Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 10
Lebaran tinggal menghitung hari, namun Regina harus berangkat pagi buta karena urusan mendesak yang tak bisa diwakilkan.
Dengan berat hati, seusai sahur, ia berpamitan pada Bu Sundari, mertuanya. Regina berjanji akan segera kembali setelah urusannya rampung. Bima mengantarnya dengan motor CBR merahnya.
Tak banyak barang yang dibawa Regina, hanya tas ransel dan waistbag. Seperti datangnya yang bagai angin lalu, ia pergi dengan sederhana.
Brumm...
Suara knalpot brong Bima memecah keheningan malam, membelah sepi seperti pisau. Bima menarik tangan Regina, meminta istrinya memeluk pinggangnya lebih erat. Ia tak ingin Regina kedinginan, melihat jaket levis sobek-sobek yang dikenakannya, bagai terpaan badai yang menghantam kain.
Perjalanan menggunakan motor terasa jauh lebih cepat. Bima dengan lincahnya menyalip kendaraan-kendaraan besar di depannya, membelah jalanan seolah angin adalah sahabatnya. Hanya dalam dua jam, mereka sudah tiba di kediaman orang tua Regina.
Bima dan Regina memasuki rumah. Di ruang tamu, ayah dan ibu Regina sudah menunggu, ditemani kedua kakak laki-lakinya, Bang Temon (Rizky) dan Bang Cebol (Alan).
Ketiganya berpelukan erat, melepas rindu yang menggunung karena lama tak bersua. Rizky dan Alan bergantian menyalami dan memeluk Bima, menyambutnya seperti keluarga sendiri. Sementara itu, Regina memilih langsung menuju lantai atas, menghilang di balik pintu kamarnya.
Regina membuka pintu kamarnya, aroma lavender langsung menyambutnya. Kamar itu masih sama seperti yang ia tinggalkan, setiap sudutnya menyimpan kenangan saat pertama kali menjadi istri sah dari Bima.
Namun, senyum itu perlahan memudar saat ingatannya kembali pada alasan kepulangannya. Pertemuan keluarga ini bukan hanya sekadar melepas rindu, ada hal penting yang harus ia lakukan.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. "Regina, boleh Abang masuk?" suara Rizky terdengar dari balik pintu.
"Masuk aja, Bang," jawab Regina.
Rizky membuka pintu dan masuk, matanya menatap Regina dengan tatapan lembut. "Kamu baik-baik aja kan, nona kecil?" tanyanya sambil duduk di tepi ranjang.
Regina mengangguk pelan. "Baik kok, Bang. Cuma sedikit gugup aja."
Rizky tersenyum, lalu merangkul adiknya. "Abang tahu ini berat buat kamu. Tapi, apapun keputusan kamu nanti, Abang akan selalu mendukungmu."
Mendengar kata-kata itu, air mata Regina mulai menetes. Ia memeluk Rizky erat-erat, mencari kekuatan dari kakaknya. "Makasih ya, Bang," ucapnya lirih.
Rizky mengangguk, lalu mengusap air mata Regina. "Udah, jangan nangis. Nanti cantiknya hilang," candanya.
Regina tertawa kecil mendengar candaan kakaknya. Ia merasa sedikit lebih tenang sekarang. Setidaknya, ia tidak sendirian menghadapi masalah ini.
Dirinya harus segera terbang ke London karena cabang perusahaan miliknya sedang tidak baik-baik saja, ada yang berkhianat pada perusahaan miliknya.
Setelah Bang Temon keluar, pintu kamarnya kembali diketuk. Kali ini, Bima, suaminya, yang muncul. "Bolehkah saya masuk, Nona?" izin Bima.
Regina tersenyum. "Sudahlah, tidak perlu seformal itu. Kita sudah menjadi suami istri. Terkadang telingaku gatal mendengar kamu berkata 'saya, Nona'," ucap Regina dengan nada mengejek.
Senyum Bima kali ini terlihat lebih tulus, memamerkan lesung pipi di sisi kanannya. Regina sampai memiringkan kepalanya, terpesona oleh senyum manis suaminya itu. Senyum itu bagaikan mentari pagi, menghangatkan hatinya.
Merasa diperhatikan sedemikian rupa, Bima melemparkan bantal kecil ke wajah Regina. Regina terhuyung dan mengaduh, membuat Bima khawatir.
Ia takut pukulannya terlalu keras. Namun, sedetik kemudian, Regina tertawa lepas, membuat Bima merasa lega sekaligus bingung.
"Bersihkan dirimu, setelah itu kita istirahat. Penerbangan kita sore ini," ucap Regina pada Bima.
Ya, Bima harus ikut. Ayah dan kedua kakak Regina telah mempercayakan "nona kecil" mereka padanya.
Waktu berlalu begitu cepat. Kini, keduanya sudah berada di dalam pesawat. Waktu tempuh sekitar lima belas jam terasa cukup melelahkan, apalagi ini adalah penerbangan pertama Regina tanpa didampingi ayah, ibu, atau kedua kakaknya.
Regina merasa seperti anak ayam yang baru pertama kali keluar dari kandang, sedikit cemas namun penasaran dengan dunia luar.
Akhirnya, mereka tiba di Bandara Heathrow, London. Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, Meghan dan Nathan, sopir dan asisten pribadi Regina selama di London, sudah menunggu di sana.
Ponsel Regina berdering. Ia mengusap layar dan menjawab, "Hai, cantik, sudah sampai?" tanya Bang Cebol dari seberang sana.
Regina membalik kamera ponselnya, memperlihatkan aktivitas mereka, termasuk Meghan dan Nathan yang tengah mengatur barang bawaan.
"Hm... ya, langsung istirahat. Bima, kamu masih bisa tahan, kan?" tanya Bang Cebol pada Bima dengan nada mengejek.
Bima hanya tersenyum sambil menggaruk pelipisnya. Panggilan telepon berakhir. Di dalam mobil, Meghan menjelaskan agenda Regina, sementara Bima memejamkan mata, berusaha mengumpulkan tenaga meski pikirannya tetap terjaga.
Setibanya di apartemen, mereka bergegas membersihkan diri dan memutuskan untuk segera beristirahat. Apartemen Nathan dan Meghan terletak tidak jauh dari sana, bersebelahan sekaligus berhadapan, memudahkan komunikasi di antara mereka.
Mentari pagi yang malu-malu mengintip di antara awan kelabu, menandakan hari baru di London. Musim gugur telah tiba, mewarnai kota dengan nuansa oranye dan cokelat. Daun-daun kering menari-nari di sepanjang jalan, menciptakan permadani alami yang indah.
Di apartemen Regina yang terletak di tepi Sungai Thames, suasana pagi terasa begitu tenang. Kabut tipis masih menyelimuti permukaan sungai, menciptakan pemandangan yang misterius namun menenangkan. Suara deburan ombak kecil yang menghantam dinding dermaga menjadi melodi pagi yang khas.
Dari jendela apartemen, Regina bisa melihat pemandangan kota yang mulai menggeliat. Lampu-lampu jalan masih menyala, memberikan sentuhan hangat di tengah dinginnya pagi. Orang-orang mulai bergegas menuju tempat kerja, sementara beberapa burung camar terbang rendah di atas sungai, mencari sarapan.
Di dalam apartemen, aroma kopi segar memenuhi ruangan. Regina dan Bima sudah bangun dan bersiap-siap untuk memulai hari. Pagi ini, mereka akan mengunjungi kantor cabang perusahaan Regina untuk melihat langsung situasi yang terjadi. Regina berharap, semua masalah bisa segera diselesaikan dan ia bisa kembali menikmati keindahan kota London bersama Bima.
Regina dan Bima keluar dari apartemen mereka, disambut udara segar musim gugur London.
"Pagi, Nona Regina, Tuan Bima," sapa Nathan ramah sambil membukakan pintu mobil.
"Pagi, Nathan. Bagaimana kabarmu hari ini?" balas Regina sambil tersenyum.
"Baik, Nona. Lalu lintas hari ini lumayan padat, tapi saya akan usahakan kita sampai tepat waktu."
Mobil melaju membelah jalanan kota London yang mulai ramai. Bima mengamati pemandangan di luar jendela dengan takjub. Arsitektur bangunan-bangunan tua yang megah berpadu harmonis dengan gedung-gedung modern yang menjulang tinggi.
"Aku sudah lama tinggal di sini, tapi aku tidak pernah bosan dengan keindahannya." ucap Regina.
Di persimpangan jalan, mereka berhenti di lampu merah. Seorang pria tua dengan topi fedora dan mantel panjang berjalan melewati mobil mereka.
"Permisi," sapanya dengan aksen London yang kental. "Apakah Anda tahu jalan menuju Trafalgar Square?"
"Lurus saja lalu belok kiri di belokan berikutnya," jawab Nathan dengan sopan.
"Terima kasih banyak," balas pria itu sambil tersenyum sebelum melanjutkan perjalanannya.
Percakapan ini sudah aku sesuakan dengan bahasa kita ya gaes.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, mereka tiba di depan sebuah gedung perkantoran modern di distrik bisnis London. Gedung itu tampak megah dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya matahari pagi.
"Kita sudah sampai, Nona," kata Nathan sambil memarkirkan mobil di depan lobi.
Regina, Bima, Nathan, dan Megan keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk gedung. Mereka disambut oleh seorang resepsionis wanita yang ramah.
"Selamat pagi, Nona Regina," sapanya. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat pagi. Saya ada janji dengan Bapak Smith," jawab Regina.
"Baik, silakan tunggu sebentar. Saya akan menghubungi beliau."
Sambil menunggu, Regina mengamati sekeliling lobi. Beberapa karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan mereka, sementara yang lain mengobrol santai di dekat mesin kopi.
Kegugupan mulai menyelimuti Regina. Bima, menyadari hal itu, menggenggam erat tangannya dan mengelusnya perlahan. Senyum manisnya merekah, cukup untuk membuat siapa pun yang melihatnya termasuk author terserang diabetes saking manisnya.
Bukan Upik Abu
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, like mu semangatku❤