NovelToon NovelToon
Salah Kamar

Salah Kamar

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / CEO / Cinta setelah menikah / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Wardha

Salah masuk kamar, berujung ngamar ❌ Niat hati ingin kabur dari Juragan Agus—yang punya istri tiga. Malah ngumpet di kamar bule Russia.

Alizha Shafira—gadis yatim piatu yang mendadak dijual oleh bibinya sendiri. Alih-alih kabur dari Juragan istri tiga, Alizha malah bertemu dengan pria asing.

Arsen Mikhailovich Valensky—pria dingin yang tidak menyukai keributan, mendadak tertarik dengan kecerewetan Alizha—si gadis yang nyasar ke kamarnya.

Siapa Arsen sebenarnya? Apakah dia pria jahat yang mirip seperti mafia di dalam novel?

Dan, apakah Alizha mampu menaklukkan hati pria blasteran—yang membuatnya pusing tujuh keliling?

Welcome to cerita baper + gokil, Om Bule dan bocil tengilnya. Ikutin kisah mereka yang penuh keributan di sini👇🏻

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wardha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

paksaan nikah si bule

Alizha masih sibuk mengomel sejak tadi. Ditambah lagi si Bule menariknya menuju pelaminan.

"Haram, Mister! Please lah, saya bisa jalan sendiri tahu!" protesnya sambil mencoba menarik tangannya.

Pria bule itu tidak bergeming. Langkahnya yang lebar, menyeret Alizha yang setengah terseret karena heels tinggi yang dipakainya. Orang-orang mulai menoleh, menatap pasangan tak seimbang itu. Yang satu dingin seperti gunung es, yang satunya cerewet seperti emak-emak anak lima.

"Mister! Saya serius, ini dosa, tahu tidak?!" bisik Alizha, wajahnya memerah karena malu. "Mau apa sih? Bisa lho ngomong baik-baik, daripada saya diseret terus sejak tadi."

Dia tidak mendapat jawaban dari si bule. Hanya genggaman kuat di pergelangan tangannya, hingga mereka berdua akhirnya sampai ke tangga pelaminan.

Begitu berdiri di depan pasangan pengantin, Alizha langsung terdiam. Pandangan bule itu menatap lurus ke arah mempelai wanita—mantan yang dulu meninggalkannya. Sorot matanya yang dingin, cukup menusuk. Seperti menahan amarah, mungkin.

Pengantin wanita sempat menatapnya kaku, sebelum memaksakan diri untuk tersenyum. Tangan mereka bersalaman singkat.

Pria bule itu hanya bersalaman singkat, tanpa mengatakan apa pun. Alizha hanya bisa menunduk kikuk, sementara genggamannya tidak dilepaskan. Dalam hati dia menjerit-jerit sejak tadi, "Ya Allah, ini apaan lagi? Kondangan aja kayak adegan sinetron deh. Sudah tahu saya tidak kenal, malah diajakin ke sini. Malah tatapan perempuan ini kayak ngenyek banget lagi!"

Mereka masih berdiri di pelaminan. Alizha sudah mau meleleh saking malunya, sementara bule itu tetap tegak dengan wajah sedingin es.

Senyum pengantin wanita terlihat kaku. Matanya melirik cepat ke arah Alizha dari ujung kepala hingga kaki, lalu kembali ke mantannya. "Dia siapa?"

Nada merendahkan itu jelas terbaca oleh si bule. Senyumannya lebih mirip sindiran dibanding sapaan tulus.

Alizha semakin salah tingkah, buru-buru ingin menarik tangannya. "Jangan-jangan mereka mengira saya ini simpenan gratis om bule lagi. Bisa gawat ini! Mau ditaruh ke mana ini kerudung?"

Namun sebelum Alizha sempat buka mulut, bule itu menjawab dengan santainya, "Istri saya."

Tatapan sang mantan langsung berubah. Namun, cepat-cepat dia samarkan dengan tawa kecil yang terkesan terpaksa. "Oh, begitu, ya?"

Alizha nyaris menjatuhkan diri dari pelaminan kalau bukan karena genggaman tangan si bule. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya sudah merah padam. "Astaghfirullah, nih bule sekate-kate aja deh!"

Dia mencoba berbisik, tapi suaranya malah terdengar panik, "Mister, please! Jangan bikin saya jadi bahan gosip orang-orang kaya dong!"

Bule itu tidak bergeming. Dia hanya menatap mantannya dengan tatapan tajam, seakan sengaja ingin menunjukkan bahwa pilihannya memang sudah final. Meski Alizha sendiri baru sadar namanya dijadikan ‘pilihan’ dadakan si bule edan itu.

Pengantin pria ikut menatap Alizha dari atas sampai bawah, lalu menoleh ke arah mantan si bule dengan tawa kecil yang menohok. "Really? This girl ... is your wife?" katanya, nada meremehkan tak berusaha ditutupi.

Alizha tersenyum canggung, aslinya ingin menendang pria bule ini.

"Yes. My wife." Tanpa beban dan tanpa berpikir, dia meng-klaim seenak jidat.

Pengantin pria terkekeh lagi, bahkan sempat melirik istrinya di samping. "I see, congratulations, then," katanya dengan senyum yang terkesan mengejek.

Alizha merasa kepalanya mau meledak. Tangannya sudah jadi korban si bule. Cengkraman itu malah semakin kencang, setiap kali mereka bicara meremehkan. Sementara si bule, hanya mengangguk kecil, seakan-akan enggan dikasihani.

Dan akhirnya, mereka pun turun dari pelaminan. Begitu langkah mereka sampai di bawah, Alizha langsung menarik lengannya dengan kasar. Wajahnya merah padam karena jengkel setengah mati. Bersyukur make-up-nya tebal setebal harapan orang tua.

"Mister! Kamu ini kalau bicara seenaknya, ya? Tidak mikirin perasaan saya!" Alizha sampai ngos-ngosan. Belum lagi dia harus pura-pura memasang wajah santai. Sangat menyebalkan baginya.

Si bule hanya mengibaskan dasinya, tatapan matanya tetap menatap lurus tanpa rasa bersalah. "You’re my wife. Itu cukup."

Alizha terperangah. "Wife apaan?! Kita bahkan belum pernah akad, Mister!" suaranya lirih, takut tamu lain masih mendengar, tapi nada kesalnya jelas sekali.

Dia mendekat, sengaja membungkuk agar sejajar dengan wajah Alizha. "Kau lebih baik diam. Saya tidak ingin orang lain tahu kelemahan kita."

Alizha melongo, hampir kehabisan kata-kata karena ulah si bule. "Ya Allah, saya yakin bakalan masuk surga lewat kedzoliman si om bule ini!"

Si bule kembali menyeretnya untuk keluar dari area pernikahan. Saking kesalnya, dia mencubit lengan bule itu. "Sakit, tahu! Jangan seenaknya menyeret saya begini."

Bukannya marah, si bule malah tersenyum tipis—senyum dingin yang bikin Alizha malah salting. "Kalau bukan saya yang menyeretmu, mungkin mereka sudah menelanjangimu dengan tatapan."

Alizha terdiam, nyalinya ciut seketika.

Sepanjang langkahnya, Alizha menatap pria bule itu lekat-lekat. Ada sesuatu di sorot matanya—bukan sekadar marah, tapi lebih mirip luka. Luka yang dia sembunyikan di balik senyum dinginnya.

"Anda masih cinta sama dia, ya?" katanya sedikit berbisik.

Si bule langsung menoleh cepat. "Don’t be silly," ucapnya singkat, seperti menepis kenyataan. Namun, rahang yang mengeras itu jelas-jelas mengkhianati ucapannya sendiri.

Alizha tersenyum miris, lalu mendengus kecil. "Kalau memang tidak, kenapa tadi tatapan anda kayak mau membunuh? Saya bukan anak kecil yang bisa dibohongi, Mister."

Dia terdiam sejenak, lalu menunduk, memperbaiki dasinya. "Saya hanya tidak suka melihat orang yang pernah mengkhianati saya tersenyum. Apalagi bersama pria lain."

Alizha terbelalak. "Aha! Jadi betul kan, dia masih terbakar cemburu," batinnya.

"Jangan bawa-bawa saya ke drama percintaan anda," Alizha mengomel lagi.

Pria itu menatapnya sekilas sambil tersenyum getir. "Kau bukan korban. Kau akan jadi senjata."

Alizha ternganga mendengar ucapan pria bule itu. "Senjata? Astaghfirullah, saya ini manusia, bukan pistol mister!"

Dia menatap sekeliling, berusaha mencari alasan untuk kabur, tapi langkah kakinya masih seperti robot. Kaku sendiri.

Pria itu mendekat, menatapnya tajam. "Dengar baik-baik. Saya sudah mengeluarkan three hundred million untukmu. Kau pikir saya akan membiarkanmu pergi begitu saja?"

Alizha langsung pucat. "Astaghfirullah, itu uang beneran atau cuma gertakan?" jantungnya berdegup keras.

"Kalau saya kabur, anda bisa rugi dong," suaranya tercekat, mencoba akal-akalan.

Tapi si bule hanya tersenyum tipis. "Makanya, stay. Kau hanya perlu bermain peran. Sebagai istri saya. Saya akan menjamin hidupmu jauh lebih baik daripada di tempat asalmu. Dress, food, money—semua yang kau mau bisa kau dapat."

Alizha terdiam. Kepalanya seperti ingin meledak, tapi gambaran hidup mewah yang baru saja ia rasakan di mall barusan ikut meracuni pikirannya. Tas mahal, baju syar’i bak putri, wajahnya yang berubah drastis setelah salon—semuanya seperti mimpi.

"Tapi, kalau saya nolak?" tanyanya pelan.

Pria itu mendekatkan wajahnya, menunduk hingga napasnya terasa. "Don’t try. Kau tahu konsekuensinya."

Alizha menelan ludah. Tubuhnya gemetar, antara ingin melawan atau menerima. Namun, hatinya semakin ragu. "Ya Allah, apa ini jalan keluar dari kehidupan Bibi, atau malah jalan kehancuran untuk saya?"

Alizha menggeleng keras, wajahnya merah padam. "Saya tidak bisa! Saya terlalu murah kalau harus dinikahi hanya karena bayaran. Harga saya sama sekali tidak sebanding dengan tiga ratus juta itu. Dan saya, tentu bukan barang, Mister!"

Si bule mendengus, matanya menyipit. "Murah?" Dia melangkah mendekat, membuat Alizha mundur perlahan sampai punggungnya menyentuh dinding. "Kau tahu lebih hina apa? Jadi wife number four dari Juragan tanah itu. Lelaki tua, tamak, yang hanya melihatmu sebagai barang."

Alizha tercekat. Bayangan wajah Juragan Agus yang doyan merokok dan mata liarnya terlintas begitu jelas di kepalanya.

"I see. Gadis memang bukan barang."

Alizha tercekat.

Pria bule itu menunduk sedikit. "Dengan saya, kau akan hidup sebagai seorang istri. Bukan barang dagangan. Kau akan makan enak, pakai gaun indah, tidur di tempat yang layak. Kau akan bebas."

Alizha menggertakkan giginya. "Tapi, saya tidak yakin bisa bahagia dengan cara seperti ini."

Mata biru pria itu menatap tajam, seolah menembus pikirannya. "Bahagia itu bukan soal cara kau masuk ke dalamnya, tapi soal bagaimana kau menjalaninya. Pilihannya hanya dua—bersama saya, dengan dignity. Atau kembali ke jurang, jadi milik lelaki yang bahkan tidak menganggapmu manusia."

Alizha menunduk. Dadanya naik turun, menahan sesak dan air mata. Hatinya ingin berteriak menolak, tapi pikirannya semakin terjebak dalam logika bule itu.

Alizha menunduk, wajahnya terlihat manyun. "Tapi, menikah tanpa cinta, apa tidak sama saja dengan menyiksa diri? Saya tidak mau jadi boneka, Mister."

Pria bule itu terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Dia menatap jarum arloji di pergelangan tangannya yang berputar. "Listen. Cinta itu indah, yes. Tapi cinta tidak bisa bayar rumah. Cinta tidak bisa isi perut yang lapar. Cinta tidak bisa beli obat saat kau sakit."

Alizha menatapnya, dia tercekat.

"Lihat sekitarmu, Baby goat," katanya tegas. "Berapa banyak orang yang menikah hanya karena cinta, tapi hidupnya menderita? Bertengkar setiap hari karena uang habis. Anak-anak kelaparan, istri jadi lusuh, suami stress, lalu akhirnya berkhianat. That’s real life."

Alizha menggigit bibir, jantungnya berdetak cepat. Kata-katanya terasa pahit, tapi masuk akal. Toh, itu yang dia lihat sendiri, dari kehidupan orang tua dan Pamannya.

Sang bule menatap lurus ke matanya, penuh keyakinan. "Bersama saya, mungkin kau tidak jatuh cinta hari ini. Tapi kau akan punya rumah aman, pakaian terhormat, makanan mewah, masa depan yang pasti. Dan perlahan, kau akan belajar bahwa rasa aman jauh lebih berharga daripada cinta kosong."

Air mata menetes di pipi Alizha. Hatinya berkecamuk hebat. "Dia selancar itu bahasanya ternyata," batinnya.

Pria itu mendekat, menunduk sedikit hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal. "Saya sudah bayar untuk membebaskanmu. Tiga ratus juta bukan untuk membeli tubuhmu, tapi untuk membeli kebebasanmu. Kau hanya perlu mengambil langkah kecil untuk menerima hidup yang lebih baik."

Alizha terisak pelan. Dalam hati dia masih ingin menolak, tapi logika yang ditanamkan bule itu membuat bentengnya retak. Seakan-akan satu-satunya pilihan rasional hanyalah menerima.

"Dan satu hal yang harus kau tahu, Baby goat," katanya sedikit menggoda. "Saya bukan pria yang suka bermain cinta. Not a player. Bagi saya, cinta hanya sekali. Sekali saya memberi hati, saya tidak akan pernah menghianati. Jika cinta itu pergi, maka tidak akan ada cinta lagi. Never again." Senyum samar muncul di bibirnya. "So? Kau tidak perlu takut akan saya buang."

Alizha terdiam, dadanya serasa sesak. Kata-kata itu terasa begitu jujur sekaligus menakutkan. Pria ini seperti menawarkan perlindungan, tapi sekaligus menegaskan—hatinya tidak akan pernah bisa disentuh cinta lagi. Itu artinya, dia akan hidup dengan patung bernyawa yang auranya saja seperti kutub utara.

Dia menelan ludah, air matanya jatuh lagi. "Kalau begitu, apa yang tersisa untuk saya?"

Pria bule itu mengangkat jemarinya, menghapus air mata di pipi Alizha. "Kesetiaan, keamanan, dan nama terhormat sebagai seorang istri. Itu lebih berharga daripada cinta yang bisa memudar bahkan hilang seiring berjalannya waktu."

1
Adinda
🤣🤣🤣
Zahira Zahira
aku mampir Thor ..liat dari judul nya seru sih..
D'blacksweet: wah, makasih. semoga suka, ya😍😍😍
total 1 replies
Afriyeni Official
ngakak sekali aku bacanya 🤣
Afriyeni Official
nggak kebayang si alizha ini paniknya minta ampun.
D'blacksweet: panik, tapi menang banyak dia🤭
total 1 replies
Afriyeni Official
seru kayaknya nih
D'blacksweet: semoga, hehe😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!