Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa sakit itu masih ada
Langit di atas Satropa telah berganti menjadi biru tua, dihiasi sisa cahaya jingga yang tersangkut di tepi gedung-gedung tinggi. Lampu taman di area parkiran mulai menyala satu per satu, menebar cahaya kekuningan lembut di antara deretan mobil dan motor para panitia yang masih tersisa.
Suara langkah dua orang menggema pelan di sepanjang koridor menuju area terbuka itu.
Zea berjalan setengah tertarik di belakang Agler—bukan karena paksaan, tapi karena jemari pria itu masih menggenggam pergelangan tangannya.
Ia tidak melawan. Hanya menatap genggaman itu tanpa ekspresi, lalu pasrah mengikuti.
Udara sore yang lembap menyentuh wajahnya ketika mereka akhirnya keluar dari gedung utama.
Suara jangkrik samar mulai terdengar di kejauhan, bersaing dengan desau lembut angin yang menerbangkan helaian rambut Zea.
Agler berhenti di dekat motor hitamnya. Napasnya berat namun tetap teratur. Ia belum sadar kalau genggamannya masih belum terlepas sejak tadi.
Beberapa detik berlalu dalam diam.
Hanya suara kipas mesin pendingin gedung yang terdengar.
Zea menunduk sedikit, menatap tangannya yang masih berada dalam genggaman itu.
Tatapannya kosong, tapi di balik tenangnya, ada riak emosi yang belum sempat ia kendalikan.
“Bisa lepasin?” suaranya datar, nyaris seperti bisikan.
Agler menoleh, seolah baru sadar. Ia melepaskan cengkeramannya perlahan.
“Sorry,” gumamnya pendek.
Begitu bebas, Zea menarik tangannya pelan, menatap kulitnya yang memerah samar karena bekas genggaman itu.
Agler menatapnya beberapa detik, mencoba membaca ekspresi di wajah gadis itu. Tapi Zea menolak memberi reaksi apa pun___kecuali wajah datar tanpa ekspresi seperti biasa.
“Gue balik,” katanya singkat sambil menghampiri motornya.
Namun sebelum sempat pergi, Agler menahan langkahnya dengan sebuah pertanyaan,
“Lo liat apa tadi?”
Zea tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Gak penting,” ujarnya tenang. “Gue cuma salah jalan.” Jawabannya datar.
Matanya menatap lurus ke depan__ke arah langit malam yang mulai pekat, sebelum akhirnya ia menaiki motor sport putihnya.
Suara mesin menyala, dan tanpa menoleh lagi, Zea menarik tuas gas, melaju pergi meninggalkan Agler yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan helaan napas berat.
...----------------...
Raungan mesin motor putih itu memecah keheningan jalanan sekitar Satropa yang mulai sepi.
Lampu-lampu jalan berbaris di sisi kanan, memantulkan cahaya di bodi motor Zea yang melesat cepat menembus udara malam Jakarta.
Jarum digital di speedometer sudah melewati angka 90, tapi Zea tidak melambat. Tangannya mencengkeram grip gas kuat-kuat, seolah berusaha melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat.
Namun yang paling tak bisa ia hindari—adalah bayangan itu.
Siluet di balik kaca buram laboratorium.
Rafka… dan Friska, yang terlihat bercumbu mesra di sana, masih terbayang jelas di kepalanya.
Cahaya lampu jalan menari di visor helm-nya, memantulkan kilau tajam di matanya yang kosong.
Suara detak jantungnya berpacu seirama dengan deru mesin yang semakin keras.
Ia memalingkan wajah sedikit, menggigit bibir bawahnya dengan keras—menahan sesuatu yang menggumpal di dadanya. Rasa sakit itu masih ada…
Tangannya memutar gas lagi, menambah kecepatan tanpa sadar. Angin malam menampar pipinya, menyapu sisa aroma parfum dari rapat tadi.
Di dalam helm, napasnya memburu.
“Gue gak peduli…” bisiknya pelan, entah kepada siapa. Namun suaranya terdengar seperti kebohongan yang ia paksa untuk percaya.
Beberapa kilometer kemudian, jalan mulai sepi.
Hanya ada deretan warung kecil di sisi kiri, sebagian sudah menutup tirai plastiknya.
Zea menurunkan kecepatan perlahan, lalu menarik rem dan menepi di depan satu warung yang masih buka—diterangi lampu neon putih kusam bertuliskan
“Kopi & Mi Instan – Buka 24 Jam.”
Motor putih itu berhenti dengan suara lembut.
Zea mematikan mesin, lalu melepas helmnya perlahan. Rambutnya terurai sedikit berantakan, menempel di leher karena keringat dan angin malam.
Ia duduk di bangku kayu panjang di depan warung tanpa memesan apa pun lebih dulu. Tangannya bertumpu di paha, jemarinya masih sedikit bergetar karena sisa adrenalin.
Dari kejauhan terdengar suara kendaraan lewat, tapi tak satu pun menarik perhatiannya.
Zea hanya menatap kosong ke arah jalan, bibirnya terkatup rapat. Ekspresinya tetap datar—namun pikirannya berantakan.
Friska… Rafka… Nama itu terus berputar di kepalanya seperti gema.
Ia menunduk, menarik napas dalam. Udara malam bercampur aroma kopi dan bensin memenuhi paru-parunya. Untuk sesaat, ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.
Namun setiap kali kelopak matanya tertutup, bayangan itu kembali muncul—siluet dua orang di bawah cahaya laboratorium yang buram.
Terlalu jelas. Terlalu menyakitkan.
Ia membuka matanya cepat, menatap aspal gelap di depannya. Sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya—tawa hambar, lebih mirip hembusan sarkas daripada hiburan.
“Lucu ya,” gumamnya lirih. “Mereka aja masih bisa lanjut hidup kayak biasa… tapi gue?”
Dari dalam. Pemilik warung, seorang bapak paruh baya, menatap dari balik meja.
“Mau kopi, Neng?” tanyanya pelan.
Zea menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Teh hangat aja, Pak. Ada?”
Bapak itu mengangguk ramah. “Ada. Bentar ya, Neng.” Ia bergegas menyiapkan pesanan.
Sementara itu Zea kembali menatap langit malam yang sudah gelap sempurna—tanpa bintang, hanya diterangi lampu jalan yang redup.
Tak lama kemudian, bapak itu datang membawa secangkir teh hangat yang masih mengepul.
“Tehnya udah jadi, silakan, Neng,” katanya riang sambil menyodorkannya.
Zea tersenyum kecil. “Makasih, Pak.”
Bapak itu balas tersenyum, “Sama-sama, Neng. Mau pisang goreng sekalian? Masih hangat, cocok banget diminum bareng teh pas udara dingin begini.”
Zea terkekeh. “Boleh deh.”
Dengan sigap, bapak itu masuk ke dalam dan kembali membawa sepiring pisang goreng yang baru diangkat dari wajan.
“Nah, ini dia. Pisang goreng buatan mamang, dijamin bikin ketagihan!”
Zea tertawa kecil, hampir melupakan pikiran yang sempat berantakan tadi.
“Si Neng malah ketawa,” ujar si bapak sambil tersenyum. “Tapi itu lebih baik, soalnya muka si neng tadi kayak orang yang lagi ditagih utang.” Lanjut si bapak setengah bercanda.
“Bapak bisa aja,” balas Zea, masih tersenyum kecil.
“Ya udah, Bapak ke dalam dulu ya,” katanya sambil berbalik.
Zea mengangguk, lalu mengambil satu potong pisang goreng dan menggigitnya pelan.
Matanya melebar___rasanya benar-benar enak.
“Hmm… enak banget, Pak pisangnya!” serunya spontan.
Bapak itu tertawa dari dalam. “Tuh kan, baru percaya!”
“Serius deh, Pak. Pisangnya enak banget. Ini pisang apa, sih?” tanya Zea penasaran.
“Kalau di kampung saya namanya pisang cau kepok,” jawabnya dari dapur kecil.
“Cau?” ulang Zea.
“Iya, cau itu artinya pisang, dalam bahasa Sunda. Nah, kepok itu jenisnya.”
“Oh, bapak orang Sunda?”
“Iya, Neng. Saya dari Bandung.”
“Oalah… pantesan,” gumam Zea sambil tersenyum.
Ia kembali menyeruput teh hangatnya dan menikmati beberapa potong pisang goreng lagi.
Lalu—sesuatu menyentuh pergelangan kakinya.
Lembut, seperti bulu halus yang menyapu kulit.
Zea menunduk refleks. Seekor kucing hitam kecil muncul dari bawah bangku. Matanya berkilat kuning terkena pantulan cahaya lampu. Tubuhnya agak basah, mungkin habis berkeliaran di jalan yang lembap.
Zea terpaku sejenak, sebelum akhirnya bergumam pelan, “…kamu lagi?”
Ia mengenali hewan itu. Kucing yang sama—yang beberapa malam lalu ia temui di tumpukan kayu dekat gedung tua yang katanya markas pemuda itu. Agler. Black Venom.
Kucing itu mengeong pelan, lalu naik ke bangku dan menggesekkan tubuhnya ke sisi Zea tanpa ragu.
Refleks, jemari Zea yang hangat karena gelas teh terulur, mengelus kepala kecil itu dengan lembut.
Senyum samar muncul di sudut bibirnya.
“Hai, akhirnya ketemu lagi. Aku kira kita gak bakal ketemu lagi, setelah kamu kabur gara-gara pemuda songong itu.” katanya sambil terkekeh kecil, mengingat malam itu ketika Agler datang dan membuat kucing ini lari ketakutan.
Kucing itu mengeong pendek, seolah menjawab.
Zea tertawa kecil. Tapi suara tawa itu segera tertelan oleh deru mesin motor yang terdengar mendekat.
Lima motor besar berhenti tepat di depan warung.
Para pengendara turun satu per satu, melepaskan helm mereka. Dan dari antara kelimanya, dua wajah langsung menarik perhatian Zea.
Qyler Khaf Alexander, dan Sagara Caesar Damara. Teman sekelasnya.
Zea
kenapa kamu lupa ingatan...
apakah sebelum nya Violet sudah bertunangan dengan Agler...
lanjut Thor ceritanya
sudah 2 kali bikin kecelakaan buat Zea/ Vio
apakah yg terjadi..
lanjut thor ceritanya
semoga aja kebusukan Friska & pacar nya
kebongkar tentang hubungan mereka...
terutama tentang kecelakaan Zea...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶