Radella Hafsah dan Delan Pratama memutuskan mengakhiri pernikahan mereka tepat pada satu tahun pernikahan mereka. Pernikahan dari perjodohan kedua orangtua mereka yang tidak bisa ditolak, tapi saat dijalani tidak ada kecocokan sama sekali pada mereka berdua. Alasan yang lain adalah, karena mereka juga memiliki kekasih hati masing-masing.
Namun, saat berpisah keduanya seakan saling mencari kembali seakan mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Lantas, bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah terus berjalan berbeda arah atau malah saling berjalan mendekat dan akhirnya kembali bersama lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AiMila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Delan
Delan tidak tahu apa yang terjadi dengan Radella sekarang, tapi pikirannya sedari semalam tidak tenang dan terus tertuju pada Radella. Mendadak dia mengkhawatirkan Radella saat tahu mereka pulang hampir jam sepuluh. Radella terbiasa tidur awal, tubuhnya terlalu lemah saat tidur sedikit lebih larut.
Saat mereka masih satu rumah, beberapa kali Radella sakit akibat malamnya tidur terlalu larut. Saat itu, dirinya merasa bertanggungjawab sebagai suami untuk mengurus Radella yang tengah sakit. Sekarang, dirinya kembali khawatir dan di sinilah sekarang Delan, berada di depan rumah Radella.
Setelah bergelut dengan pikirannya, Delan memutuskan untuk datang berkunjung ke rumah Radella dan memastikan perempuan itu baik-baik saja. Dengan begitu, perasaannya juga ikut tenang, dia baralibi dalam hati kalau mereka masih terikat pernikahan dan sudah seharusnya dia tahu keadaan Radella. Sesudah mengabari asistennya dia akan telat masuk, Delan langsung bertolak ke rumah Radella.
Sekarang dia sudah berada di halaman rumah Radella yang terlihat sepi, mobil milik ayah Radella juga sudah tidak terlihat begitu pula motor milik adik Radella. Hanya menyisakan motor milik Radella yang dia belikan sebagai hadiah ulang tahun untuk perempuan itu beberapa bulan yang lalu. Motor itu terlihat begitu dirawat oleh pemiliknya hingga terlihat bersih dan terawat.
Tidak ingin membuang waktu, Delan segera turun sambil membawa buah-buahan yang dia beli di supermarket sebelum ke rumah Radella juga bubur ayam di jalanan tadi. Kakinya melangkah mantap, sesekali matanya melirik ke lantai dua di mana kamar Radella terlihat. Tangannya memencet bel yang berada tak jauh dari pintu, tanpa menunggu lama seorang pelayan datang membukakannya.
"Tuan Delan? Silahkan masuk, Tuan!" ujar pelayan tersebut mempersilahkan Delan.
"Terimakasih, Bi," balas Delan sambil tersenyum ramah.
Pelayan tadi tentu tahu siapa Delan, buru-buru dia masuk setelah mempersilahkan Delan duduk terlebih dahulu. Setelah kepergian pelayan, tak lama bunda Suci datang dengan wajah sumringah. Menantu kesayangannya datang setelah seminggu yang lalu mengantarkan Radella pulang.
"Delan, Kamu datang?" sambut bunda Suci tersenyum lebar.
Delan segera menyalami tangan Suci, lalu berbicara singkat sebagai basa-basi sebelum berlanjut kepada tujuannya datang. "Bunda, apa Radella ada?" tanyanya hati-hati.
Senyuman Suci semakin mengembang, dirinya baru saja dari kamar Radella yang masih nyenyak dalam tidurnya. Padahal, Radella harus bangun untuk sarapan dan meminum obat yang sudah dibawakan agar segera pulih. Namun, Radella malah semakin nyaman tanpa ingin membuka matanya.
"Dia sakit, Bunda baru saja dari kamarnya mau nyuruh sarapan. Tapi, dianya gak mau bangun," ungkap Suci. Kegelisahan Delan terjawab, kalau Radella benar-benar sakit sesuai kekhawatirannya.
"Kamu ke atas langsung saja, siapa tahu kalau Kamu yang datang, Radella mau bangun dan sarapan!" titah Suci dengan entengnya.
Tidak dengan Delan yang tersentak tidak menyangka bunda Suci akan dengan mudah menyuruh dirinya ke kamar Radella. Meski mereka masih terikat pernikahan, tapi niat mereka yang akan berpisah sepertinya begitu berat kalau harus berada dalam satu ruang berdua. Terlebih lagi, Delan ingat kalau Radella sebentar lagi akan melanjutkan hidup dengan kekasihnya dan posisinya akan tergantikan.
"Eh, tapi, Bun...."
"Kenapa memangnya? Kalian masih suami istri, loh. Sudah sana, Kamu juga sudah membawa bubur juga buat Radella!" sahut bunda Suci dengan cepat. Matanya melirik geli pada bawaan Delan seolah pria itu tahu kalau Radella memang tengah sakit.
"Sudah sana!" usir bunda Suci sebelum Delan kembali bersuara.
Delan sebenarnya juga ingin tahu langsung bagaimana keadaan Radella, tapi dia merasa tidak pantas kalau harus masuk ke kamarnya berdua saja. Dalam setiap langkahnya, Delan membayangkan bagaimana reaksi Radella. Apa perempuan itu akan merasa tidak nyaman karena mereka sebentar lagi akan berpisah dan Radella sudah siap melanjutkan hidupnya lagi bersama kekasihnya.
Memikirkan bagaimana Radella merajut kisah dengan kekasihnya yang akan menggantikan posisinya, membuat Delan ingin berteriak kesal. Namun, dia sadar kalau itu hal konyol yang harusnya tidak pernah terpikirkan. Setiap mengingat kesakitan itu, dia terus memaksakan otaknya memikirkan dirinya bersama Tantri.
Kakinya sampai di kamar Radella, kamar yang cukup sering dia tempati saat mereka berkunjung ke rumah ini. Tangannya mengetuk pintu sebelum membukanya, Delan melangkah masuk menuju tempat tidur Radella. Perempuan itu masih tertidur, di atas nakasnya ada sepiring makanan yang dibawakan bundanya seperti yang barusan Suci katakan.
Dia ikut menaruh buburnya di sana, sedangkan buah-buahannya tadi dia tinggalkan di bawah bersama bunda Suci. Lalu tangannya terulur menyentuh dahi Radella yang terasa panas. Dia menggeleng pelan, saat teringat bagaimana Radella yang enggan sekali pulang semalam hingga dirinya sedikit memaksa dengan mengatakan kalimat yang membuat Radella dengan berat hati menurutinya.
"Radella!" panggil Delan halus.
Radella harus bangun untuk sarapan dan minum obat agar segera baikan, dia berusaha membangunkan Radella. Hampir dua menit, baru membuahkan hasil dan selama itu pula Delan begitu sabar. Mata Radella mulai bergerak, tak lama matanya terbuka sempurna dengan sayu
Objek yang pertama dilihat Radella adalah sosok Delan yang begitu dekat dengannya, matanya kembali menatap Delan memastikan kalau yang dilihat adalah kenyataan. Memastikan dirinya benar-benar sudah terjaga dan di depannya adalah sosok Delan beneran. Dia tidak ingin itu hanya mimpi atau malah parahnya sebuah ilusi, dia tidak ingin sampai di tahap dia membayangkan kehadiran Delan.
"Delan, apa kamu datang benaran?" tanyanya serak dan terdengar lemas.
"Iya, aku datang. Dari semalam aku khawatir dengan keadaanmu, ternyata benar kalau Kamu sakit," ungkap Delan tanpa sadar membuat Radella tersenyum.
"Kamu mengkhawatirkan aku?" sahut Radella.
Delan mendadak gugup, dia berdehem singkat untuk menormalkan ekspresinya. Dia kelepasan berbicara jujur kepada Radella tentang kekhawatirannya dari semalam. Karena sudah terlanjur dan Radella juga sudah mendengarnya, Delan hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.
"Terimakasih," balas Radella sambil mempertahankan senyumannya. Sungguh, dia langsung merasa lebih baik saat terbangun dengan kehadiran Delan seperti sekarang. Padahal, belum lama sang bunda juga datang untuk membangunkannya agar dirinya segera sarapan lalu meminum obat. Namun, dia tetap setia terpejam dan begitu enggan untuk membuka mata.
"Jangan ulangi lagi, Kamu sudah terbiasa tidur lebih awal!" tegur Delan terdengar begitu tulus. Namun, Radella hanya tersenyum saja sebagai balasan.
"Ayo sarapan, tadi aku membelikan bubur. Tapi, Bunda sudah menyiapkan sarapan untuk Kamu. Kamu makan dulu saja sarapan dari Bunda."
Mata Radella melirik ke atas nakas, ada sepiring makanan dari bundanya dan semangkok bubur yang dibelikan oleh Delan. Tanpa bisa dicegah, perasaannya kembali menghangat saat tahu bagaimana Delan memilki firasat yang kuat tentang dirinya hingga pria itu sudah menyiapkan bubur juga.
Radella mulai membangunkan tubuhnya, dengan cepat Delan membantu. Mereka langsung terdiam dan sedikit canggung menyadari betapa intimnya mereka barusan meski hanya beberapa detik karena Delan segera menarik tubuhnya. Bahkan, wangi tubuh Delan bisa tercium oleh Radella barusan.
"Aku mau bubur saja, itu buat Kamu. Temani aku makan, ya!" pinta Radella menatap harap Delan.
Delan bergeming, pikiran buruknya tentang bagaimana respon Radella langsung buyar. Perempuan itu malah terlihat nyaman dengan kedatangannya sekarang, pikir Delan dengan harapan yang dia ciptakan sendiri. Pria itu segera mengangguk menyetujui, meski dia baru saja selesai sarapan di rumah orangtuanya.
Dengan segera, Delan mengambil dan menyiapkan bubur untuk Radella dan sarapan untuknya. "Selamat makan!" seru Radella saat tangannya menyentuh sendok. Delan tertawa kecil, tapi tetap membalas ucapan Radella. Kalau saja, kedua adik atau orangtua mereka tahu, mereka pasti sudah menjadi bahan ejekan.
"Ini bubur langganan kita dulu," ujar Delan saat Radella menyuapkan ke dalam mulutnya.
Mereka sering membeli di tempat itu, tapi belum pernah makan langsung di tempatnya. Itu pun, Radella menunggu di mobil atau Delan yang menunggu. Pokoknya hanya salah satu yang turun untuk membeli meski mereka datang bersama. Karena, bubur itu masih berada di lingkungan rumah Delan, yang mana banyak orang-orang yang mengenal keduanya.
"Cobalah!" Tangan Radella menyodorkan sendok berisi bubur ke depan mulut Delan yang langsung bergeming.
Mata pria itu menatap mata cerah Radella meski terlihat sayu. Senyum Radella menghiasi wajah pucatnya, dan untuk pertama kalinya perempuan itu menyodorkan sendok seperti sekarang. Karena, selama satu tahun mereka menikah dan tinggal bersama, mereka tidak pernah saling menyuapi. Meskipun Radella sakit, perempuan itu tetap mencoba makan sendiri.
"Ayo, cobalah!" ulang Radella masih setia dengan tangannya di depan mulut Delan.
Delan tersenyum tipis, lalu menerima suapan dari Radella untuk pertama kalinya. Ada rasa senang dengan momen manis itu, tapi sebelum dia benar-benar menikmati dengan leluasa, ponsel Radella berdering. Keduanya sama-sama menoleh menatap layar ponsel Radella yang tak jauh dari mereka, nama sang pemanggil tertera jelas di layar.
"Reno?" lirih Radella.
Delan tersenyum kecut, dia langsung disadarkan oleh kenyataan kalau mereka akan segera berpisah. Radella akan melanjutkan hidupnya dengan kekasihnya, begitu pun dengan dirinya. Tentu saja, Delan tahu siapa Reno, mereka saling tahu nama kekasih masing-masing.
"Dia hampir setiap waktu menelponku," sambung Radella tersenyum tipis. Delan memalingkan wajah, dadanya sesak saat mendengar kalimat Radella barusan. Ada apa denganku, bukankah dari dulu mereka setiap hari saling telepon, batin Delan dengan rasa sesak yang muncul dengan kuat.