 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arinda penasaran
Cahaya matahari pagi yang menyelinap lewat celah gorden tipis membangunkan Arinda dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata pelan, merasakan tubuhnya masih lelah setelah semalam dibuai banyak pikiran tentang suaminya—Leo, pria dingin yang kini resmi menjadi pendamping hidupnya. Jam dinding antik di kamar menunjukkan pukul enam tepat.
Dengan gerakan hati-hati, Arinda menyingkap selimut lembut yang menutupi tubuhnya. Lantai marmer putih terasa sejuk di telapak kakinya ketika ia berdiri dan berjalan menuju jendela besar yang menutupi hampir setengah dinding kamarnya. Ia membuka tirai lebar-lebar, membiarkan sinar matahari menyapu wajahnya. Dari lantai tiga rumah megah itu, pemandangan terlihat begitu indah.
Rumput hijau terbentang luas, pepohonan rindang berjejer rapi, dan burung-burung kecil berkicau riang di antara cabang-cabang. Udara segar masuk ke paru-parunya, membuat Arinda untuk sesaat lupa bahwa ia sedang berada di rumah asing—rumah suaminya—yang meskipun sah miliknya, masih terasa begitu jauh dari kata "rumah".
Langkah kaki lembut terdengar mendekat. Sofia, asisten pribadi yang sejak awal menemaninya, masuk dengan membawa senyum ramah. "Selamat pagi, Nona Arinda," sapanya lembut, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat.
Arinda menoleh, senyum tipis terbit di wajahnya. "Selamat pagi, Mbak Sofia."
Sofia melangkah lebih dekat, lalu menaruh handuk dan pakaian bersih yang sudah disiapkan di kursi dekat meja rias. "Ayo segera mandi, Nona. Setelah itu kita bisa sarapan bersama. Tuan sudah berpesan agar semuanya disiapkan dengan rapi pagi ini."
Arinda mengangguk pelan, namun matanya masih terpaku pada pemandangan di luar. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat kilauan air di kejauhan. Matanya membesar, jari telunjuknya spontan mengarah ke sana. "Mbak, itu ada kolam renang ya? Milik siapa?"
Sofia menoleh mengikuti arah pandangan Arinda. Ia tersenyum tipis. "Oh, itu. Di rumah ini memang ada dua kolam renang, Nona. Satu kolam renang khusus milik Tuan Leo, letaknya di halaman belakang dekat dengan taman. Dan satu lagi untuk tamu atau keluarga besar, posisinya di sisi timur rumah. Yang Nona lihat sekarang itu kolam pribadi Tuan Leo."
Arinda menatap takjub. Air biru jernih memantulkan cahaya matahari, terlihat begitu segar. Ia seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. "Boleh nggak, Mbak… Arinda main ke sana?" tanyanya penuh harap, matanya berbinar-binar.
Sofia menghela napas sebentar sebelum menjawab. "Kita harus izin dulu ke Tuan, Nona. Kolam itu memang jarang dipakai orang lain selain beliau. Tuan tidak suka kalau ada yang menyentuh sesuatu tanpa seizin beliau."
Arinda mengerucutkan bibirnya, tapi kemudian mengangguk antusias. "Ya sudah, nanti Arinda akan minta izin. Pasti boleh, kan, Mbak?"
Sofia hanya tersenyum tipis, tak berani memberikan janji. "Semoga saja, Nona. Tuan itu orangnya… tegas sekali. Tapi kalau Nona yang meminta dengan cara baik, mungkin beliau akan mempertimbangkannya."
Arinda terdiam sesaat. Ia tahu betul sifat suaminya. Dingin, kaku, tidak suka dibantah. Tapi semalam, ia sempat melihat sisi lain dari Leo, ketika pria itu melembut hanya karena panggilannya—"Mas." Ingatan itu membuat pipinya kembali merona.
"Mbak Sofia," panggil Arinda lirih, suaranya seperti menyimpan keraguan.
"Iya, Nona?"
"Mas Leo itu… sebenarnya seperti apa sih? Maksud Arinda, beliau memang selalu dingin ya? Atau cuma… ke Arinda saja?"
Sofia menatap wajah muda itu lama, seolah sedang memilih kata yang tepat. "Tuan Leo memang sudah begitu sejak dulu, Nona. Beliau jarang membuka diri. Tapi saya percaya, di balik sikap dinginnya, ada hati yang hangat. Hanya saja… tidak semua orang bisa melihatnya."
Arinda terdiam, hatinya berdebar. Ia tidak tahu apakah dirinya termasuk orang yang kelak bisa menyentuh hati Leo.
Setelah mandi dengan air hangat, Arinda mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda yang disiapkan Sofia. Rambutnya ia biarkan tergerai, wajahnya tanpa riasan berlebihan, hanya sedikit bedak tipis. Ia berjalan keluar kamar, ditemani Sofia menuju ruang makan di lantai bawah.
Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara. Beberapa pelayan sudah menunggu di samping ruangan, siap melayani.
"Tuan sudah pergi ke kantor sejak subuh," bisik Sofia, seolah menebak pertanyaan yang ada di benak Arinda.
Arinda mengangguk pelan, entah lega entah kecewa. Ada bagian dirinya yang ingin bertemu suaminya di meja sarapan, tapi bagian lain justru takut.
Ia duduk di kursi utama, lalu Sofia menyajikan sarapan di depannya. "Silakan dimakan, Nona."
Arinda menyendok sup hangat pelan, matanya kembali terarah ke luar jendela yang menampilkan pemandangan kolam renang pribadi. Biru airnya seolah memanggil. Ia tersenyum kecil sendiri, membayangkan bagaimana rasanya jika ia bisa berenang di sana, bebas, tanpa aturan kaku, tanpa tatapan dingin Leo yang selalu menuntut kepatuhan.
"Mbak Sofia," panggil Arinda lagi.
"Iya, Nona?"
"Nanti kalau Mas Leo pulang… tolong ingatkan Arinda ya. Arinda mau tanya langsung soal kolam itu."
Sofia menunduk hormat. "Baik, Nona."
Arinda menghela napas panjang. Hari barunya di rumah megah itu baru saja dimulai, namun sudah banyak hal yang membuatnya berdebar. Ia sadar satu hal: pernikahan ini bukan sekadar ikatan di atas kertas. Ia akan belajar mengenal Leo, menyelami sisi lain dari pria dingin itu, dan mungkin—perlahan—mencairkan hatinya.
Siang yang panas suasana di lantai tiga begitu hening. Arinda duduk di tepi ranjang, jemarinya memainkan ujung selimut putih yang lembut. Dari tadi ia hanya memandangi jam dinding yang jarumnya bergerak pelan, seolah waktu enggan beranjak. Rasa bosan menyergap, hatinya gelisah. Sejak semalam Leo meninggalkannya dengan kalimat tegas bahwa ia tidak akan tidur di kamar itu, Arinda merasa benar-benar sendiri.
Ia menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah Sofia yang sedang merapikan meja rias.
“Mbak…” panggilnya pelan.
Sofia menoleh, tersenyum ramah. “Ada apa, nona?”
“Di lantai dua… ada apa aja, sih?” tanya Arinda sambil mencondongkan tubuh. Rasa ingin tahunya memang begitu besar sejak ia tinggal di rumah megah ini.
Sofia sempat terdiam sesaat, lalu menjawab dengan nada hati-hati.
“Di lantai dua ada banyak kamar tamu, ruang keluarga, juga ada tempat karaoke. Tuan memang menyiapkan lantai dua untuk para tamu yang berkunjung atau keluarga besar kalau sedang datang.”
Arinda mengangguk, matanya berbinar. “Berarti rame banget, ya, kalau ada keluarga besar datang.”
Sofia mengulum senyum tipis, lalu menambahkan dengan suara lebih serius.
“Tapi, nona… jangan ke lantai dua kalau tidak ada izin dari tuan, ya. Itu aturan yang berlaku di rumah ini.”
Arinda menatapnya bingung. “Kenapa memangnya?”
Sofia berusaha tetap tenang, meski hatinya sendiri diliputi keraguan untuk memberi jawaban lebih jelas. “Memang begitu aturannya. Tuan tidak suka kalau ada yang berkeliaran sembarangan. Lagipula… untuk sementara, lebih baik nona tetap di lantai tiga saja.”
Arinda ingin bertanya lebih jauh, tapi urung. Wajahnya masih polos, tak menyimpan curiga apa pun. Ia hanya mengangguk patuh. “Baiklah.”
Tak lama kemudian ia kembali bergumam. “Mbak, Arinda mau ke taman, boleh nggak? Bosan sekali di kamar.”
Sofia menatap nona muda itu, lalu mengangguk lembut. “Kalau itu boleh. Ayo, saya antar ke taman depan.”
Mereka berjalan menuju lift. Dari kaca besar di lorong, cahaya siang menyorot indah, membuat kulit Arinda semakin bercahaya alami. Ia sempat berdecak kagum saat lift berhenti di lantai dasar. Bangunan rumah itu memang luar biasa luas—dinding marmer, hiasan klasik, lampu gantung kristal menjuntai megah.
Namun, langkah Arinda terhenti begitu pintu lift terbuka. Matanya langsung menangkap sosok perempuan lain yang sedang berjalan di ruang tamu. Perempuan itu cantik, rambutnya tergerai rapi dengan potongan modern. Busananya elegan, blazer putih dipadukan rok pensil, ditambah sepatu hak tinggi yang berkilau. Gerakannya mantap, penuh percaya diri—sangat berbeda dengan kelembutan Arinda.
Arinda memandanginya tanpa berkedip. Ada aura asing yang membuat dadanya terasa sesak. Siapa perempuan itu?
Ia ingin sekali bertanya, tapi lidahnya kelu. Tatapannya bergeser sekilas pada Sofia yang berdiri di sampingnya. Namun Sofia justru menunduk, seolah pura-pura tak melihat.
Dalam hati, Arinda sempat berbisik, *apa mungkin dia salah satu tamu? Atau keluarga tuan Leo*?
Perempuan itu—yang tak lain adalah Aurelia—sama sekali tidak menoleh ke arah Arinda. Ia berjalan lurus, menenteng tas mewah, lalu menghilang ke arah lorong lain dengan langkah mantap.
Arinda menelan ludah. Ada rasa aneh yang sulit ia mengerti. “Mbak…” suaranya hampir tak terdengar. Namun niatnya untuk bertanya buyar. Entah kenapa, ada semacam perasaan takut yang menahannya.
Sofia buru-buru menyentuh lengannya lembut. “Mari, nona. Kita ke taman.”
Arinda hanya bisa mengangguk. Hatinya bergolak, tapi ia memilih diam. Mereka kemudian berjalan melewati lorong panjang menuju halaman depan.
Begitu pintu kaca terbuka, hawa segar langsung menyambut. Taman depan rumah itu sungguh indah—pohon-pohon rindang berdiri anggun, bunga berwarna-warni bermekaran, rumput hijau terhampar rapi. Ada kursi rotan di sudut taman yang teduh, tempat sempurna untuk duduk bersantai.
Arinda menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. “Indah sekali,” ucapnya pelan.
Sofia tersenyum melihat ekspresi tulus nona mudanya itu. “Kalau nona bosan, boleh sering-sering duduk di sini. Taman ini memang sering dipakai untuk beristirahat.”
Arinda berjalan pelan menyusuri jalan setapak, tangannya sesekali menyentuh kelopak bunga mawar. Ada rasa bahagia kecil yang muncul, meski pikirannya masih terbayang sosok perempuan cantik tadi.
Dalam hati ia bergumam, siapa pun dia, sepertinya penting sekali. Gayanya berbeda… dan entah kenapa, aku merasa dia bukan orang sembarangan.
Sofia memperhatikan gerak-gerik Arinda dengan seksama. Ia tahu nona itu pasti penasaran. Tapi untuk saat ini, lebih baik ia tidak bicara banyak. Perintah tuan Leo jelas: jangan terlalu banyak menjelaskan.
Arinda akhirnya duduk di kursi rotan, memandang langit biru yang cerah. Perasaan campur aduk membuatnya hanya bisa diam. Rasa kagum pada rumah megah itu bercampur dengan tanda tanya besar tentang kehidupan tuan Leo yang ternyata penuh rahasia.
Sementara itu, Aurelia yang tadi berpapasan singkat dengan Arinda berjalan ke ruang tengah, wajahnya datar namun matanya menyimpan tatapan penuh. Ia sempat melirik sekilas ke arah lift sebelum menghilang.
 
                    