Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
the Velvet rooftoop
Suara musik lembut bercampur dengan deru angin malam Jakarta yang berhembus dari ketinggian. Lampu-lampu kota tampak seperti lautan bintang di bawah sana — berkelap-kelip, memantul di kaca bening rooftop mewah itu.
The Velvet Rooftop — lounge baru yang lagi ramai dibicarakan di kalangan elit muda. Suasananya hangat, elegan, tapi tetap menyimpan aura misterius dari warna-warna gelap dan kilau lampu amber.
Zea melangkah masuk dengan jaket kulit hitam yang dipadukan dengan celana jeans senada. Rambutnya dibiarkan terurai bebas, sebagian tertutup topi kasual di kepalanya. Setiap langkahnya mencuri perhatian — bukan hanya karena penampilannya, tapi karena aura tenang dan dingin yang seolah tak tersentuh hiruk-pikuk malam.
Valesya, Arcelyn, dan Claudy sudah duduk di meja tengah dekat balkon kaca. Mereka melambaikan tangan begitu melihat Zea datang.
“Finally, dia dateng juga,” seru Arcelyn dengan senyum lebar. “Gue kira lo batal, Zee.”
Zea tersenyum kecil, duduk di samping Valesya. “Gue sempat mikir dua kali, tapi… kayaknya gue butuh udara segar malam ini.”
Valesya menatapnya sekilas, bibirnya melengkung samar. “Good choice. Malam ini harusnya tenang.”
Tapi sebelum Zea sempat menjawab, matanya menangkap sesuatu. Tepat di sisi lain lounge — di meja dekat panggung live band — seorang pria berdiri, sedang berbicara dengan beberapa orang.
Deg...
Wajah itu.
Wajah yang sudah berbulan-bulan ia coba hapus dari ingatan.
Rafka Arshad Pratama.
Hela napasnya tertahan. Dunia seolah melambat sesaat. Sorot lampu rooftop yang redup tak mampu menutupi betapa familiar garis rahang itu, tatapan mata itu — bahkan cara pria itu tersenyum ringan pada pelayan yang lewat.
Rafka____Seseorang yang dulu membuat Zea percaya pada cinta, namun juga orang pertama yang menjatuhkannya ke jurang yang paling dalam.
Seseorang yang menukar janji dengan pengkhianatan.
Yang membuatnya jatuh — dan hampir tak bisa kembali.
Dan malam ini, takdir mempertemukan mereka lagi.
Di tempat yang seharusnya menjadi awal tenang bagi Zea.
Tatapan mereka bertemu.
Waktu seolah berhenti.
Namun kali ini, tak ada lagi debar.
Tak ada rindu. Tak ada cinta. Hanya keheningan semu yang perlahan menyelimuti sisa luka.
Mata Zea yang dulu selalu bergetar setiap kali menatap Rafka, kini dingin — beku, datar, tajam. Tatapan itu seperti kaca es yang memantulkan kembali semua luka masa lalu.
Dan Rafka… meski berusaha tersenyum untuk menutupi canggungnya, jelas ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan di balik tatapannya.
Ia melihat perempuan yang sama — tapi dalam versi yang berbeda. Bukan lagi Vioranya yang dulu; bukan gadis ceria yang selalu menatapnya dengan penuh cinta. Gadis itu telah berubah — jauh lebih tenang, lebih dewasa, lebih dingin, dan mungkin juga... lebih berbahaya.
Rafka hendak melangkah mendekat. Tapi Zea lebih dulu memutuskan tatapan itu — tanpa kata, tanpa isyarat. Ia hanya mengalihkan pandangan, menatap kembali teman-temannya, seolah tak terjadi apa-apa. Hanya helaan napas pelan yang lolos dari hidungnya.
Arcelyn yang baru saja menyuap camilan menatap penasaran. “Zee, lo kenal cowok itu?”
Zea duduk tenang, mengambil gelasnya. “Gak penting.”
Valesya ikut menatap ke arah meja itu, matanya menyipit sedikit. “Tapi bukannya dia cowok lo, ya?”
Zea meletakkan gelasnya perlahan. Suaranya datar, tapi ada getir yang menggantung di balik ketenangan itu.
“Mantan.”
Satu kata yang cukup untuk membuat ketiganya terdiam.
Valesya terkesiap kecil, menatap Zea seolah baru menyadari ada sesuatu yang telah terjadi di antara mereka. Terlihat dari bagaimana perubahan sikap Zea setelah sempat beradu tatap dengan pemuda yang dia tekankan sebagai mantan. Aura gadis itu terlihat dominan lebih menyeramkan dari pada ribuan badai. Dan Valesya memilih bungkam tidak ingin bertanya lebih jauh setidaknya untuk sekarang.
Ya, Valesya tahu. Ada sesuatu di balik diamnya Zea malam itu — sesuatu yang menakutkan dalam ketenangan. Bukan amarah yang meledak, tapi dingin yang menelan. Bukan kesedihan, tapi sisa dendam yang belum padam.
Arcelyn mencoba mencairkan suasana. “Oke, kayaknya kita butuh minuman yang lebih manis. Biar suasananya gak tegang gini.”
Claudy tertawa kaku, meski matanya masih sempat melirik ke arah Rafka yang masih berdiri jauh di sana — memperhatikan Zea, seolah berharap tatapan mereka bertemu lagi.
Namun Zea tak menoleh. Sama sekali tidak.
---
Di sisi lain ruangan, di meja VIP yang agak tersembunyi dari pandangan utama, duduk tiga sosok dengan aura kontras tapi sama-sama mencolok.
Agler bersandar santai di sofa hitam, matanya tajam seperti biasa, menelusuri setiap sudut ruangan dengan tenang namun penuh perhitungan.
Arvin sibuk memutar gelas di tangannya, sesekali menyesap minumannya sambil menikmati penampilan grup band yang tampil di panggung depan.
Sementara Elvatir duduk diam di sisi mereka — ekspresinya datar, sulit ditebak, seolah pikirannya berada di tempat lain.
Dari tempat mereka duduk, pemandangan ke arah meja Zea cukup jelas.
“Dia berubah,” gumam Agler pelan tanpa mengalihkan pandangan.
Arvin mengangkat alis, mengikuti arah tatapan Agler. “Siapa?” tanyanya, lalu pandangannya tertuju pada sosok di meja tengah. “Dia di sini juga?” Senyum tipis muncul di sudut bibirnya begitu mengenali Zea. “Tapi lo bener… dia memang berubah. Beda banget sama waktu kita ketemu di Jepang. Sekarang auranya jauh lebih dominan.”
Agler hanya tersenyum samar, menyesap minumannya tanpa menjawab. Tatapannya tak pernah lepas dari Zea — menelusuri setiap perubahan halus di wajah gadis itu. Dari tenang menjadi dingin, dari datar menjadi nyaris... kosong.
Elvatir yang sejak tadi diam ikut menatap ke arah yang sama. Napasnya sempat tertahan ketika melihat ekspresi Zea. Senyum lembut yang dulu sering ia lihat di rumah… kini telah hilang.
Yang tersisa hanyalah aura dingin — tenang, nyaris menyeramkan.
Lampu-lampu rooftop berkelap redup di atas mereka, sementara dari meja lain, Rafka masih sesekali melirik ke arah Zea — wajahnya dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan. Ia ingin mendekat… tapi tahu, kehadirannya kini hanya akan memperkeruh keadaan dan mengguncang hati yang berusaha tenang.
Di tengah semua itu suara riuh dan cahaya yang berkelap di sekelilingnya, Zea tetap diam — menatap lampu kota dari balik kaca bening, seolah mencari makna di antara gemerlap yang semu.
Dalam keheningan itu, hanya satu kalimat yang terus bergema di pikirannya.
“Gue udah mati sekali waktu itu. Sekarang, gak ada yang bisa bikin gue jatuh lagi.”
Zea meneguk sisa minumannya sebelum akhirnya bangkit dari kursi. “Gue ke toilet bentar,” katanya pelan.
Claudy spontan menoleh. “Mau gue temenin?”
Zea menggeleng cepat, menampilkan senyum samar. “Gak usah, gue cuma bentar, kok.”
Ia melangkah meninggalkan meja, melewati kerumunan yang tertawa, denting gelas, dan aroma alkohol yang samar. Begitu masuk ke area toilet, suasana berubah total — sepi, dingin, hanya terdengar bunyi air dari keran dan gema langkahnya di lantai.
Zea berdiri di depan cermin besar. Bayangan dirinya memantul jelas — mata memerah, wajah pucat, bibir bergetar halus. Ia menatap refleksi itu lama… sebelum akhirnya bersuara lirih.
“Bodoh…” bisiknya parau. “Kenapa lo harus nangis kayak gini? Kenapa lo harus lemah cuma karena cowok brengsek yang jelas-jelas udah nyakitin lo?”
Ia mengepalkan tangan, menatap dirinya lebih tajam, seolah sedang menampar sisi lamanya yang rapuh.
“Cukup, Zea. Stop! Lo bukan Viora yang dulu lagi. Lo gadis yang kuat sekarang."
Suaranya bergetar, tapi penuh penegasan.
“Lo harus bisa bangkit. Lupain cowok kayak Rafka. dia gak pantas dapat air mata berharga lo." Nama lo bukan Viora, tapi Zea. Dan Zea gak lemah.”
Air mata sempat menetes, tapi segera ia hapus kasar dengan punggung tangan. Napasnya tersengal, bahunya naik turun cepat. Setelah beberapa detik, ia berusaha menenangkan diri — memperbaiki rambut, mengoles ulang lip gloss, dan mencoba tersenyum.
Senyum itu pecah di tengah jalan, tapi cukup untuk membuatnya tampak tegar.
Ia menarik napas panjang, bersiap untuk keluar. Tapi sebelum langkahnya mencapai pintu, suara gesekan halus terdengar dari arah bilik paling ujung.
Klik.
Pintu bilik itu terbuka perlahan. Dan dari baliknya — muncul sosok tinggi dengan kaos hitam, jaket kulit tergantung di satu tangan, tatapan tenang tapi tajam menembus udara.
Agler.
Zea membeku. “Lo—”
Agler menyandarkan bahunya di kusen pintu, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ekspresinya datar, tapi bibirnya tersenyum tipis. “Kalimat motivasi yang keren, Zea. Cuma sayang, kalau lo sekuat itu, harusnya lo gak nangis barusan, kan?”
Zea memutar tubuhnya cepat, wajahnya memanas. “Lo nguping?!”
Agler mengangkat alis. “Nguping? Enggak sengaja, sih. Tapi suara lo kedengeran jelas dari sini. Gak nyangka aja… gadis sekeras lo ternyata gamon juga.”
Zea menatapnya tajam. “APA?! Gue gak—”
“Gamon,” potong Agler santai, matanya menatap Zea tanpa kedip. “Cuma fakta kecil. Lo nangis karena mantan lo, kan? Rafka, atau siapa tadi?”
Nada datarnya seperti cambuk. Zea langsung melangkah mendekat, wajahnya memerah antara malu dan marah. “Lo gak punya hak buat ngomong kayak gitu!”
Agler masih tenang. “Gue cuma nyatain apa yang gue liat.”
“Dan lo gak pantas buat liat apa pun!” bentak Zea keras. “Apalagi lo seenaknya masuk ke toilet wanita! Dasar—”
“Lo yakin ini toilet wanita?” sela Agler datar.
Zea memelototinya. “Jelas iya, lah! Lo buta?"
Agler mengedikkan dagu ke arah belakang. “Coba liat.”
Zea menoleh — dan membeku.
Tulisan besar di atas pintu, terpantul jelas di kaca cermin:
TOILET PRIA
Darahnya seolah berhenti mengalir. Wajahnya memucat lalu langsung memerah.
“Apa—?!”
“Kayaknya lo yang salah tempat, bukan gue,” kata Agler santai, menahan tawa.
“Dasar lancang! Gue gebuk juga lo!” Zea menghampirinya cepat, tangannya terangkat hendak memukul dada Agler.
Namun langkahnya terlalu terburu. Tumit sepatu boot-nya terpeleset di lantai marmer yang licin. Tubuhnya kehilangan keseimbangan — nyaris terhempas ke belakang.
Namun sebelum sempat jatuh, sebuah tangan kuat melingkar di pinggangnya. Tarikan cepat itu membuat tubuh Zea jatuh ke arah dada bidang Agler, sementara tangan pria itu menahan punggungnya erat.
Suara napas mereka bertubrukan.
Hening.
Jarak di antara mereka hanya beberapa senti.
Zea bisa merasakan detak jantung Agler yang stabil, hangat — kontras dengan dingin tubuhnya sendiri.
Mata mereka bertemu. Sekejap saja, tapi waktu seolah berhenti.
Sorot mata Agler tak lagi penuh ejekan. Ada sesuatu yang lebih dalam di sana — campuran penasaran, kagum, dan sesuatu yang bahkan Zea tak bisa definisikan.
Namun sebelum salah satu dari mereka sempat bicara —
Klik.
Pintu toilet terbuka.
Rafka berdiri di sana.
Tatapannya membeku, wajahnya tegang. Dan dari sudut pandangnya… Zea tampak dalam dekapan Agler, tubuh mereka begitu dekat, posisi Agler sedikit menunduk — seolah mencium Zea.
Rafka menelan ludah, wajahnya memucat. “Vio…?” suaranya nyaris tak terdengar.
Agler yang sadar lebih dulu, menatap sekilas ke arah pintu lalu… dengan tenang, justru menarik Zea lebih dekat lagi. Senyum licik terukir bibirnya. “Bibir lo manis banget, Zea,” bisiknya pelan tapi cukup keras untuk terdengar oleh Rafka.
Mata Zea melebar, napasnya tercekat.
Rafka terpaku beberapa detik, lalu berbalik cepat, meninggalkan ruangan dengan langkah lebar.
Begitu pintu tertutup, Zea langsung mendorong dada Agler keras. “Apa-apaan sih lo?!"
Agler menatapnya tanpa ekspresi, tapi bayangan puas tampak di matanya. “Cuma bantuin lo kelihatan tegar di depan mantan."
"Dia, cowo yang namanya Rafka, kan?" Zea tidak menjawab hanya menghunuskan tatapan tajam, napasnya masih berat. “Lo gila!”
“Bisa jadi.”
Zea tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menahan emosi yang sudah di ujung batas, lalu bergegas keluar tanpa menoleh lagi.
Agler menatap punggungnya yang menjauh — diam, tapi di matanya ada sesuatu yang tak biasa. Campuran antara rasa bersalah dan… ketertarikan.
Sementara di luar sana, langkah Zea terdengar cepat dan berat — bukan karena takut, tapi karena hatinya kembali berantakan.
****
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶