“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak punya malu
Malam itu, Renaya hanya bisa terpekur dengan pikirannya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tentang kejanggalan tulisan tangan Sandrawi terus berputar di benaknya, seperti pusaran air yang menariknya ke dalam kekalutan. Surat peninggalan Sandrawi dan tulisan asli dalam buku catatan yang ditunjukkan Yudayana... terlalu jelas perbedaannya. Siapa yang menulis surat itu? Mengapa Sandrawi tak meninggalkan sepatah kata pun dengan goresan tangannya sendiri?
Yudayana pun tak kunjung memberi penjelasan. Lelaki itu hanya meninggalkannya, membiarkan Renaya bertarung dengan gelombang pertanyaan yang menghantam pikirannya tanpa henti. Ia menyesap minuman yang sebelumnya disuguhkan Yudayana—entah apa jenisnya, hanya saja aroma tajamnya sempat menusuk hidung. Setengah gelas itu mengalir begitu saja melewati tenggorokannya, seakan ingin membasuh segala kekalutan hati.
Ketika matanya sekilas melirik ke dinding, detik jam mengingatkannya pada kenyataan: pukul tiga dini hari.
“Celaka! Aku kebablasan! Harus cepat pulang!” gumam Renaya, tubuhnya sontak bangkit dari duduk.
Untungnya, minuman yang ia tenggak tidak cukup kuat untuk merenggut kesadarannya. Ia masih cukup waspada untuk menyetir pulang. Di perjalanan, degup jantungnya seolah berlomba dengan jarum jam, memburu rumah yang ia tinggalkan sejak malam.
Namun, saat mobil berhenti di halaman rumah, kening Renaya berkerut. Pintu depan rumah itu menganga setengah terbuka, diterpa angin malam.
“Kenapa pintunya terbuka jam segini…?” desisnya pelan, ada desakan kekhawatiran yang menyusup ke dada.
Dengan langkah perlahan namun waspada, Renaya mengendap masuk. Kesunyian menyelimuti seluruh penjuru rumah—hanya bunyi detak jam dan hembusan angin yang terdengar samar. Ia tahu semua orang pasti masih terlelap. Mereka tak menyadari pintu rumah menganga begitu saja.
Namun, langkah Renaya terhenti ketika dari arah dapur ia mendengar tawa lirih, seperti bisikan penuh hasrat yang memuakkan. Mata Renaya menyipit, napasnya memburu. Dengan hati-hati, ia mengendap lebih dalam dan mendapati pemandangan yang membuat amarahnya meledak.
Baskoro, ayah kandungnya, tengah memeluk mesra Saras, perempuan yang dikenal warga sebagai janda penggoda. Bibir pria itu menempel pada leher Saras, gerak-geriknya tak ubahnya remaja tanggung yang baru mengenal mabuk asmara.
BRAK!
Renaya menendang pintu dapur sekuat tenaga, membuat suara dentuman menggema, membuat Baskoro dan Saras terlonjak, wajah mereka pucat pasi diterpa keterkejutan.
“Brengsek! Jadi beginilah kelakuan Bapak?!” amuk Renaya, matanya menyala penuh murka, napasnya memburu tak terkendali. Segenap darahnya mendidih sampai ke ubun-ubun.
Baskoro menghela napas kasar, tak tampak penyesalan sedikit pun dari wajah tuanya. “Ganggu aja kamu! Sana masuk kamar!” bentaknya tak acuh.
Mata Renaya semakin menyipit tajam. “Mau sampai kapan, Pak, begini terus? Semakin tua bukan makin sadar malah makin bejat!” suaranya menggema di ruangan itu.
Inilah alasan Renaya pergi dari rumah sejak dulu, alasan ia menutup mata terhadap urusan rumah ini. Baskoro, lelaki yang semestinya menjadi panutan, justru menenggelamkan diri dalam lumpur aib.
“Halah, omong kosong! Urusi saja hidupmu sendiri! Bapak nggak peduli kamu pulang jam segini, paling juga habis ngelayanin tamu, kan?” sindir Baskoro tanpa rasa hormat sedikit pun.
“Mas… aku… aku pulang aja ya,” gumam Saras, menyadari situasi yang berubah panas.
Namun Baskoro mencengkeram tangan Saras kasar, menahannya, “Loh, kenapa buru-buru? Kamu baru saja datang!”
“Pulang saja! Malam-malam begini bukannya tidur malah main serong sama suami orang!” serang Renaya, tatapannya menusuk tajam ke arah Saras, sarat dengan penghinaan.
“Jaga ucapanmu! Siapa yang ngajarin kamu ngomong kotor begitu?!” bentak Baskoro, suaranya ditahan agar tidak membangunkan penghuni rumah lain.
Namun bagi Renaya, bentakan itu tak lagi membuatnya gentar. Hatinya sudah lama remuk, malam ini hanya semakin menguatkan kebenaran betapa busuknya moral sang ayah.
Jika bukan karena darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah Baskoro, mungkin Renaya sudah melayangkan tamparan keras ke wajahnya.
“Apa bedanya dengan Bapak yang pagi-pagi buta bawa perempuan lain ke rumah?! Ibu di rumah, bukannya sadar, malah makin menjadi-jadi!” seru Renaya lantang, nadanya tajam menusuk. Matanya menyala marah, menatap Baskoro yang kini membusungkan dada dengan wajah merah padam.
“Renaya! Siapa yang...”
“Mas… Mas… sudah, jangan ribut malam-malam begini,” sela Saras cepat-cepat, mencoba menenangkan pria di sampingnya. Perempuan itu berusaha meredam amarah Baskoro dengan menurunkan tangannya yang hendak menunjuk Renaya. “Kamu juga jangan teriak-teriak, Ren, nanti Ibu bangun. Kasihan beliau.”
Renaya mendecak keras, jemarinya mengepal. “Kalau kamu benar-benar kasihan, kenapa masih tega selingkuh sama Bapakku, hah?! Perempuan murahan! Keluar dari rumah ini!” teriaknya.
Tanpa banyak kata, Renaya langsung mencengkeram rambut Saras, menyeretnya dengan kasar menuju pintu depan. Tangan Renaya mencengkeram erat, menarik paksa perempuan itu.
“Aduh! Aduh! Sakit… lepasin!” Saras memberontak, mencoba melepaskan diri dari cekalan Renaya.
“Renaya! Lepaskan tanganmu dari Saras!” Baskoro mengejar, menepiskan tangan putrinya saat mereka sampai di pekarangan rumah. Napasnya memburu, matanya menyipit penuh amarah. “Apa maksudmu berlaku kasar sama Saras?! Ini rumahku! Kamu nggak berhak mengusir siapa pun dari sini!”
Emosi Renaya kian meluap, melihat bagaimana Baskoro dengan mudah membela Saras, perempuan lain tanpa merasa sedikit pun bersalah. Bahkan di tengah duka kepergian Sandrawi, Baskoro justru sibuk bermesraan.
“Apa Bapak nggak punya malu?! Bawa perempuan murahan ke rumah, sementara Ibu tidur di dalam kamar!” bentaknya, dadanya naik turun menahan gejolak emosi.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Renaya, membuat kepalanya terputar ke samping. Pipinya langsung terasa panas, memerah.
“Jaga ucapanmu, Renaya! Saras bukan perempuan murahan seperti kamu!” hardik Baskoro, suaranya penuh kebencian.
Renaya terdiam sejenak, tangannya perlahan menyentuh pipinya yang berdenyut perih. Dadanya terasa sesak ayahnya lebih memilih membela Saras ketimbang darah dagingnya sendiri.
“Kalau begitu… harus kusebut apa perempuan peliharaan Bapak, hah? Harusnya Bapak malu! Mau Bapak tunjukkan apa ke warga?! Setelah semua yang terjadi, setelah kepergian Sandrawi, Bapak masih bisa bersenang-senang seenaknya! Lihat saja… aku akan bilang ke Ibu!” suara Renaya pecah, matanya berkaca-kaca.
Baskoro kembali mengangkat tangannya hendak melayangkan tamparan lagi, tapi Saras sigap menahan pergelangan tangan Baskoro. “Mas… sudah, Mas. Aku pulang saja malam ini. Tidak baik kalau tetangga mendengar keributan.”
Renaya terkekeh dingin. “Kenapa? Takut warga tahu aibmu, Saras? Takut ketahuan kamu perebut suami orang?! Bagus… biar sekampung tahu perempuan tak tahu malu seperti kamu!”
Plak!
Tamparan kedua mendarat tanpa ampun.
“Cukup!” geram Baskoro, matanya berkilat tajam. “Daripada perempuan yang menjual tubuhnya ke pria mana pun, Saras jauh lebih baik!”
Saras menarik napas berat, mencoba mengendalikan situasi. “Sudahlah Mas, aku pulang dulu. Besok aku ke sini lagi.” Ia menepuk pipi Baskoro singkat, memberi ciuman sekilas sebelum beranjak pergi.
Renaya memandang pemandangan itu dengan tatapan getir. Hatinya mengeras, wajahnya mendongak dengan sorot mata meremehkan. “Seenggaknya… aku nggak jadi simpenan lelaki beristri,” desisnya dingin.
Tanpa menunggu reaksi Baskoro, Renaya berbalik masuk ke dalam rumah, meninggalkan Baskoro termangu di depan pintu.
Sesaat sebelum menuju kamarnya, Renaya menyempatkan diri mengintip ke kamar ibunya. Ratih masih tertidur lelap, wajahnya terlihat letih namun tenang. Renaya menghela napas lega. Setidaknya, ibunya belum mendengar keributan semalam.
Perlahan Renaya menarik selimut sang ibu, membenarkannya, lalu beranjak ke kamarnya sendiri.
Saat punggungnya bersandar di atas kasur, rasa lelah itu menumpuk. Pipinya masih berdenyut, panas, meninggalkan bercak kemerahan. Tatkala menatap pantulan dirinya di cermin, Renaya mendesah panjang.
“Dasar nggak tahu diri… keadaan masih berduka malah asyik berselingkuh,” gerutunya, matanya memerah menahan marah dan pilu yang menyesakkan dada.
Awalnya, ia hanya ingin bicara baik-baik dengan ayahnya tentang Sandrawi. Tapi setelah malam ini… ia bahkan muak untuk sekadar melihat wajah Baskoro.
Renaya memejamkan mata, mengusap dagunya pelan.
“Kenapa Yudayana malah nyuruhku tanya ke Bapak? Ada apa sebenarnya?”
Renaya bergumul dalam benak, haruskah ia menanyakan langsung pada Baskoro atau kembali ke kelab malam dan membujuk Yudayana agar bicara terbuka? Yang jelas, esok hari ia bertekad untuk memberi tahu Ratih tentang perilaku ayah mereka yang sudah melampaui batas kesabaran.