Raka Dirgantara, Pewaris tunggal Dirgantara Group. Tinggi 185 cm, wajah tampan, karismatik, otak cemerlang. Sejak muda disiapkan jadi CEO.
Hidupnya serba mewah, pacar cantik, mobil sport, jam tangan puluhan juta. Tapi di balik itu, Raka rapuh karena terus dimanfaatkan orang-orang terdekat.
Titik balik: diselingkuhi pacar yang ia biayai. Ia muak jadi ATM berjalan. Demi membuktikan cinta sejati itu ada,
ia memutuskan hidup Miskin dan bekerja di toko klontong biasa. Raka bertemu dengan salah satu gadis di toko tersebut. Cantik, cerewet dan berbadan mungil.
Langsung saja kepoin setiap episodenya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky_Gonibala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi di Rak Diskon
Malam itu Toko Kita Jaya sudah tutup. Rolling door turun setengah, lampu kasir sudah padam. Tapi di dalam, lampu gudang masih menyala temaram.
Intan duduk bersila di atas kardus mie instan, kedua tangannya memeluk lutut. Raka duduk di kursi plastik butut, menatap tumpukan barang kadaluarsa di pojok. Di sela-sela suara tikus Komplotan geng Kim yang lari-lari, obrolan mereka masih berputar.
“Mas, kamu yakin betah kerja di sini?” tanya Intan tiba-tiba.
Raka mendongak, senyum kecilnya muncul di bawah lampu neon kedap-kedip. “Kenapa nggak betah?”
“Capek, panas, bos cerewet, gaji pas-pasan, kerjanya numpuk. Udah gitu harus kerja sama aku, cerewet lagi.”
Raka pura-pura menimbang di udara. “Hmm… ya kalo gajinya pas-pasan tapi ada kamu, aku rela.”
Intan nyubit dengkul Raka. “Ih, Mas! Gombal mulu!”
Mereka terdiam sebentar. Intan melipat kakinya, kuncir dua sudah miring sebelah.
“Tau nggak, Mas. Dulu aku nggak kepikiran bakal kerja di tempat beginian,” gumam Intan lirih.
“Terus, pengennya kerja di mana?”
“Di kantor. Pakai blazer, duduk di meja bersih, minum kopi cantik. Tapi ya gitu… sekolah nggak selesai, ijazah pas-pasan, modal nggak ada. Jadi ya udah, di sini aja dulu.”
Raka menatap Intan lama-lama. Suara kipas angin berderit di sudut ruangan.
“Kalau suatu hari kamu bisa milih, kamu mau kerja di mana?” tanya Raka serius.
Intan menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. “Di mana aja… asal nggak sendirian.”
Raka terdiam. Tangannya reflek meraih jemari Intan. Dingin, kasar, tapi hangat di ujungnya.
“Kalau aku mau nemenin kamu kerja di mana pun, boleh?” tanya Raka pelan.
Intan menatapnya. Bibirnya bergetar. “Mas… kamu nggak capek yah gombalin aku terus?, jangan pura-pura baik sama aku, Mas pasti pacarnya banyak kan?”
Raka tertegun. “Pura-pura?, pacar banyak?”
“Iya. Kamu ganteng, tinggi, rapi. Wajah licin, Mana mungkin nggak punya pacar. pasti pacarnya Mas nggak kayak aku. Liat deh, ini tangan aku kasar, kuku jelek, rambut kusut, bau gudang.”
Raka memegang pipi Intan. Hangat. Lembut. Intan kaku.
“Aku nggak pura-pura, Tan. Aku… beneran betah di sini. Karena kamu.”
Intan menarik nafas panjang. Lalu mendadak dia nyengir, membuang suasana dramatis.
“Ih, jadi baper! Udah ah. Makan mie lagi yuk.”
Raka ngakak. “Perasaan tadi udah makan dua gelas mie.”
“Sekarang makan roti. Nih, ada roti sisa promo.”
Intan meraih plastik roti manis yang hampir expired. Mereka makan berdua di gudang, di tengah dus sabun cuci dan kardus air mineral.
Suara motor lewat di luar rolling door. Jam sudah hampir tengah malam. Tapi mereka berdua nggak mau bubar.
“Mas…”
“Hm?”
“Kamu punya mimpi nggak?”
Raka menatap Intan. Mulutnya penuh roti manis. “Mimpi? Banyak.”
“Yang paling besar?”
Raka menatap atap gudang yang bolong. “Aku pengen punya keluarga bahagia. Rumah kecil. Warung di pinggir jalan. Istri cerewet. Anak-anak rame.”
Intan tertawa, menutup mulutnya biar remah roti nggak muncrat. “Istri cerewet? Ya ampun. Mas kayaknya suka banget ya dimarahin?”
“Banget,” jawab Raka mantap.
Intan tertawa makin keras. “Terus kalau udah punya keluarga, kamu mau kerja di mana?”
Raka menatap rak diskon di pojok gudang. Label diskon warna merah nyaris lepas, kertasnya kusut.
“Di rak diskon kayak gini juga nggak apa-apa. Yang penting bisa makan bareng, ketawa bareng.”
Intan menunduk, roti di tangannya remuk.
Beberapa detik sunyi. Lalu Intan berdehem. “Mas… mau denger mimpiku nggak?”
“Banget.”
Intan menarik napas dalam. “Aku mau punya rumah sendiri. Kecil, tapi bersih. Di dapurnya ada kompor. Ada kulkas. Di kulkasnya isinya mie instan sama sambal botolan, ada telur juga. Tiap pagi bangun nggak takut ditinggal lagi.”
Raka menatap Intan, matanya melembut.
“Kamu takut ditinggal siapa?” tanya Raka.
Intan tertawa kecut. “Semua orang pernah ninggalin aku, Mas. Ibu, ayah, saudara. Makanya aku nggak mau lagi punya mimpi yang ribet.”
Raka menepuk kepala Intan pelan. “Kalau aku nggak akan ninggalin kamu gimana?”
Intan menepis tangan Raka. “Ih, jangan sok manis!”
Raka tertawa. “Beneran.”
Hujan rintik-rintik mulai terdengar lagi di atap seng gudang. Intan menarik lututnya lebih rapat.
“Mas, kadang aku iri sama orang-orang kaya. Kalau mau apa-apa tinggal beli. Kalau mau makan enak, nggak mikir harga. Kalau mau kuliah, tinggal bayar. Kalau mau ini itu, langsung dapet.”
Raka menatap jemari Intan yang gemetar di lututnya. “Kalau kamu jadi orang kaya, kamu mau apa?”
Intan terdiam. Lalu dia menatap Raka. Senyumnya manis, matanya merah.
“Aku mau beliin rak diskon baru buat toko ini. Biar kamu nggak capek benerin label, ganti alat scan biar nggak error mulu kalau kamu pakai. Pokonya toko ini aku renovasi biar cantik."
Raka ngakak sampai jatuh dari kursi. Intan ikutan ngakak. Suara tikus Kim lari-lari lagi di atas kepala.
Beberapa menit kemudian, Raka bangkit. Dia berdiri di depan Intan yang masih duduk.
“Tan…”
“Apa?”
Raka jongkok, matanya sejajar dengan Intan. “Kalau suatu hari aku nggak kerja di sini lagi, kamu tetep mau ketemu aku nggak?”
Intan menatap Raka. Lama. Lalu dia menepuk pipi Raka pelan.
“Mas, jangan ngomong aneh-aneh. Kita kan partner kerja. Mana bisa kabur.”
Raka menghela napas lega, lalu berdiri. “Kalau gitu, sini. Kita pasang label diskon bareng.”
Sampai jam satu dini hari, mereka berdiri di lorong toko, menempel label diskon di rak mie kadaluarsa, di dus sabun cuci, di rak shampo promo. Intan ketawa-tawa, Raka pura-pura serius.
“Mas, labelnya miring tuh!”
“Biarin. Yang penting tulisannya ‘diskon’. Orang Indonesia suka diskon.”
“Hahaha. Bener juga.”
Di rak paling pojok, Intan berdiri di depan tumpukan detergen. Raka berdiri di belakangnya, menahan napas.
“Tan…”
“Hm?”
“Kalau suatu hari aku beneran nggak di sini, kamu jangan nangis ya.”
Intan menoleh, kuncirnya kena dagu Raka. “Kenapa ngomong gitu terus sih?”
Raka senyum kecil. “Nggak apa-apa. Kan siapa tau.”
Intan mendecak. “Kalau Mas kabur, aku bakar nih rak diskon.”
Raka ngakak. “Ya ampun. Teroris mie instan.”
Pukul dua dini hari. Mereka berdua duduk lagi di gudang, punggung bersandar di dus sabun.
Suara hujan rintik makin keras. Raka menatap atap seng bocor, Intan menatap label diskon di tangan.
“Mas…”
“Hm?”
“Kalau mimpi kita nggak kejadian gimana?”
Raka menarik bahu Intan pelan. Membiarkan kepala Intan rebah di bahunya.
“Nggak apa-apa. Yang penting udah mimpi bareng.”
Di luar, hujan berhenti pelan-pelan. Rolling door setengah turun jadi saksi. di rak diskon itu, ada hati yang ditempel harga promo.
Bersambung.