Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Di bawah naungan rindang pohon manggis, seorang pemuda bernama Jack Claibore terkulai santai. Angin sepoi-sepoi membawa aroma manis buah yang hampir matang, menciptakan suasana yang sempurna untuk tidur siang.
Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara riuh Elliot dan Deva yang sedang asyik bercengkerama di bawah pohon tersebut.
Obrolan mereka semakin menggelora, meski ia juga merasakan ketegangan yang terjadi di antara keduanya tak kunjung reda.
Jack merasa risih, matanya yang berat kini terasa semakin sulit untuk di pejamkan. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, tetapi suara mereka terus mengusik ketenangannya.
Akhirnya, rasa sabar Jack habis. Dengan gerakan pelan, ia turun dari dahan pohon dan melangkah mendekati pasangan itu.
"Woi, berisik!" ucapnya dengan nada tenang, meski ada nada kesal yang tersirat dalam suaranya. "Kalau kalian mau ngobrol, lebih baik pergi ke kafe. Kalian mengganggu tidur siang gue."
Elliot dan Deva terdiam sejenak, menatap Jack dengan ekspresi terkejut. Namun, segera setelahnya, senyum muncul di wajah mereka.
"Oh, maaf, Jack! Kami nggak tahu kalau lo ada di sini." Jawab Elliot sambil menundukkan kepalanya sedikit, tatapannya terlihat takut pada pemuda itu.
Berbeda dengan Deva yang nampak bingung pada sosok di depannya, ia tidak asing dengan nama itu. Deva mencoba mengingat, betapa terkejutnya ia ketika sadar akan spoiler dalam novel yang pernah dibacanya, Jack adalah pria kejam yang sangat membenci kebisingan.
"Waduh, sialan. Kok bisa ketemu di sini sih," batin Deva panik.
Pandangan Jack terkunci pada sosok gadis di hadapannya. Sudut bibirnya terangkat samar ketika menyadari gadis itu tampak tidak nyaman dengan keberadaannya.
Merasa diperhatikan, Deva memberanikan diri menatap Jack. Seketika, jantungnya berdegup kencang melihat tatapan pemuda itu yang begitu tajam.
"Bangke, jangan bilang gue ditandai sebagai musuhnya?" batin Deva semakin kacau.
Tidak ingin terlibat lebih jauh, Deva bergegas pergi tanpa menoleh sedikit pun pada Elliot. Bahkan ajakan pemuda itu sebelumnya tak digubris olehnya, yang ada dalam pikiran Deva hanya kabur dari pemuda bernama Jack itu.
"Bodo amat deh soal Elliot, yang penting nyawa gue aman dulu," gumam Deva sambil berlari ke arah koridor.
Elliot hanya bisa menatap punggung Deva yang menjauh. Tanpa ia sadari, Jack sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu.
"Apa benar Deva kehilangan ingatannya?" gumam Elliot ragu.
***
Bisik-bisik terdengar di telinga Deva saat ia berjalan menuju parkiran. Pandangan sinis, cibiran samar, semuanya sudah terlalu sering ia dengar sampai telinganya nyaris kebal sejak merasuki tubuh Deva Claudia.
Ia memilih untuk tidak peduli dengan semua itu sampai seseorang menabraknya begitu keras, membuat tubuhnya terhuyung dan jatuh menghantam lantai.
BRUK!
"Aduh!" Deva mengaduh, perih menjalar dari sikunya hingga ke pinggang.
Matanya langsung menoleh ke arah orang yang menabraknya. Betapa kagetnya dia ketika melihat sosok itu adalah Sera, yang baru tadi pagi ribut dengannya.
Melihat Sera yang juga terjatuh, Deva lebih dulu bangkit. Meski hatinya panas mengingat keributan mereka sebelumnya, namun rasa iba masih ada. Ia mengulurkan tangannya berniat menawarkan bantuan.
"Lo nggak apa-apa, Ser?" tanyanya, suaranya terdengar lebih tenang dari perasaannya yang berkecamuk.
Namun, bukannya meraih bantuan itu, Sera hanya diam, tubuhnya gemetar, dan air mata mulai menetes hingga membuat Deva bingung.
"Lo nggak mau bangun?" Deva bertanya lagi, kali ini heran.
‘Aneh, perasaan jatuhnya lebih keras gue deh. Kenapa dia malah nangis?’ batinnya bingung.
Saat Deva hendak membungkuk lebih dekat, tangannya tiba-tiba ditepis keras oleh seseorang. Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Ia menoleh, mendapati Dito dan Haikal berdiri dengan wajah penuh kebencian.
Mereka berdua adalah sahabat kakak-kakaknya, dan sama saja selalu menganggap Deva musuh tanpa alasan yang jelas.
"Sekarang lo mau bully Sera lagi, hah?!" tuduh Dito dengan suara lantang, sengaja agar semua orang mendengar.
Deva mengangkat satu alisnya, ekspresi datarnya berubah menjadi sinis. "Bully? Siapa yang mau bully dia? Gue cuma mau bantu dia, kali."
"Alasan basi! Lo nggak mungkin tiba-tiba berubah baik hati. Semua orang tahu sifat lo kayak gimana," cibir Haikal sambil menarik Sera agar berdiri.
Deva mendecak keras. "Lo nggak tahu kejadian yang sebenarnya, mending diem aja. Tanya tuh sama Sera, apa bener gue mau ngebully dia? Jelas-jelas gue ngulurin tangan buat bantu dia, tapi dia nggak mau."
Haikal menatap Sera dengan penuh kelembutan, tangannya menepuk bahu gadis itu. "Ser, apa bener yang dia bilang?"
Melihat itu, perut Deva merasa mual. Suara Haikal terkesan di buat-buat menjadi lembut, seolah penuh kepedulian, padahal bagi Deva semua itu hanyalah topeng menjijikkan.
Namun Sera tidak menjawab. Matanya hanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar seakan ketakutan. Seakan dari diamnya itu menjadi bukti bahwa Deva memang bersalah, dan hendak membully sera.
Rasa kesal membuncah. Deva mendekat, suaranya meninggi. "Jawab, Ser! Jangan diem aja! Lo nggak bisu, kan? Kenapa lo nggak jelasin kalo lo yang nabrak gue duluan?!"
Wajah Deva memerah, amarahnya tak terbendung. Baginya, Sera selalu muncul di hadapannya seperti bayangan buruk, mengusik hidupnya tanpa henti dan menempatkan dirinya di ujung jurang yang bisa kapan saja jatuh dan mati.
Sayangnya, yang keluar dari Sera hanyalah tangisan ketakutan. Tidak ada satu kata pun yang muncul dari bibirnya.
Dito langsung maju, menarik Sera agar bersembunyi di belakangnya. "Jangan paksa Sera buat bohong, Dev! Lo tega banget, demi jaga muka lo, lo tuduh dia kayak gitu."
Mendengar itu, Deva tertawa hambar. Tawanya penuh getir, penuh keputusasaan. "Gue nggak ngapa-ngapain dia, anj***! Lo ngomong dong, Ser, jangan diem aja kayak bab*!"
Sera akhirnya bersuara, suaranya pelan, nyaris tak terdengar. "Dit, udah... ucapan Deva bener kok. Tadi gue yang nabrak duluan."
Dito menggeleng keras. "Lo nggak usah takut, Ser. Gue tahu lo cuma lagi dipaksa dia. Nggak perlu lo bela dia segala."
Deva menghela napas tajam, merapikan ranselnya yang sempat melorot. "Dit, lo punya mata kan?"
"Apa maksud lo? Jelas-jelas mata gue ada dua!" balas Dito dengan nada sengit.
Deva tersenyum miring. "Bagus. Gue harap lo nggak buta sama fakta. Kalo lo kurang percaya, lo bisa liat rekaman CCTV. Ada nggak gue ngebully si anak setan ini?"
Sekeliling mereka mendadak hening. Semua mata tertuju pada Deva, yang kini berdiri dengan tatapan tajam penuh sindiran.
"Punya otak tuh dipake, jangan buat pajangan doang. Saksi mata banyak, tapi kayaknya pita suara mereka rusak semua. Jadi pada bisu, nggak bisa ngomong," tambahnya sinis sambil menatap ke sekelilingnya.
Setelah itu, Deva melangkah pergi, meninggalkan Dito dan Haikal yang terdiam.
Sepanjang jalan menuju parkiran, mulut Deva tak berhenti menggerutu. Ia benar-benar muak dengan semua orang yang selalu berpihak pada Sera. Namun, ia tidak sadar bahwa ada seseorang yang memperhatikannya sejak tadi.
Jack berjalan di belakangnya, memperhatikan setiap gerutuan Deva dengan senyum samar. Bagi Jack, omelan gadis itu justru terdengar lucu, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti.
"Emang buta semua orang yang deket sama si setan. Gue muak banget liat tingkahnya yang sok tersakiti," Deva terus mengomel, suaranya penuh kejengkelan.
Baru saja sampai di depan motor, Deva mengeluarkan kunci dari saku jaketnya. Namun sebelum sempat menyalakan mesin, suara berat di belakangnya membuatnya terlonjak kaget.
"Gue boleh nebeng?"
"Astaga!" Deva langsung menoleh, wajahnya seketika berubah tegang. "Lah, bukannya lo bawa motor sendiri?"
"Mogok," jawab Jack enteng.
"Mogok?" ulang Deva ragu.
Jack mengangguk. Tanpa basa-basi, dia meraih kunci motor milik Deva dari tangannya dan memainkan kunci itu. "Kalo lo nggak bolehin, lo juga nggak bakal bisa pulang."
"Loh, kok gitu? Ini kan motor gue, sialan!" protes Deva keras.
Jack hanya mengangkat bahu santai. "Terserah lo. Gue cuma minta nebeng sampe perempatan doang."
"Lo..." Deva hendak membalas, tapi kata-katanya terhenti ketika Jack tiba-tiba mendekat.
Nafas hangat pemuda itu terasa di sisi wajahnya, membuat jantung Deva seketika berhenti berdetak. Ia menahan napas tanpa sadar, tubuhnya kaku di tempat.
"Jangan protes, atau mau gue cium?" tanya Jack dengan nada jahil.
Wajah Deva memerah, ia yang jomblo seumur hidup belum pernah melihat ada cowok yang berani mendekatinya. Deva menghela napas panjang, ia menatap Jack sengit. "Brengsek."
Senyum di wajah Jack muncul, ia menarik wajahnya menjauh dari Deva. "Oke, itu tandanya lo setuju."
"Kapan gue bilang setuju?"
"Tadi, lo bilang iya tuh."
Deva mengernyit heran, "Nggak mungkin. Gue bilang brengsek."
"Tuh, lo baru aja bilang setuju."
Deva membuka mulutnya hendak protes, namun sebelum ia mengeluarkan kata-kata Jack sudah menarik pinggangnya hingga tubuh Deva menabrak dada bidang Jack. "Lo... bawel."