NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:249
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mau Tak Mau, Harus Percaya

“Tom!”

Tomi yang sedang mencuci motornya di halaman, menoleh ke arah pintu pagar.

“Bang Raffi.” Tomi mencuci tangannya lalu membuka pagar.

“Rajin amat kamu, Tom. Pagi-pagi udah nyuci motor,” sapa Raffi seraya mendorong motornya masuk ke halaman rumah.

“Biar kinclong kayak juragannya. Eh … Juragannya tetap paling ganteng sih,” kekeh Tomi. “Eh, Bang. Sebentar ya. Aku kelarin dulu nyucinya. Nanggung.”

Raffi mengangguk. Ia duduk di kursi teras. “Sepi amat. Pak Mardi kemana?”

“Bapak sama Ibu ke kota. Kak Nira lahiran,” jawab Tomi tanpa menoleh.

Deg!

Raffi terdiam. Lahiran? Nira sudah melahirkan?

Tomi mematikan kran air, mengambil lap, lalu mengelap motornya.

“Abang terkejut?” tanya Tomi, melirik Raffi yang terdiam.

“Tapi … Nira belum lama menikahnya ‘kan?” Raffi menatap Tomi, tak percaya.

“Emang gosip di luar sana nggak sampai di Abang? Nggak perlu lah aku perjelas. Kak Nira emang nikah tiga bulan lalu. Tapi, kawinnya udah lama.” Tomi menyeringai, kembali mengelap motornya.

Raffi menggeleng. Rafa pernah mengatakannya. Tapi, ia tak percaya. Baginya, Nira adalah perempuan yang baik. Bahkan ia marah saat Rafa mengatakan hal buruk tentang Nira.

Tapi, kali ini Tomi mengatakannya sendiri. Kedua orang tuanya juga pergi ke kota, menemui Nira yang sudah melahirkan.

Perkataan Rafa yang ia anggap gosip ternyata fakta. Raffi tak bisa mengelak. Ucapan Rafa benar. Nira menikah karena sudah hamil duluan.

“Abang mau ngopi?” tanya Tomi, menghampiri Raffi.

Raffi mengangguk kaku. Tomi lantas berseru, memanggil istrinya untuk membuatkan dua gelas kopi.

“Dari ekspresi Abang, kayaknya Abang kaget dengan berita kelahiran Kak Nira.”

Raffi memandang Tomi, menghela napas. “Aku masih nggak percaya kalau Nira melakukan hal itu sebelum menikah.”

Tomi menyeringai. “Dia di kota sendirian, Bang. Mengharap apa sama perempuan yang tinggal sendirian di kota besar, dikelilingi orang-orang yang hidup bebas, tanpa pengawasan orang tua. Kak Nira sudah terbawa arus bebas itu sendiri, Bang.”

Raffi terdiam. Fitri keluar, membawa nampan berisi dua gelas kopi dan meletakkannya di meja.

“Kamu mau dibuatin sarapan apa, Tom?” tanya Fitri.

“Beli aja deh. Di warung Mak Sum sana,” jawab Tomi.

“Abangnya juga mau sekalian?” Fitri menatap Raffi. Raffi menggeleng.

Fitri mengangguk. Keluar, menuju warung Mak Sum.

“Sebenarnya aku lebih setuju Abang yang jadi suami Kak Nira.” Tomi berkata setelah menyeruput kopinya.

“Tapi Pak Mardi tak merestui.” Raffi menghela napas pelan.

“Itu masalahnya. Kalau Abang berani nekat, pasti saat ini Abang yang jadi kakak iparku.”

“Nekat bagaimana?”

“Hamili Kak Nira. Dengan begitu, Bapak pasti langsung merestui.”

Raffi mendelikkan matanya. “Seperti kamu begitu? Demi restu, kamu menghamili Fitri?”

Tomi tertawa, menggeleng. “Itu kebobolan, Bang. Beda lagi. Kami cuma bersenang-senang. Dan sialnya dia menjebakku.”

Raffi menyeruput kopinya. Bersandar, menatap Tomi. “Cinta itu menjaga, Tom. Bukan malah merusak. Kalau merusak, namanya nafsu.”

“Tapi, kalau nggak gitu, Bang Riki pasti juga nggak direstui Bapak. Dia sales obat. Aku tahu, Bapak itu pemilih banget untuk urusan jodohnya Kak Nira. Secara dia adalah anak kesayangannya. Tapi, karena Bang Riki ambil langkah nekat, Bapak jadi merestui mereka tanpa perlu kenal dulu sama Bang Riki, Bapak langsung mengadakan pernikahan.”

“Abang mencintai kakakmu, Tom. Saat hubungan kami ditentang oleh Bapakmu, kami masih tetap berhubungan. Tapi, tak sedikitpun terbersit dalam pikiranku untuk menghalalkan segala cara agar Bapakmu merestui hubungan kami. Saat itu, semuanya sulit. Ditambah Nira yang bersikeras ingin merantau ke kota besar. Akhirnya hubungan kami berakhir.”

Raffi menatap cangkir kopinya. “Aku mengalah. Demi Nira yang ingin meraih impiannya. Demi kebebasannya dan demi rasa sayangku padanya, aku melepasnya. Bukan berarti aku melupakannya. Aku menunggu, Tom. Selama ini aku menunggu.” Raffi berkata lirih di ujung kalimat. Rasa sesak itu kembali muncul seiring ingatannya berputar ke masa-masa kelam berpisah dengan Nira.

Tomi menatap prihatin. “Eum, Abang orang baik. Pasti akan mendapat perempuan yang baik pula.”

Raffi tersenyum pahit. Ia kembali meneguk kopinya. Obrolan berlanjut sebentar, sebelum akhirnya Raffi berpamitan tepat di saat Fitri kembali membawa sarapan untuk Tomi.

Raffi melamun sepanjang jalan menuju rumahnya. Beberapa warga yang kenal menyapa, tapi Raffi mengacuhkannya. Pikirannya serasa jauh dari jiwanya.

Sampai rumah, Raffi duduk di teras depan. Menghela napas panjang. Segala ingatan masa lalu bersama Nira bercampur dengan perkataan Tomi.

Andai dia nekat. Andai dia seperti Riki, meminta restu lewat orang dalam di perut Nira. Andai saja dia tak membiarkan Nira pergi merantau. Andai saja …

Raffi menggeleng. Tak seharusnya dia berandai-andai lagi. Ia juga tak mau disamakan dengan Riki. Ia berbeda. Cintanya tulus pada perempuan yang ia sayangi.

Sampai kapanpun, kalaupun kalimat andai itu ada, ia tetap akan menjaga kehormatan Nira sebelum mereka resmi menikah. Ia akan berusaha untuk tak terbuai oleh nafsu bersamar nama cinta.

Nira sudah tak sama lagi. Rafa benar. Nira bukan perempuan yang baik sejak putus dengannya. Nira sama brengseknya dengan lelaki yang menghamilinya.

Walau cinta itu masih ada, tapi Raffi berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan melanjutkan hidupnya. Ia menyadari sesuatu. Sejak hubungannya dengan Nira berakhir, Nira tak pernah menghubunginya. Selalu Raffi duluan yang mencari. Ternyata Nira memang tak mencintainya sebesar ia mencintai Nira. Sejak dulu. Atau mungkin memang sejak awal mereka berpacaran, cinta Nira tak sebesar milik Raffi.

***

Nira mencium aroma masakan lezat saat ia membuka matanya. Ia lantas duduk perlahan, turun dari ranjang, dan perlahan melangkah ke kamar mandi.

Selesai membersihkan wajahnya, ia melihat ke arah ranjang bayi di sebelah ranjangnya. Kosong. Arsa pasti sedang dibawa Riki atau malah orang tuanya.

Nira keluar dari kamar dan tertatih menuruni tangga.

“Ya ampun, Nira. Kok kamu turun sih? Harusnya di kamar aja. Teriak nggak papa kalau butuh apa-apa. Kamu belum sembuh benar.” Sinta langsung mengomel saat melihat Nira melangkah masuk ke dalam dapur.

Nira duduk di meja makan. “Kalau diam terus di kamar, nanti malah nggak sembuh-sembuh, Bu jahitannya. Kata dokter, boleh banyak gerak kok. Tapi pelan-pelan.”

Sinta meletakkan masakannya di atas meja makan. Nira tersenyum lebar, tak sabar mencicipi masakan Ibunya.

“Oh iya, Arsa mana, Bu?”

“Arsa lagi diajak berjemur sama Bapakmu.” Sinta menyiapkan makanan untuk putrinya. “Masih panas. Pelan-pelan aja makannya.”

Nira menyeringai dan menyuap makanannya pelan-pelan. “Ibu nggak ikut makan?”

Sinta menggeleng. “Nanti aja sama Bapak. Ibu mau nyusul Bapak dulu di depan.”

Nira mengangguk dan melanjutkan lagi makannya.

“Enak ya kalau ada Ibu. Pagi-pagi udah dibuatin sarapan.” Riki berkata sambil menarik kursi di seberang Nira.

Nira mengangkat wajahnya. Dahinya mengernyit, melihat penampilan Riki. “Kamu mau kemana dandan rapi begitu?”

Riki menuang nasi dan lauk ke dalam piring. “Kerja lah.”

“Kerja?”

“Iya. Yang cuti ‘kan kamu. Aku nggak dapat cuti melahirkan,” kekeh Riki mulai menyuap makanannya.

“Lembur?”

“Enggak. Gaji kemarin aja dicicil masa iya mau lembur.”

“Terus kenapa hari Minggu kamu berangkat kerja?”

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!