Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Malam itu, setelah mengintip Lucian di ruang kerjanya dan melihat suaminya yang tenggelam dalam tumpukan kertas dan tatapan dingin yang sulit ditembus, Helena akhirnya mundur. Ia tidak mungkin masuk kesana, Lucian akan langsung mengusirnya.
Langkahnya membawanya ke sebuah ruangan kecil di sisi rumah: perpustakaan mini yang menjadi kebanggaan keluarga Kaelith. Kata ayahnya, keluarga Kaelith adalah pengoleksi buku-buku terbiak. Rak-rak dalam perpustakaan itu rapi, setiap buku tersusun sesuai aturan yang hanya Lucian yang mengerti.
Helena berdiri di ambang pintu, merasa seperti seorang tamu di rumahnya sendiri. Ia menarik napas pelan, lalu melangkah masuk. Aroma kertas dan kayu menguar, menenangkan sekaligus menekan dada.
"Apakah disini tempat favoritmu?" Tanya Helena pada keheningan, seolah Lucian yang sedang berada di ruang kerja bisa mendengarnya.
Tangannya bergerak menyusuri deretan buku, mencari sesuatu yang bisa menjadi alasan untuk berbicara dengan Lucian. Sebuah jalan kecil agar ia bisa mengikis jarak di antara mereka.
"Dia terlalu dingin, aku harus usaha lebih untuk lebih dekat dengannya." Gumam Helena terus mencari buku yang mungkin bisa dijadikan topik pembicaraan bersama Lucian.
Pandangannya tertumbuk pada sebuah buku dengan sampul yang mulai pudar. Ia ingat, ini buku yang pernah disebut Lucian sebagai favoritnya, saat percakapan singkat di hari-hari awal pertemuan mereka. Ah tidak! Itu bukan pertemuan yang bagus, pada kenyataannya saat itu Helena hanya tak sengaja bertemu Lucian untuk pertama kalinya dan tak sengaja mendengar percakapannya bersama teman-temannya.
Helena menarik buku itu dengan hati-hati, membuka halaman pertamanya. Kata-kata asing menari di matanya, tapi ia membaca perlahan, mencoba memahami. Lebih dari sekadar isi, ia mencoba merasakan apa yang mungkin dirasakan Lucian ketika pertama kali jatuh cinta pada buku ini.
Ia duduk di kursi dekat jendela, cahaya bulan jatuh menimpa halaman yang terbuka. Sambil membalik lembar demi lembar, Helena berbisik dalam hati:
“Jika aku tak bisa mendekati hatinya secara langsung, mungkin aku bisa masuk lewat dunia yang ia cintai.”
Malam itu, Helena membiarkan dirinya larut dalam buku itu. Ia tak tahu apakah Lucian akan menganggapnya bodoh, atau justru melihat usahanya. Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia ingin sedikit dilihat, meski harus memulai dari huruf-huruf di halaman yang sama.
Helena begitu tenggelam dalam bacaan hingga ia tak mendengar langkah kaki di belakangnya. Suara lembut kertas yang dibalik adalah satu-satunya irama malam itu, sampai sebuah bayangan jatuh ke atas halaman.
Ia terangkat kaget. Lucian berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegap dalam cahaya lampu redup. Tatapannya lurus, dingin, tapi di baliknya ada sesuatu yang tak mudah ditebak.
“Buku itu…” suaranya dalam, datar, “…tidak mudah dipahami bagi orang yang baru menyentuhnya.”
Helena buru-buru menutup buku di pangkuannya, merasa seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah. “Aku hanya… ingin tahu apa yang membuatmu menyukainya.”
Lucian melangkah mendekat, sepatunya menimbulkan bunyi lembut di lantai kayu. Ia berhenti hanya beberapa langkah dari Helena, menatap buku itu sejenak lalu kembali ke wajah istrinya.
“Kau tidak perlu memaksakan diri, Helena,” ucapnya pelan, tapi nada dingin tetap terasa. “Ada hal-hal yang… mungkin tidak akan pernah kau mengerti dariku.”
Kata-kata itu menusuk, tapi Helena menahan diri untuk tidak menunduk. “Aku hanya ingin lebih dekat denganmu. Bukankah itu wajar… untuk seorang istri?”
Lucian terdiam. Tatapannya masih tajam, seakan menimbang apakah Helena benar-benar tulus atau hanya berusaha menembus sesuatu yang ia sengaja sembunyikan.
Akhirnya, ia mengalihkan pandangan, lalu meraih buku itu dari pangkuan Helena. Jemarinya menyentuh jari Helena sesaat. Dingin, tapi meninggalkan getar aneh di udara. Ia menutup rapat buku itu dan mengembalikannya ke rak.
“Buku ini lebih baik tetap di raknya,” katanya singkat. “Beberapa hal… lebih aman jika tidak disentuh.”
Tanpa memberi kesempatan Helena menjawab, Lucian berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan ruangan dengan keheningan yang lebih berat daripada sebelumnya.
Helena tetap duduk di kursi, menatap jendela di mana bulan masih menggantung pucat. Kata-kata Lucian bergema di kepalanya, membuatnya semakin yakin, ada sesuatu yang disembunyikan suaminya, dan ia harus menemukannya.
Helena masih duduk di kursi, berusaha meredakan gemuruh dalam dadanya. Tatapan Lucian, kata-katanya, semuanya meninggalkan luka kecil yang mengendap di hati. Ia hendak berdiri ketika mendengar suara ples halus di lantai.
Matanya segera menangkap sesuatu, sebuah kertas tipis, terjatuh dari sela halaman buku yang tadi direbut Lucian. Dengan tangan bergetar, ia memungutnya.
Itu bukan sekadar kertas. Sebuah foto.
Helena menahan napas. Di foto itu, wajah yang tersenyum lembut menatapnya, wajah yang sudah lama tak ia lihat, tapi mustahil ia lupakan. Amara. Kakaknya.
Amara terlihat muda, cantik, dan bahagia, seolah waktu berhenti saat foto itu diambil. Namun yang membuat dada Helena makin sesak adalah kenyataan lain: foto itu jelas bukan sembarangan. Di belakangnya, dengan tinta samar, ada tulisan tangan. Tulisan Lucian.
"Untukmu, satu-satunya cahaya yang tak pernah padam."
Helena menggenggam foto itu erat, jantungnya seakan berhenti. Hubungan dingin Lucian padanya… kerahasiaannya… semuanya seolah berputar kembali pada satu nama: Amara.
Helena hampir menjatuhkan foto itu lagi ketika suara pintu berderit membuatnya tersentak. Lucian berdiri di ambang pintu, wajahnya setengah tertutup bayangan, matanya langsung menancap pada tangan Helena. Pada foto itu.
Keheningan jatuh, begitu pekat hingga Helena bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
“Helena…” suara Lucian nyaris berbisik, tapi tegas. “…letakkan itu.”
Helena menggenggam foto Amara lebih erat, seakan benda itu menjadi satu-satunya pegangan di tengah pusaran emosi yang menyerangnya. Tatapannya naik, bertemu dengan mata Lucian yang kini lebih gelap dari biasanya.
“Lucian, kenapa kita tidak mencoba memulai sebuah hubungan? Maksudku... Hubungannya yang sedikit lebih hangat?"
Lucian tidak menjawab, hanya melangkah pelan ke dalam ruangan. Keheningan di antara mereka begitu padat, hingga setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk kulit.
Lucian berhenti di hadapannya, berdiri tegap. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi matanya menyimpan badai yang sulit dijinakkan. Ia menunduk sedikit, menatap foto di tangan Helena, lalu kembali menatap istrinya.
“Aku tidak pernah meminta pernikahan ini, Helena,” ucapnya pelan, namun jelas. “Dan kau tahu itu.”
Helena tersentak, ia menguatkan diri untuk berkata lebih. “Aku tahu…” bisiknya. “Tapi apakah itu berarti… aku tidak pernah bisa mendapatkan hatimu? Bahkan sepotong kecil saja?”
Untuk pertama kalinya, tatapan Lucian melembut, meski hanya sekejap. Ia membuka mulut, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi kata-kata itu tertahan. Tangannya terulur, seperti hendak mengambil foto itu dari Helena, namun berhenti di udara.
“Jangan tanyakan hal yang… jawabannya hanya akan melukaimu,” katanya akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti pengakuan yang berat.
Helena menatapnya lama, hatinya terbelah antara ingin percaya dan ingin menyerah. Dalam genggamannya, foto Amara terasa semakin berat, seolah menjadi dinding tak kasat mata yang berdiri di antara dirinya dan Lucian.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...