karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Menuju Bab 1 (6)
Saat aku dan Ryan tiba di tanah lapang, kami berempat duduk melingkar di bawah pohon rimbun.
Aku mulai menjelaskan pada mereka permainan sepakbola, versi sederhanaku di dunia ini.
Aturannya gampang: dua lawan dua. Aku satu tim dengan Ryan, sementara James bersama Natasya.
Tujuanku sederhana—melatih ketangkasan sekaligus refleksi diri. Kami membuat gawang dari dahan kayu, ukurannya mirip gawang futsal di bumi. Lapangannya pun kira-kira sebesar futsal. Bola? Sebutir kelapa yang sudah dikosongkan airnya.
Aku dan Natasya ditunjuk jadi penjaga gawang. Sihir diperbolehkan, tapi sebatas untuk melatih kontrol mana.
Sementara itu, di tengah lapangan—Ryan dan James akan jadi gladiator kecil, adu kecepatan, kecerdasan, dan ketangkasan.
James maju ke depan, suaranya tegas menggema.
“Baiklah, mari kita mulai!”
Bola ditempatkan di tengah lapangan. Untuk permulaan, Ryan dan James akan berebut bola pertama.
Ryan mengambil kerikil, lalu melemparkannya ke langit. Saat kerikil itu menyentuh tanah—
Whussshhh!!
Keduanya melesat secepat angin.
Mataku membelalak. Itu bukan kecepatan anak-anak biasa. Lebih mirip assassin pemula yang bergerak dalam bayangan.
Dalam sepersekian detik, Ryan lebih dulu menyentuh bola.
“Maaf, aku lebih cepat darimu, James.”
Dengan gerakan licin, bola ia hentakkan melewati sela kaki James. Tapi James tak tinggal diam. Refleksnya bekerja.
Brkk!!
Bola terhenti di kakinya.
“Tidak, aku juga cepat!”
James langsung menggiring bola ke arah gawangku. Ryan mengejar, menggunakan mana memperkuat kakinya dengan sihir angin. Duel mereka makin sengit. Bola terus berpindah, seperti dua gladiator berebut pedang emas.
Saat bola melayang di udara, keduanya melompat bersamaan. Seolah waktu pun menahan napas menyaksikan duel itu.
James, dengan fisiknya yang memang nomor satu, berhasil menguasai bola. Dari jarak setengah lapangan, ia mengayunkan kakinya.
BAM!!
Tendangannya begitu keras hingga kelapa retak!
Aku cepat-cepat merapal sihir.
“Flammeur!”
Dinding api tipis tercipta, mencoba memperlambat bola. Tapi sihirku masih lemah. Bola hanya sedikit melambat. Aku melompat—
Terlambat dua detik.
Bola melewati tubuhku, masuk ke gawang.
“Wuhhhh! Itu goal! Aku pencetak gol pertama permainan ini! Hahahaha!”
James berteriak penuh kemenangan.
Ryan mendengus kesal.
“Hey, jangan senang dulu.”
Kami sudah sepakat: siapa yang lebih dulu mencetak lima gol, dialah pemenangnya.
Pertandingan kembali dimulai. Kali ini Ryan menunjukkan liukan cepat, melewati James dengan elegan, lalu menendang keras ke arah gawang.
Namun, dengan santai Natasya merapal sihir angin, menghentikan laju bola.
“Tidak semudah itu, Ferguso!” serunya, lalu tertawa lebar. “Wahahahaha!”
Aku hanya bisa melongo. Bakat sihir Natasya selalu membuatku kagum sekaligus bingung. Bagaimana cara membuatnya berkembang lebih jauh?
Permainan terus berlanjut. Ryan dipusingkan oleh pertahanan sihir Natasya. Aku sendiri kewalahan menghadapi James yang terlalu tangkas.
“I-ini sepakbola kan…?” aku mengeluh dalam hati.
Permainan ini sudah lebih mirip gladiator sihir ketimbang olahraga.
Akhirnya, pertandingan berakhir dengan kemenangan James dan Natasya: lima banding dua.
“SIUUUUU!!”
James melakukan selebrasi khas Cristiano Ronaldo yang tadi kutunjukkan.
“SIUUUUU!!”
Natasya ikut-ikutan, tawa riangnya memenuhi lapangan.
Ryan hanya terdiam, wajahnya muram.
“Maaf, Lala...”
Aku tersenyum.
“Ya nggak apa-apa dong. Ini kan cuma permainan.”
Aku menghampiri Natasya, lalu bergumam lirih.
“Kamu itu nggak pernah berhenti bikin aku kagum, Nasya...”
Pipi Natasya langsung merona. Ia menggaruk kepalanya sambil tersenyum polos.
“Ehehe... jadi malu...”
Kami berdua menoleh pada James dan Ryan. Mereka masih saja berdebat.
“Ehh, ayo dong puji aku. Aku itu hebat!” seru James.
“Kamu cuma beruntung! Jangan besar kepala!” balas Ryan dengan kesal.
Aku tertawa kecil. Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Aku yang dulu hanya bisa menonton sepakbola lewat layar kaca, kini malah jadi pemain di lapangan dunia lain. Rasanya… hidup.
“Tapi aku tak boleh lengah,” pikirku. Akademi sudah menanti. Sepuluh tahun bukan waktu lama untuk berkembang.
Setelah pertandingan, kami beristirahat di bawah pohon. Keringat bercucuran. James membuka bajunya, membuat Ryan mendengus.
“James, dasar kamu...”
“Kamu ini bawelnya kayak ibu-ibu,” balas James sambil cengar-cengir.
Ryan sibuk membuka kelapa untuk diminum. Natasya terbaring di atas rumput, napasnya terengah.
“Aku haus banget... Ryan, cepetan buka kelapanya!”
Aku hanya tersenyum. Kebersamaan ini... rasanya aku tak ingin waktu membawa kami dewasa.
“Gimana kalau habis ini kita mandi di danau?” tanyaku.
“Setuju!” seru mereka serempak.
Kami pun berangkat. Setelah meneguk air kelapa, James dan Ryan langsung menceburkan diri ke danau dengan riang.
Byurrr!
Natasya ikut melompat tanpa ragu, meski masih memakai pakaian lengkap.
Aku membuka bajuku, bertelanjang dada.
“Lagipula kita masih anak-anak polos kok,” batinku sambil ikut bersiap.
Ryan langsung menatapku, wajahnya merah padam. James sibuk bersorak, mengajakku cepat masuk ke air.
Namun Natasya justru melotot kaget.
“Lala!” Ia buru-buru keluar dari air dan berlari menghampiriku.
“Anak laki-laki, tutup mata kalian!!” suaranya galak.
Aku mengerutkan dahi. “E-ehh?”
Dan dimulailah ceramah panjang dari Natasya.
“Perempuan nggak boleh sembarangan nunjukin tubuhnya, Lala!”
Aku hanya bisa bengong, sementara wajahnya merah karena kesal dan malu bercampur jadi satu.
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.