NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Aku melangkah masuk ke rumah, tubuhku terasa lelah yang luar biasa. Setiap langkah berat menanggung beban rahasia yang kupendam dalam-dalam.

Di ruang tamu, Reyhan sudah duduk dengan raut wajah dingin. Matanya menatap kosong ke arah depan, seperti menunggu sesuatu yang tak ingin kuketahui.

Aku menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik senyum tipisku.

“Aku pulang,” ucapku pelan.

Reyhan tidak menjawab. Tatapannya tetap dingin , seolah aku hanya bayangan yang tak berarti.

Hatiku sesak. Aku ingin membuka mulut, menceritakan semua tentang penyakit ini, tentang rasa takut dan sepi yang kurasakan, tapi... aku tahu, mungkin dia tidak akan perduli. Dia membenciku. Aku hanya alat balas dendam untuknya.

Aku hanya mengangguk, menurunkan tas, lalu berjalan menuju kamar tanpa sepatah kata pun.

Namun suara Reyhan menghentikanku.

Namun suara Reyhan menghentikanku.

“Kau dari mana?” tanyanya dengan suara dingin yang membuat langkahku membeku.

Aku berbalik perlahan, menatap punggung Reyhan yang bersandar di sofa dengan ekspresi datar. Jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam.

“Ini sudah larut, Nayla,” lanjutnya, kali ini menatapku tajam. “Kau pikir kau bisa berbuat sesuka hati hanya karena aku membiarkanmu tinggal di sini?”

Aku mengepalkan jemariku, mencoba menahan gemetar yang mulai merayap ke tubuhku.

“Maaf…” ucapku lirih. “Aku terlambat karena aku dari rumah sakit, Rey. Aku sakit—”

“Aku tidak butuh alasan,” potong Reyhan cepat. “Apapun yang kau lakukan di luar sana, sakit atau tidak, aku tidak peduli. Selama kau masih jadi istriku, kau akan tetap bertanggung jawab. Kau pikir penyakit bisa membebaskanmu dari semua ini?”

Aku tersenyum kecut.

Sudah kuduga. Bahkan kalaupun aku mati, dia mungkin hanya akan tersenyum puas.

“Aku hanya ingin bilang…” suaraku pelan. “…kalau aku benar-benar sakit.”

Reyhan bangkit dari duduknya. “Jangan mencoba menarik simpati dariku. Aku tidak akan kasihan padamu, Nayla. Seberapapun sakitmu, itu tidak akan cukup untuk membayar apa yang sudah dilakukan ayahmu pada keluargaku. Kau dengar?”

Aku menggigit bibir bawahku, menahan air mata yang nyaris jatuh. Kepalaku menunduk.

Dia takkan pernah tahu... betapa aku bahkan tak yakin bisa melihat akhir tahun ini.

“Baik…” gumamku. “Kalau itu yang kau mau.”

Aku melangkah masuk ke kamar. Kali ini, dia tak lagi menahanku.

Dan saat pintu tertutup di belakangku, hanya isak pelan yang terdengar, menemaniku dalam gelap malam yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.

---

Aku terisak di balik pintu kamar yang sudah kututup rapat. Tubuhku jatuh ke lantai, bersandar di dinding sambil menahan sesak yang menghimpit dada.

Rasa sakit di dalam tubuhku bukan hanya karena penyakit ini… tapi juga karena dinginnya sikap Reyhan, yang tiap hari mengiris hatiku tanpa ampun.

"Aku benar-benar sendiri," bisikku lirih.

Air mataku jatuh, membasahi lutut yang kupeluk erat. Malam ini begitu sunyi, dan kesunyian itu menelan seluruh kekuatan yang kupunya.

Tapi perlahan, di tengah tangisanku, pikiranku mulai mengembara.

Aku yakin... Papa tidak bersalah.

Aku tahu siapa Papa. Dia memang keras, tapi dia bukan pembunuh. Aku masih ingat, dulu Papa sering bercerita tentang persahabatannya dengan Papa Reyhan. Mereka dekat… seperti saudara. Lalu, kenapa semua orang tiba-tiba menganggap Papa bersalah setelah kecelakaan itu?

Aku menyeka air mata dengan punggung tangan. Nafasku masih berat, tapi mataku mulai menyala dengan tekad baru.

Aku tidak akan tinggal diam.

Aku tidak akan membiarkan Reyhan terus menyalahkan aku dan keluarga tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kalau pun umurku benar-benar tak panjang… aku akan gunakan waktu yang tersisa untuk mencari kebenaran. Aku akan buktikan bahwa Papa tidak bersalah.

Dan Reyhan…

Aku akan lawan Reyhan.

Aku bukan boneka yang bisa dia kendalikan hanya karena aku tinggal di rumah ini. Aku bukan penebus dosa yang dia bisa rendahkan kapan pun dia mau.

Aku akan lawan semuanya.

Walau tubuhku perlahan melemah… aku masih punya hati dan keberanian untuk bangkit.

Tangisku mereda. Aku bangkit berdiri, menatap cermin di kamarku.

"Aku tidak akan menyerah," ucapku pada bayangan diriku sendiri.

***

Pagi menyapa dengan cahaya lembut yang menelusup melalui sela tirai kamarku. Biasanya, aku akan bangun dengan hati yang berat, mencoba bertahan dari tatapan dingin Reyhan yang selalu menunggu di meja makan.

Tapi hari ini berbeda.

Aku menarik napas panjang, menatap diriku di cermin. Tubuhku masih terasa lelah, tetapi ada tekad yang tumbuh dalam diam. Aku tidak akan lagi membiarkan diriku dihancurkan oleh kebencian Reyhan. Kalau dia ingin perang, aku akan melawan. Sampai nafas terakhirku.

Aku keluar kamar. Reyhan sudah duduk di meja makan, seperti biasa, dengan wajah tanpa ekspresi. Sekilas matanya menatapku saat aku duduk di hadapannya, tapi dia kembali bersikap seolah aku tidak ada.

“Kau tidak masak?” tanyanya tanpa menoleh, nada suaranya datar, tapi terasa tajam.

“Aku tidak sempat,” jawabku singkat sambil menuang air ke gelas. “Kalau lapar, kau bisa menyuruh pelayan untuk memasak untukmu. Aku bukan pembantu di rumah ini.”

Reyhan melotot, menatapku tajam. “Apa katamu?”

Aku balas menatapnya, tak mundur sedikit pun. “Kau dengar apa yang kukatakan.”

Dia tampak terkejut, meski wajahnya mencoba tetap tenang. “Kau mau melawanku?”

“Aku hanya tidak ingin terus diinjak,” jawabku dingin. “Kau pikir aku akan diam terus? Kau bisa membenciku, tapi jangan harap aku akan terus bertahan jadi boneka yang kau permainkan.”

Reyhan berdiri dari duduknya, menghampiriku dengan langkah berat. “Jangan pernah coba-coba—”

“Kenapa?” potongku cepat. “Kau takut aku bicara? Takut kebenaran terungkap? Kau tidak tahu apa pun tentang Papa, tapi kau bersikap seolah kau tahu segalanya. Kau bukan Tuhan, Reyhan. Kau tidak punya hak menghukum orang yang bahkan belum kau selidiki benar.”

Tatapan Reyhan berubah. Matanya menajam, tapi ada sedikit kebingungan di sana. Mungkin dia tak menyangka aku akan bersikap seperti ini.

“Kalau kau mau balas dendam, lakukan sesukamu. Tapi aku akan tetap mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi waktu itu. Aku tidak akan mati dengan membiarkan kebencianmu menang.”

Aku mengambil tasku, lalu berjalan menuju pintu tanpa menoleh lagi.

---

Reyhan hanya berdiri mematung di tempatnya. Untuk pertama kalinya, dia tidak bisa langsung membalas kata-kataku. Wajahnya tetap dingin, tapi aku bisa melihat rahangnya mengeras, menahan sesuatu yang tak bisa ia luapkan.

Aku keluar dari rumah tanpa menoleh. Ada rasa takut, iya. Tapi juga ada rasa lega. Entah darimana keberanian itu muncul, tapi aku tahu aku harus memulainya sekarang. Jika waktu hidupku hanya tinggal enam bulan, aku tidak akan menghabiskannya dengan terus diam dan menderita.

Aku naik taksi dan memutuskan untuk tidak ke kantor terlebih dahulu. Aku mengambil cuti setengah hari.

Hari ini, aku akan mulai menggali semuanya.

Aku pergi ke rumah Tante Lani, sahabat Papaku yang juga pernah bekerja di perusahaan almarhum Papa Reyhan dulu. Perempuan paruh baya itu terkejut melihat kedatanganku.

"Nayla? Kamu kenapa, Nak? Kelihatan pucat sekali."

Aku tersenyum tipis. "Tante... aku ingin bicara soal Papa."

Wajah Tante Lani berubah. Dia menarik napas dalam, lalu mempersilakan aku duduk di ruang tamu.

"Apa kamu yakin ingin tahu, Nayla?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk mantap. "Aku tidak punya banyak waktu, Tante. Tapi sebelum semuanya terlambat... aku harus tahu. Apa benar Papa bersalah atas kematian Papa Reyhan?"

Tante Lani menatapku lekat-lekat, lalu perlahan menggeleng. "Tidak, Nayla. Papa kamu bukan penyebabnya. Justru... dia satu-satunya yang waktu itu berusaha menghentikan semua kejanggalan dalam perusahaan. Tapi dia malah dijadikan kambing hitam."

Aku terdiam. Jantungku berdegup kencang.

"Apa Tante punya bukti?"

Tante Lani bangkit, lalu masuk ke kamar. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan sebuah map cokelat usang.

"Ini... semua dokumen laporan keuangan waktu itu. Ada tanda tangan, ada kronologi internal, dan juga catatan investigasi pribadi Papamu. Papamu dan almarhum papanya Reyhan mencurigai seseorang. Setelah papamu keluar dari ruangan papanya Reyhan, mamanya Reyhan masuk ke sana. Dan saat papamu masuk lagi, dia melihat Tuan Alfarezi sudah terkapar di lantai ruangannya, baru papamu berlari meminta bantuan."

Aku terkejut. Aku pikir ini ada hubungannya dengan mamanya Reyhan. Tanganku gemetar saat menerimanya. Aku bahkan nyaris tak percaya.

"Terima kasih, Tante...," bisikku. Air mata mulai menggenang. "Aku akan selesaikan semua ini. Aku akan buktikan kebenarannya..."

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!