"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ingin ngekos
...Happy reading...
Dengan langkah riang yang terasa ringan, Zein kembali ke rumah, kotak gaun berwarna cerah tergenggam erat di tangannya, seolah membawa pulang piala kemenangan. Semangatnya membuncah, membuat langkah kakinya berubah menjadi larian kecil penuh antusiasme menuju pintu rumah. Ia tak sabar untuk segera menyampaikan kabar gembira ini dan melihat sendiri kebahagiaan adiknya.
Sesampainya di dalam, Zein mendapati Cely tengah berkutat membereskan sisa-sisa kekacauan yang sempat terjadi siang hari.
"Adek! Coba lihat abang bawa apa!"
Zein mengangkat tinggi tinggi kotak itu, memamerkan isinya yang berharga. Mata Cely yang tadinya sayu, seketika melebar dan berbinar terang, seolah ada keajaiban yang baru saja terjadi di depan matanya. Tanpa ragu, ia berlari menghambur ke pelukan Zein, mendekap erat abangnya dalam luapan rasa syukur dan bahagia yang tak terhingga.
Dari kejauhan, Leo yang sejak tadi dengan sabar membantu Cely memunguti pakaian yang berserakan di lantai, tersenyum teduh. Pemandangan kakak beradik yang berpelukan erat di tengah kekacauan rumah ini menghangatkan hatinya, sebuah kontras yang indah antara kehangatan keluarga dan ruangan yang berantakan.
Setelah pelukan hangat itu sedikit mengendur, Cely mendongak menatap Zein dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.
"Abang kok bisa dapat gaun ini?" tanyanya dengan nada suara yang masih dipenuhi rasa penasaran.
Zein hanya menyunggingkan senyum misterius, seraya mengusap lembut rambut adiknya, "Lo ga perlu tau soal itu, Dek. Yang terpenting, nanti malam lo bisa pergi ke pesta itu," ucapnya dengan suara yang penuh kasih sayang dan kebanggaan seorang kakak.
Mendengar jawaban itu, Cely kembali mengeratkan pelukannya pada Zein, menyembunyikan wajahnya di dada sang abang.
"Gue sayang banget sama lo, Bang!" bisiknya tulus, kata-kata itu terucap dari lubuk hati yang paling dalam, mengungkapkan rasa cinta dan terima kasih yang tak terhingga pada kakak laki-lakinya.
"Dah, yuk abang belanja es krim," ajak Zein, sambil mengendurkan pelukannya. Cely pun mengangguk antusias.
Dengan langkah kaki riang gembira, mereka berlari kecil menuju ke bawah pohon mangga besar nan rindang di belakang rumah Leo. Daun-daunnya yang lebat menari-nari tertiup angin sore, menciptakan naungan teduh yang menyelamatkan mereka dari sisa terik matahari. Mereka berselonjor nyaman di bawahnya, menghamparkan selembar kain usang sebagai alas duduk mereka yang sederhana namun cukup melindungi diri dari tanah.
Di tangan masing-masing tergenggam erat sepotong es krim yang dingin. Angin semilir sore yang sepoi-sepoi bertiup lembut, bermain-main dengan anak rambut mereka yang berantakan dan mengantarkan aroma rerumputan segar yang baru dipotong, sebuah wangi alami yang menenangkan jiwa. Panas matahari yang tadi sempat membakar kulit, kini tak lagi mengganggu, seolah bersembunyi malu di balik gumpalan awan tipis yang perlahan bergerak di langit biru, memberikan jalan bagi kesejukan sore yang dinanti-nantikan.
Sementara itu, dari arah dapur tercium aroma harum yang menggugah selera. Bunda Leo, dengan cekatan bergerak di antara meja dapur dan kompor, menciptakan simfoni bunyi peralatan masak yang beradu. Sesekali terdengar bunyi gesekan spatula di atas wajan, atau suara air mendidih yang berdesir pelan. Asap tipis mengepul dari balik pintu dapur, membawa serta aroma manis kue-kue yang sedang dipanggang, termasuk kue pastel renyah kesukaan Cely yang baunya saja sudah membuat perut keroncongan.
Tak lama kemudian, Bunda Leo muncul dari pintu dapur sambil menenteng nampan besar berwarna perak yang penuh dengan kue-kue buatannya. Langkahnya ringan dan penuh semangat, senyum hangatnya mengembang saat melihat anak-anak yang sudah menantinya.
"Tadaaa ..." serunya riang, mempersembahkan nampan berisi kue di hadapan mereka.
Mata anak-anak itu seketika melebar, terpaku pada nampan yang penuh dengan hidangan lezat. Aroma kue yang baru matang langsung menyeruak, membuat air liur mereka hampir menetes.
"Waaaahhh..." sahut mereka serempak, menerima nampan itu dengan hati riang.
Tawa riang dan celotehan penuh semangat kembali memenuhi udara, saat mereka mulai memilih dan mencicipi kue-kue yang menggoda selera.
"Kangen banget sama masakan Tante," celetuk Zein sambil mengambil sepotong kue cokelat yang tampak menggiurkan dari nampan. Gigitan pertamanya langsung membuat matanya terpejam sejenak, menikmati rasa manis dan lembut yang lumer di mulutnya.
Bunda Leo hanya tersenyum lembut, hatinya menghangat melihat anak-anak itu menyantap lahap makanan yang dibuatnya dengan penuh cinta. Di bawah rindangnya pohon mangga, ditemani tawa riang anak-anak dan aroma kue yang menggoda, adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai harganya.
Di sela-sela mereka khusyuk menikmati kelezatan makanan yang dibuat dengan penuh cinta oleh Bunda Leo, tiba-tiba Bunda Leo membuka percakapan.
"Setelah lulus nanti ... Cely ikut Abang, ya kan?" Pandangannya penuh harap menatap Cely, senyumnya sedikit memudar menunggu jawaban.
Gadis kecil itu masih menunduk dalam, jemarinya memainkan remah kue pastel di atas kain. Bibirnya terkatup rapat, seolah ada kata-kata yang berputar-putar di dalam benaknya, namun sulit untuk diucapkan. Hanya helaan napas kecil yang keluar dari bibirnya, mengisyaratkan kebimbangan yang sedang melanda hati. Mata cokelatnya yang biasanya berbinar ceria, kini meredup.
"Ya pastinya dong, Tan!" jawab Zein dengan penuh keyakinan. Ia menyengir lebar, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Cely kan partner in crime Abang dari kecil, kemana pun Abang pergi, Cely pasti ngekor!" Tangan kanannya menepuk bahu Cely dengan ringan, berniat menyemangati adiknya.
"Emm ... Cely kayaknya ... nggak ikut Abang deh," ucapnya dengan suara nyaris berbisik, namun setiap kata terdengar jelas memecah keceriaan siang itu.
"Cely ... mau lanjut sekolah di sini. Tapi Cely maunya ... ngekos aja, bareng sama temen Cely," lanjutnya. Kata-katanya terucap perlahan, seolah ia sedang merangkai satu per satu hurufnya dengan hati-hati, takut salah mengucapkan abangnya tidak menyetujui keputusannya.
Zein yang sedang asyik mengunyah kue pastel, tiba-tiba terhenti. Matanya membulat sempurna, mulutnya sedikit terbuka dengan kue yang masih menggantung di bibir. Ia melongo tak percaya, menatap Cely dengan ekspresi bingung dan sedikit terluka.
"Loh, kenapa dek?" tanyanya dengan nada sedih yang kentara, kecewa dengan jawaban adiknya yang tak terduga.
Cely semakin erat menggigit bibir bawahnya. "Ehmm ... ga apa-apa sih, bang. Karena kan, Cely di sini udah punya banyak temen. Jadi, Cely lanjut di sini aja." ucapnya sekali lagi.
Zein mengangguk pelan, namun anggukan itu sarat dengan pemahaman yang mendalam.
"Abang ngerti!"
"Abang ngerti banget gimana situasinya. Kenalan sama orang baru memang sulit, apalagi Cely belum tau gimana lingkungan di sana." ulangnya sambil menghela napas panjang, membiarkan angin siang itu menerbangkan helaan napasnya.
"Ya udah, kalau emang itu mau lo," lanjutnya, sambil menoleh dan menatap Cely dengan senyum lembut. "Senyaman lo aja maunya gimana."
Namun, kerutan halus muncul di dahi Zein, menandakan adanya kekhawatiran lain yang muncul di benaknya. "Tapi ..." Zein berhenti sejenak, "Lo beneran ga tinggal di rumah itu kan?" tanya Zein lagi, jarinya menunjuk ke arah rumah di kejauhan, rumah milik almarhum Ibu mereka, rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan, namun juga mungkin luka.
Dengan cepat dan tegas, Cely menggelengkan kepalanya, rambut panjangnya yang diikat asal bergerak mengikuti gelengannya.
"Enggak kok, Bang!" jawabnya cepat-cepat, berusaha meyakinkan Zein sekaligus menepis kekhawatiran yang mungkin muncul di benak Abangnya.
"Tadi kan gue udah bilang, kalo gue mau ngekos bareng temen-temen gue aja," ulangnya dengan nada suara yang sedikit lebih tinggi, berharap kali ini Zein benar-benar mempercayainya.
"Biar aja rumah itu dikuasai sama mereka," lanjutnya lagi. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Yaudah kalo gitu," kata Zein.
"Nanti kalau sudah di kos, Cely lebih hati-hati lagi ya! Karena lingkungan luar itu bahaya banget," saran Bunda Leo. Cely hanya mengangguk mengiyakan.
...__________...