Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Penasaran
Kakek Winarta terdiam lama. Ia menatap lukisan itu dengan sorot mata seorang seniman sejati.
Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia berucap pelan, “Shinta, kemampuanmu luar biasa. Bahkan Kakek pun merasa kalah.”
Namun setelahnya, ia menghela napas panjang.
“Tapi… bukankah lukisan ini terlalu berat dan menekan?
Coba tambahkan satu jendela, biarkan cahaya matahari masuk. Sedikit saja, akan memberi harapan pada semua yang melihatnya.”
Memang, seluruh lukisan itu didominasi warna gelap. Bahkan tempat gadis itu duduk pun tertutup bayangan pekat.
Mendengar saran itu, Shinta menatapnya dengan mata berbinar. “Terima kasih, kek. Aku sudah memikirkannya berhari-hari, tapi tidak menemukan jawabannya. Satu saran dari Kakek saja langsung membuatku paham.”
Kakek Winarta tertawa pelan, puas. “Shinta, kamu benar-benar punya bakat seni. Seringlah datang ke rumah ini. Kakek memang sudah tua, tapi soal melukis, bahkan dibanding pelukis terkenal negeri ini, Kakek masih bisa berdiri sejajar. Julukan ‘guru besar’ itu bukan sembarang pujian.”
Shinta tersenyum lembut.
“Asal Kakek nggak bosan lihat aku.”
“Tidak akan pernah!” Kakek Winarta tergelak, suaranya memenuhi ruangan.
Di samping mereka, Lukman Adiprana hanya bisa menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Lihat, di mata Kakek, aku,cucu kandungnya sendiri, dianggap seperti cuma rumput liar. Sementara Shinta malah diperlakukan seperti permata.
Shinta menemani Kakek Winarta hingga malam sebelum akhirnya pulang.
Kali ini, Fajar Pramudya yang mengantarnya. Lukman sempat ingin ikut naik mobil,
“Biar sopir yang antar kamu pulang,” ujar Fajar datar.
“Eh? Bukannya searah, Abang?” tanya Lukman bingung.
Jawabannya hanya suara keras, brak! Pintu mobil tertutup tepat di depan wajahnya.
Lukman terdiam. Oke, jelas. Bang Fajar cuma nggak mau aku jadi bohlam pengganggu.
Dengan pasrah, Lukman pun naik ke mobil sopir dan berlalu.
Di dalam mobil Fajar, suasana hening. Hanya suara mesin dan cahaya lampu jalan yang berganti cepat di luar jendela.
Saat berhenti di lampu merah pertama, Fajar akhirnya bersuara, nada rendah tapi tegas. “Shinta, inspirasimu untuk lukisan tadi, dari mana?”
Shinta tak bisa mengatakan bahwa itu berasal dari masa lalunya. Jadi ia hanya menunduk sedikit. “Itu dari mimpi. Aku seperti bermimpi panjang, seolah melihat seluruh kehidupanku yang lalu.”
Ya. Kehidupan sebelumnya baginya hanyalah mimpi panjang, nyata, menyakitkan, dan tak bisa dihapuskan.
Fajar menatap lurus ke depan, genggamannya di setir mengeras.
“Bisa ceritakan padaku, mimpi itu seperti apa?”
Lampu hijau menyala. Mobil kembali melaju pelan di jalanan malam. Butuh waktu lama sebelum Shinta menjawab lirih,
“Mm, bisa.”
Ia pun mulai bercerita. Tentang kehidupannya yang dulu secara singkat, tenang, tapi teedengar sangat menyakitkan bagi Fajar.
Dada Fajar terasa sesak, seperti ditusuk halus tapi berulang.
Ia terdiam. Mimpi mereka, sama. Hanya saja, yang ia lihat jauh lebih rinci daripada yang Shinta ungkapkan malam itu.
Saat mobil berhenti di depan gerbang rumah Bagaskara, Shinta membuka sabuk pengaman.
“Terima kasih, Kak Fajar. Hati-hati di jalan, ya.”
Fajar menunduk sedikit. Berkata dengan suara yang hampir seperti bisikan.
“Shinta, entah itu nyata atau tidak, aku akan melindungimu seumur hidup.”
Sayangnya, Shinta sudah menutup pintu dan melangkah masuk. Shinta jelas tidak mendengar kalimat itu.
Fajar menatap punggung Shinta yang semakin jauh, lalu menghela napas panjang sebelum melajukan mobil pergi.
Di dalam mobil, Fajar segera menghubungi Dimas melalui telepon. “Segera daftarkan perusahaan untuk Pak Harry Subrata. Lalu selidiki siapa di balik Aureon Technologies.
Tarik semua data, turunkan mereka dari dunia bisnis.”
Aureon Technologies akan dibiarkan berdiri sementara, hanya untuk menghibur Shinta.
Namun, ancaman yang tersembunyi di baliknya, akan Fajar hapus sampai ke akar.
Aureon itu memang sudah terlalu lama bermain kotor. Mereka berani melanggar hukum karena selalu ada orang kuat yang melindungi. Kini, Fajar akan pastikan pelindung mereka tak akan bisa bergerak lagi.
Dimas bekerja cepat. Dalam semalam, daftar kejahatan para “pendukung” Aureon sudah setebal beberapa halaman.
Bukti yang cukup untuk menjerat mereka semua.
Keesokan paginya, berkas itu diserahkan ke yang berwenang. Sore harinya, beberapa nama besar ditangkap bersamaan. Ada yang kehilangan jabatan, ada yang langsung dijebloskan ke penjara.
Beberapa yang lolos buru-buru menghubungi Bapak Aryo, direktur utama Aureon Technologies.
“Pak Aryo! Kami semua kena masalah ini gara-gara Anda. Jangan lepas tangan begitu saja!”
Mereka memang selama ini bekerja sama dengan Aryo, terutama dalam menggagalkan pendirian perusahaan baru milik Harry Subrata. Sekarang, giliran mereka yang jatuh, jadi wajar bila menuntut balasan.
Tapi kali ini, wajah Aryo dingin.
Biasanya ia tersenyum ramah, membagi keuntungan untuk semua. Namun ketika mereka sudah tak berguna, senyumnya hilang.
“Masalah yang kalian buat, jangan seret-seret nama saya.”
“Pak Aryo! Kalau bukan karena kami, perusahaan Anda sudah lama bermasalah. Kalau Anda nggak bantu, jangan salahkan kami kalau rahasia perusahaan Anda kami bongkar!”
Aryo hanya mendengus. “Silakan.”
Ia memang sudah menghapus semua jejak sejak awal. Sekalipun mereka berniat melapor, hasilnya akan nihil.
Setelah menutup telepon, Aryo bersandar di kursi, memijat pelipis. Kali ini, seluruh jaringan politik dan bisnisnya hancur total. Rencana besar yang ia susun selama bertahun-tahun berhenti di tengah jalan.
Siapa orang di balik semua ini?
Bukan Harry Subrata, tentu saja. Lelaki itu tidak punya kekuatan sebesar ini.
Berarti orang di belakang Harry Subrata yang jauh lebih berbahaya.
Aryo merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Untuk waktu lama setelah itu, ia memilih diam dan tidak lagi menyinggung Harry Subrata.
Namun, rasa dongkolnya tetap mendidih. Pada akhirnya, ia menyalurkan semua amarahnya pada Deni Suteja dan membuat hidup orang itu bagai di neraka.
---
Akhir pekan berlalu. Senin pagi, hasil ujian penentuan tingkat kelas 12 diumumkan, lengkap dengan daftar peringkat siswa.
Pak Liang datang paling awal ke ruang guru. Di meja masing-masing wali kelas, sudah tersedia tumpukan lembar nilai siswa.
Tak lama, wali kelas 12B dan 12C pun masuk. Mereka sempat melirik ke arah Pak Liang sambil bersuara penuh nada iri.
“Pak Liang, murid-murid kelas Anda memang luar biasa. Kapan ya saya bisa punya siswa seperti itu?”
“Kelas saya cuma dapat satu anak di sepuluh besar. Kelas C malah kosong. Kelihatannya sembilan dari sepuluh besar diambil semua oleh kelas Anda lagi.”
“Kali ini pasti tetap sama: Silviana peringkat satu, Lukman kedua, kemungkinan besar Dira Bagaskara ketiga.”
Mereka bahkan tidak repot membuka daftar nilai kelas 12A, semua sudah bisa ditebak.
Selalu murid-murid kelas unggulan yang menempati posisi teratas.
Pak Liang hanya tersenyum tipis. “Itu semua hasil kerja keras mereka sendiri.”
Sambil bicara, ia meletakkan tas dan mulai memeriksa daftar nilai dengan teliti.
“Pasti Silviana yang peringkat satu, ya?” Wali kelas 12B mendekat, matanya melirik ke lembar nilai. Sebenarnya, ia lebih penasaran pada hasil Dira Bagaskara.
Kalau benar Dira bisa meraih peringkat tiga, maka ia bisa ikut lomba matematika nasional mewakili sekolah.
semangat thorrr😍😍😍