi cabang Italia, dan pergerakan dana operasional. Semua sudah ditandai di bagian yang perlu Anda lihat.”
Xavier membuka salah satu map, matanya bergerak cepat membaca angka-angka yang bagi manusia normal mungkin tampak seperti mantra hitam putih.
Hazel menambahkan, “Selain itu, ada laporan keamanan: revisi akses gedung, pergerakan karyawan baru, dan nama-nama yang perlu Anda verifikasi.”
Xavier mengangguk tipis.
Hazel berdiri tegak setelah selesai melaporkan yang pertama. Ia membuka map kecil tambahan.
“Ada satu hal lagi,” ujarnya. “Permintaan pembelian mikrochip kelas A-7. Pemesannya: Akmal.”
Jari Xavier berhenti di atas halaman.
Hazel melanjutkan, “Perusahaan lain sudah kehabisan stok. Kita masih punya sisa batch yang belum dirilis. Dia meminta pengiriman cepat.”
Xavier mengangkat wajah perlahan. Sudut bibirnya terangkat. “Jadi? Menurutmu aku harus menjualnya?”
Hazel berpikir sejenak. “Anda hanya perlu memberi perintah.”
Xavier menutup map dengan tenang. “Naikkan harganya. Dua kali lipat.”
Hazel sedikit terkejut. “Apa Anda yakin?”
Xavier mengangkat bahu santai. “Kalau dia memang membutuhkannya, dia beli. Kalau tidak, dia pasti sibuk di luar kota. Anggap saja ini permainan bisnis kecil.”
Hazel mengangguk. “Baik.”
Belum sempat ia berbalik, suara Xavier terdengar lagi.
“Apa kau sudah menemukan orang yang bertato bulan itu?”
Hazel menoleh. “Belum. Sejauh ini, tidak ada karyawan yang memiliki simbol itu di punggung tangan. Hanya beberapa tahi lalat yang tidak relevan.”
Xavier mengetuk meja pelan.
“Jadi pelaku bukan dari dalam?”
“Besarnya kemungkinan begitu,” jawab Hazel. “Jika ada karyawan yang punya tato setidak normal itu, pasti tercatat di laporan pemeriksaan fisik. Semua divisi sensitif sudah discreening.”
“Orang luar?”
“Ya.” Hazel meletakkan map kecil itu. “Entah dari perusahaan yang Anda jatuhkan… atau seseorang yang sudah lama punya urusan pribadi dengan Anda.”
Xavier mendecih kecil. “Empat tahun lalu, dia meracuni minumanku dan menyabotase mobilku. Aku biarkan dia hidup karena tidak merepotkan lagi. Tapi sepertinya dia mulai bosan bersembunyi.”
Hazel mengangguk. “Saya akan menyelidikinya, Tuan.”
Ia lalu menyerahkan satu amplop putih, menunduk sebentar sebelum berkata, “Ini laporan hasil tes Anda. Hasilnya… 99,99 persen cocok.”
Hazel menghela napas pendek. “Salwa adalah anak Anda.”
******
Apartemen Thamarin Residence.
“Mama… anti… awa… anti… pok pok…”
Salwa bernyanyi dengan logat khas balita yang hanya Tuhan dan Liora yang paham artinya. Batita tiga tahun itu duduk di karpet bulu lembut, menggoyang-goyangkan dua boneka: satu besar mirip perempuan dewasa, satu kecil seperti versi mini Salwa.
Kamar itu sudah seperti museum mainan mahal. Boneka beruang besar seukuran beruang hutan bersandar di tembok putih, bergaya sombong seolah dialah bos dari semua mainan. Di lantai, tumpukan permainan mewah berserakan seperti habis dilempar titan kecil.
Semua itu pemberian Xavier.
Pemberian Akmal?
Terkubur di paling bawah, tidak jelas bentuknya lagi.
Di samping Salwa, Liora berbaring santai sambil menatap ponsel. Tepatnya: belajar.
Isi kontaknya hanya tiga:
• Ling Ling
• Paman Tampan
• XAVIER PALING TAMPAN DAN KAYA ya, yang ini Xavier sendiri yang tulis
“Kenapa tombol hurufnya mesti acak?” Liora mendengus. Jempolnya menyapu layar seperti nenek-nenek baru belajar SMS. “Yang desain barisan kayak gini pasti lagi teler.”
Sudah sepuluh menit ia mencoba mengetik pesan untuk Ling Ling, matanya menyipit tiap kali mencari huruf.
“G… g… nah, ketemu… tak.”
Setelah perjuangan lima belas menit dan entah berapa kali salah tekan, akhirnya satu kalimat itu selesai:
KakLingsopiyukakupunyabanyakuang
Tanpa spasi, tanpa koma, tanpa belas kasihan.
Liora tersenyum puas.
Empat menit kemudian, ponsel Liora bergetar.
Drrt… drrtt…
Satu pesan dari Ling Ling muncul:
“Baby, aku tidak paham bahasa alien.”
Belum sempat Liora merespons, layar langsung menyala lagi. Panggilan masuk dari Ling Ling. Liora memencet tombol hijau cepat-cepat, bahkan tanpa sapaan.
“Kak Ling, kita sopeng?” Suaranya sok gaul.
“Shopping?” Ling Ling memastikan, alisnya mungkin sudah naik tiga senti.
“Iya itu. Aku mau beliin oleh-oleh buat tetangga di kampung. Mama Rena minta dibeliin pette impor dari Inggris.”
Di ujung sana, Ling Ling memijit pelipisnya. Perubahan keponakan Akmal ini selalu bikin dia bingung antara gemas atau miris.
Dia sudah tahu kalau Liora berubah karakter setelah hilang ingatan. Akmal sudah menceritakan semuanya. Sikap Liora sekarang lebih mirip seorang wanita dewasa yang tiba-tiba kembali jadi anak kecil yang belum pernah mengenal dunia luar.
“Tunggu setengah jam, oke. Aku siap-siap dulu,” balas Ling Ling.
Biarlah Liora nanti melihat sendiri bahwa “pette impor” cuma ada di imajinasi orang kampung.
Liora langsung berjingkrak bahagia. Dia menggendong Salwa tinggi-tinggi sampai batita itu memelotot bingung.
“Waktunya mandi! Kita bertiga akan berbe… la… ja… tara!” serunya entah pada siapa.
“Ma… ma… apek…” Salwa protes, masih ingin main.
Sayangnya ibunya itu sudah berubah jadi petir. Liora menyeret Salwa ke kamar mandi, memandikannya, menggosok bedak ke pipinya lalu memakaikan baju pastel bergambar kelinci dan kaus kaki putih mengembang di pergelangan, seperti puff marshmallow kecil.
Setelah itu giliran Liora.
Ia mengenakan gaun selutut bermotif bunga-bunga kecil, sederhana tapi rapi, membuat wajah mudanya terlihat lebih lembut. Ia merapikan rambut sebisanya sebelum kembali ke ruang tengah.
Menit ke dua puluh, bel pintu berbunyi.
“Sebentar…” Liora berjalan ke pintu, mengelap tangannya.
Begitu pintu terbuka, tubuhnya seolah membeku.
Yang berdiri di sana bukan Ling Ling.
Melainkan Liara.
Ibu kandungnya sendiri.
kamu bikin karakter ibu kok gini amat Thor......
penyakit apa itu.....
ketahuan boroknya ....
nek jelasin kemana uang yg dikirimkan untuk Liora....
mumpung yg ngirim juga ada di situ.....
nyampeknya cuma lima ratus ribu......
duh ini mah bukan korupsi lagi tapi perampokan....