Wei Lin Hua, seorang assassin mematikan di dunia modern, mendapati dirinya terlempar ke masa lalu, tepatnya ke Dinasti Zhou yang penuh intrik dan peperangan. Ironisnya, ia bereinkarnasi sebagai seorang bayi perempuan yang baru lahir, terbaring lemah di tengah keluarga miskin yang tinggal di desa terpencil. Kehidupan barunya jauh dari kemewahan dan teknologi canggih yang dulu ia nikmati. Keluarga barunya berjuang keras untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan yang mencekik, diperparah dengan keserakahan pemimpin wilayah yang tak peduli pada penderitaan rakyatnya. Keterbelakangan ekonomi dan kurangnya sumber daya membuat setiap hari menjadi perjuangan untuk sekadar mengisi perut. Lahir di keluarga yang kekurangan gizi dan tumbuh dalam lingkungan yang keras, Wei Lin Hua yang baru (meski ingatannya masih utuh) justru menemukan kehangatan dan kasih sayang yang tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Nyonya Chen terkejut mendengar pengakuan Lin Hua, namun ia tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Ia sudah menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara Lin Hua dan Chen Feng Yu. Ia tahu bahwa Lin Hua tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan yang kuat.
"Aku tahu," jawab Nyonya Chen dengan tenang. "Aku tahu bahwa kau pasti memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu."
"Chen Feng Yu berencana untuk merebut plat komando militer dan mengkhianati keluarga Chen," jelas Lin Hua. "Dia bekerja sama dengan pihak luar untuk menjatuhkan Jenderal Chen."
Nyonya Chen menghela napas panjang. Ia sudah menduga bahwa Chen Feng Yu memiliki niat jahat, namun ia tidak menyangka bahwa pria itu akan berani mengkhianati keluarga Chen.
"Aku berterima kasih karena kau telah melindungi keluarga kami," kata Nyonya Chen dengan tulus. "Kau telah menyelamatkan nyawa putraku dan mencegah terjadinya pengkhianatan yang lebih besar."
Lin Hua mengangguk. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan," jawabnya. "Aku berjanji akan melindungi keluarga Chen sampai akhir hayatku."
Nyonya Chen tersenyum tipis. Ia tahu bahwa ia bisa mempercayai Lin Hua. Wanita itu adalah seorang pejuang yang kuat dan setia. Ia akan melakukan apa pun untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi.
"Masuklah," kata Nyonya Chen. "Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang. Istirahatlah, aku akan menyiapkan kamar untukmu."
Lin Hua mengangguk dan mengikuti Nyonya Chen masuk ke dalam kediaman. Ia merasa lega karena telah berhasil membawa Jenderal Chen kembali dengan selamat.
Lin Hua meringis pelan, "Ugh! Seluruh tubuhku remuk rasanya," gumamnya lirih. Ia terduduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin perunggu yang mulai berkarat di beberapa bagian. Cahaya senja yang masuk dari jendela membuat bayangan di wajahnya tampak sayu.
"Ternyata sudah mulai pudar," desahnya, mengamati tato henna berwarna cokelat kemerahan di wajahnya yang kini tampak memudar dan retak. Aroma rempah yang dulu semerbak kini hanya tinggal samar-samar.
Dengan gerakan perlahan, Lin Hua meraih kertas dan kuas yang tergeletak di samping cermin. Tinta hitam mulai menari di atas kertas, membentuk kata demi kata yang ditujukan untuk Kaisar Han Ruo Xun. Ia melaporkan kondisi Jenderal muda Chen yang masih belum stabil pasca pertempuran di perbatasan, serta keputusannya untuk tidak kembali ke istana dan memilih untuk memulihkan diri di luar.
"Yuwen," panggil Lin Hua dengan suara yang sedikit serak.
Sosok Yuwen yang sedari tadi berjaga di depan pintu kamar segera menghambur masuk. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya dengan nada khawatir, memperhatikan wajah pucat Lin Hua.
"Berikan surat ini kepada Kaisar secepatnya. Setelah itu, susul aku ke kediaman baruku di gang Bunga Persik," perintah Lin Hua sambil menyerahkan surat yang sudah dilipat rapi. Segel lilin merah dengan ukiran bunga teratai ditekan kuat, memastikan kerahasiaannya.
"Baik, Nona," jawab Yuwen sigap. Ia menerima surat itu dengan kedua tangan, membungkuk hormat, lalu bergegas pergi untuk menyampaikan pesan penting tersebut. Langkahnya cepat, seolah membawa beban yang tak terlihat.
Dengan langkah berat, Lin Hua kembali bangkit dari duduknya. Ia meninggalkan kamarnya di kediaman Jenderal Chen, menyusuri lorong-lorong yang sepi dan remang-remang. Suara langkah kakinya menggema pelan, seolah membawa beban yang tak terucapkan. Topeng rubah putih dengan lukisan bunga lotus merah kembali bertengger di wajahnya, menyembunyikan ekspresi yang mungkin terlalu jujur untuk dilihat orang lain.
Tujuannya kali ini adalah Paviliun Nyonya Besar Chen, tempat wanita tua itu menghabiskan sebagian besar waktunya. Lin Hua berhenti sejenak di depan pintu paviliun, menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya dengan suara datar dan berat, "Apakah Nyonya Chen ada di dalam?"
Pelayan yang berjaga di luar pintu, seorang wanita muda dengan wajah ramah, mengangguk hormat. "Silakan masuk, Nona," ujarnya sopan sambil membuka pintu lebar-lebar.
Lin Hua melangkah masuk ke dalam kamar Nyonya Chen. Ruangan itu terasa hangat dan nyaman, dihiasi dengan perabotan kayu antik dan lukisan-lukisan kaligrafi yang indah. Namun, suasana di dalam terasa berat dan penuh pikiran. Nyonya Chen, seorang wanita tua dengan rambut putih yang disanggul rapi, duduk di kursi berlapis sutra dengan tatapan kosong ke arah taman.
"Nyonya," sapa pelayan setia Nyonya Chen, menyadarkan wanita tua itu dari lamunannya.
Lin Hua memberi hormat dengan anggun kepada Nyonya Chen. "Nyonya, maafkan saya, sepertinya saya tidak bisa berlama-lama berada di sini," ujarnya dengan nada menyesal.
"Apakah kita tidak bisa makan malam bersama? Saya sudah menyiapkan hidangan kesukaanmu," tanya Nyonya Chen dengan nada penuh harap.
"Maafkan saya, Nyonya. Ada hal penting yang masih harus saya kerjakan," ucap Lin Hua, menolak ajakan itu dengan halus. Ia tahu Nyonya Chen ingin berterima kasih atas bantuannya menyelamatkan Jenderal Chen, tetapi ia merasa tidak pantas menerima semua ini.
Nyonya Chen bangkit dari duduknya dengan perlahan, menghampiri Lin Hua dengan langkah yang sedikit goyah. Wanita tua itu meraih tangan Lin Hua dan melepaskan gelang giok hijau zamrud yang melingkar di pergelangan tangannya. Gelang itu tampak berkilauan di bawah cahaya lampu, memancarkan aura kehangatan dan kedamaian. Dengan lembut, Nyonya Chen menggenggam tangan Lin Hua dan memberikan gelang giok itu kepadanya. "Terimalah," ujarnya dengan nada tulus, saat Lin Hua tampak ragu dan ingin menolak pemberian itu.
"Ini terlalu berharga untuk saya miliki, Nyonya," ujar Lin Hua dengan nada sungkan. Ia tahu gelang giok itu adalah pusaka keluarga Chen yang sangat berharga.
"Terimalah sebagai tanda terima kasihku karena kau sudah menyelamatkan Yu'er," ujar Nyonya Chen, memaksa Lin Hua untuk menerima pemberian itu.
"Terima kasih banyak, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi dulu," ujar Lin Hua, terpaksa menerima gelang giok dari Nyonya Chen dengan perasaan campur aduk. Ia tahu pemberian ini adalah bentuk penghargaan yang tulus, tetapi ia merasa tidak nyaman menerima sesuatu yang begitu berharga. Ia membungkuk hormat sekali lagi, lalu berbalik dan meninggalkan paviliun dengan langkah yang lebih ringan. Gelang giok itu terasa dingin di telapak tangannya, mengingatkannya pada tanggung jawab dan harapan yang kini ia emban.
Lin Hua berjalan melewati paviliun milik Chen Fei Yu. Beberapa tabib dengan wajah serius masih tampak sibuk memeriksa keadaan pria itu, sesekali terdengar gumaman dan instruksi pelan. Namun, Lin Hua tidak terlalu mempedulikannya. Pikirannya sudah tertuju pada tempat lain, pada kedamaian yang ia idam-idamkan. Ia berjalan dengan langkah mantap, diikuti oleh Shen Jian dan Zhu Feng yang setia di belakangnya, meninggalkan kediaman Jenderal yang megah namun terasa menyesakkan.
"Mulai sekarang, kalian berdua tinggal di kediamanku," ujar Lin Hua kepada kedua tangan kanannya itu, tanpa menghentikan langkahnya. Suaranya terdengar tegas namun lembut, menunjukkan perhatiannya pada kedua pengawalnya itu.
"Baik, Nona," jawab Shen Jian dan Zhu Feng serempak, dengan nada hormat dan penuh kesetiaan. Mereka sudah lama mengabdi pada Lin Hua dan siap mengikuti perintahnya ke mana pun ia pergi.
Mereka tiba di halaman depan kediaman Jenderal, tempat kuda-kuda mereka telah disiapkan. Dengan gerakan lincah, mereka menaiki kuda masing-masing. Saat mereka hendak keluar dari gerbang kediaman Jenderal, sebuah kereta kuda mewah berhenti tepat di depan mereka. Pangeran Han Yuan, dengan jubah brokat berwarna biru laut dan mahkota emas di kepalanya, baru saja tiba di kediaman Jenderal atas perintah Kaisar Han Ruo Xun. Kedatangannya adalah untuk memeriksa keadaan Jenderal Chen dan memberikan perlindungan tambahan pada Jenderal muda itu, sebagai bentuk penghargaan atas jasanya pada negara.
Pangeran Han Yuan turun dari kereta kuda dengan anggun, matanya langsung tertuju pada sosok Lin Hua yang sedang menunggang kuda. Ia ingin menghampiri wanita itu, menanyakan keadaannya, dan memastikan bahwa ia baik-baik saja. Namun, Lin Hua tidak berniat untuk berhenti atau berinteraksi dengannya. Ia justru memacu kudanya dengan cepat, melewati gerbang kediaman Jenderal dan menghilang di jalanan kota yang ramai.
Pangeran Han Yuan terkejut dengan tindakan Lin Hua yang tiba-tiba itu. Ia mencoba untuk menghentikannya, berteriak memanggil namanya, tetapi suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk kota. Ia terlambat, Lin Hua sudah lebih dulu memacu kudanya dengan cepat, meninggalkan kediaman Jenderal dan segala intrik di dalamnya. Pangeran Han Yuan hanya bisa menatap kepergiannya dengan tatapan bingung dan sedikit kecewa. Ia tidak mengerti mengapa Lin Hua menghindarinya, mengapa ia begitu terburu-buru untuk pergi.