“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9
Setelah kondisi kembali kondusif, Citra pun menyampaikan keputusannya untuk menjadi pengasuh bayi kembar milik Tuan Muda Ardhanza Dewantara.
Citra menarik napas panjang, untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Iya, Pak… saya setuju. Saya ingin kerja agar bisa bikin saya sibuk daripada terus memikirkan luka batinku yang tak ada ujungnya,” ujarnya.
Pak Ridho mengangguk puas. “Bagus, Nak karena kamu sudah memilih. Saya pamit dulu majikan saya menunggu kabar baik ini soalnya.”
Ia berdiri, merapikan tas kecilnya, lalu menatap Citra dengan tatapan kebapakan.
“Kalau ada apa-apa, hubungi saya. Kamu tidak sendiri ada Bapak bersamamu ingat baik-baik, kamu nggak sendirian tapi ada Allah SWT dan orang-orang yang selalu berbaik hati kepadamu.”
Setelah memberikan wejangan terakhir, Pak Ridho berdiri sambil meraih tas kecilnya.
Namun sebelum melangkah pergi, lelaki paruh baya itu justru tersenyum kecil, seakan teringat sesuatu yang terlupakan belum dilakukannya.
“Eh… hampir lupa,” ujarnya sambil mengangkat telunjuknya.
“Orang tua kalau sudah bicara serius terus, biasanya malah bikin tegang. Jadi biar suasananya nggak terlalu berat dan tegang, saya pamit pakai pantun dulu, ya.” ucapnya.
Citra mengangkat wajahnya, matanya masih berkaca-kaca namun bibirnya mulai menampakkan senyum kecil.
Pak Ridho merapikan bajunya yang sedikit kusut, lalu melantunkan pantun dengan suara rendah namun penuh perasaan.
“Pergi ke pasar membeli selai,
Selai dibeli si orang Betawi.
Kalau hati pernah disakiti sekali,
Jangan biarkan itu menyakiti lagi.”
Citra menunduk sambil tersenyum, dadanya terasa lebih ringan dan lega.
Pak Ridho melanjutkan lagi ucapannya, satu pantun tambahan, kali ini lebih lembut.
“Pagi-pagi menanam bunga,
Bunga tumbuh berwarna merah.
Kalau ada jalan menuju bahagia,
Kenapa kembali ke jalan yang sudah salah?”
Beberapa keluarga pasien yang mendengar pantun itu ikut tersenyum kecil karena cukup terhibur setelah beberapa saat lalu terjadi perdebatan dan ketegangan di dalam kamar bangsal tersebut.
Suasananya menjadi hangat dan tidak lagi menegangkan seperti saat Ardiansyah muncul. Pak Ridho baru saja selesai melantunkan pantun terakhirnya.
Beberapa keluarga pasien tersenyum, suasana yang tadinya tegang kini jauh lebih santai dan hangat.
Pak Ridho kemudian menatap Citra dengan pandangan kebapakan. Sedangkan Citra mengusap sisa air matanya, lalu tanpa disangka ia mengangkat wajah dan mencoba tersenyum.
Senyum itu bukan karena ia baik-baik saja, tapi karena ia tidak mau terlihat hancur di hadapan orang yang tulus membantunya.
“Pak…” ucapnya pelan.
Pak Ridho reflek menoleh ke arah Citra. Citra menarik napasnya lalu membuangnya perlahan, kemudian berkata sambil mengangkat sedikit alisnya, mencoba mencairkan suasana dengan gaya bercandanya yang santun.
“Kalau begitu saya balas pantunnya, ya Pak? Cuma jangan ketawa kalau jelek maklum baru belajar soalnya.” ujarnya Citra yang selalu merendah.
Pak Ridho tertawa kecil. “Coba, Nak. Bapak ingin dengar.”
Citra pun melantunkan pantun buatannya sendiri.
“Pergi memetik bunga kenanga,
Bunganya wangi bikin hati tenang.
Walau hati saya masih berdarah-darah, Pak… Tapi bercanda tetap bisa, biar nggak tumbang.”
Suara beberapa pasien terdengar menahan tawa kecil. Pak Ridho sampai menutup mulutnya karena terhibur dengan pantunnya Citra.
“Eh bagus itu! Bikin bapak merinding malah,” godanya.
Citra tersenyum yaitu senyuman yang getir namun berusaha kuat.
Ia menambahkan satu bait lagi, lebih ringan dan mudah.
“Ke pasar beli pepaya,
Pulang-pulang bawa rambutan.
Biar hidup saya lagi berantakan, Pak…
Saya tetap pura-pura kuat di depan teman.”
Pak Ridho tertawa pelan, raut wajahnya penuh rasa haru dan bangga.
“Nah! Itu tandanya kamu ini bukan perempuan lemah. Bisa bercanda di tengah luka, itu luar biasa, Nak.”
Citra menunduk sedikit sambil menahan getaran suaranya, “Kalau saya tidak bercanda, Pak nanti nangis lagi, capek sudah nangis mulu entar air mataku habis loh.”
Pak Ridho geleng-geleng kepala mendengar candaan Citra. “Ya Allah… anak ini pintar menyembunyikan kesedihannya padahal perempuan lain di luaran sana mungkin akan ngomel-ngomel ataupun bersikap kasar kalau dihadapkan pada situasi seperti ini,” batinnya Pak Ridho.
Entah kenapa keduanya cepat akrab dan jika ada yang melihat mereka pasti menganggap mereka ayah dan anak perempuannya padahal pada kenyataannya mereka baru saling mengenal beberapa jam yang lalu.
Pak Ridho menimpali ucapannya Citra, “Yang penting kamu tetap kuat, tegar dan tersenyum Nak Citra, bapak akan melakukan apapun .”
Citra yang mendengar perkataan Pak Ridho terharu sekaligus terenyuh diperlakukan hangat selayaknya seorang anak. Dan hal ini untuk pertama kalinya dirasakannya karena, sejak kecil dia dibesarkan oleh seorang nenek yang bukan anggota keluarga kandungnya dan dia diangkat jadi anak oleh nenek itu.
“Nak Citra hidup itu keras, tapi kamu lebih kuat. Besok-besok, siapa tahu pantun ini jadi pengingat kalau kamu pantas bahagia.” ucapnya.
Citra mengangguk kecil, suaranya lirih namun tulus, “Terima kasih banyak, Pak pantunnya menyejukkan jadi saya bisa lebih santai rasanya.”
Pak Ridho tersenyum lebar. “Syukurlah. Kalau begitu, saya pamit dulu. Majikan saya sudah menunggu kabar tentang kamu.”
Ia lalu berjalan menuju pintu keluar setelah memberikan pesan moral, lalu menoleh sebentar sambil mengangkat tangannya sebagai salam perpisahan.
“Assalamualaikum. Semoga besok kamu bangun dengan hati yang lebih lapang.” harapnya tulus.
Citra membalasnya dengan senyuman terlebarnya, “Waalaikumsalam, amin ya rabbal alamin. Pak Ridho hati-hati di jalan insha Allah.. aku akan menunggu kedatanganmu di rumah Nyonya Besar Hilda.”
Citra membalas, kali ini dengan senyum yang benar-benar muncul dari ketulusannya tanpa dibuat-buat.
“Hati-hati di jalan, Pak Ridho. Dan terima kasih pantunnya, nasihatnya juga dan semuanya, insha Allah kita akan bertemu seminggu dari sekarang,” ujarnya.
Pak Ridho tersenyum simpul,” Amin ya rabbal alamin… Alhamdulillah Bapak akan memiliki kembali seorang putri yang cantik jika kamu benar-benar bekerja bersama Bapak di rumah Nyonya Besar Hilda.”
“Amin ya rabbal alamin, makasih banyak Pak. Tapi jangan pernah bosan yah bertemu dengan aku yang cerewet,” kelakarnya Citra yang melihat kepergian Pak Ridho dari dalam bangsal kelas ekonomi rumah sakit milik pemerintah tersebut.
Begitu pintu bangsal menutup, Citra menghela napas panjang. Senyum bercandanya hilang, diganti tatapan kosong penuh perih. Namun dibalik itu dia merasa sedikit lebih plong dan lega setelah dibuat pusing setengah hidup.
Ia berbicara pada dirinya sendiri, “Aku masih bisa bercanda itu tandanya berarti aku masih hidup dan tentunya masih bernafas.”
“Aku akan mulai lagi dari awal. Meskipun sakit ini masih terasa, aku harus hidup. Untuk masa depanku. Untuk anak yang tidak sempat aku peluk dan lihat. Untuk diriku sendiri.”
Ia menatap langit-langit bangsal rumah sakit itu, seolah mencari kekuatan baru dari sesuatu yang tak terlihat.
“Aku sudah jatuh terlalu dalam saatnya aku berdiri.” batinnya seraya menyeka air matanya.
Berselang beberapa menit kemudian…
“Jodoh kita cukup sampai di sini mas Ardian. Maafkan aku kalau selama ini aku banyak berbuat salah kepadamu,” cicit Citra, suaranya lirih nyaris tak terdengar.
Ia membuang nafas pelan—pelan sepelan harapan yang pernah ia genggam. Dadanya naik turun menahan sisa-sisa getar di tenggorokannya. Untuk pertama kalinya, Citra benar-benar melepaskan, bukan karena tidak cinta melainkan karena sudah terlalu lelah disakiti.
Citra mengusap cairan bening yang menetes membasahi pipinya ketika harus dipaksa kembali mengingat kenangan bersama dengan mantan suaminya yang telah menikahinya selama dua tahun lamanya.
Sedangkan di luar ruangan bangsal rumah sakit milik pemerintah itu, suasananya sangat berbeda seratus delapan derajat perbedaannya.
“Kenapa aku semakin membenci Citra padahal dahulu aku sangat mencintainya. Kenapa juga ketika aku melihatnya bersama dengan lelaki tua itu amarahku semakin membuncah,” monolognya Ardian sambil terus melangkahkan kakinya menuju parkiran.
Ardiansyah keluar dari rumah sakit dengan langkah besar dan gelap, seperti ada badai yang berjalan menyelimuti tubuhnya. Terlihat dadanya naik turun, napasnya memburu, kemarahan dan kebenciannya menggelegak sampai terasa menyesakkan.
Semakin jauh ia meninggalkan pintu rumah sakit, semakin panas bara di kepalanya.
Citra Aulia perempuan itu. Mantan istrinya adalah orang yang selama ini selalu diam, selalu tunduk, selalu menunduk kalau dimarahi. Selalu menerima kalimat-kalimat kasarnya tanpa pernah membalas.
“Perempuan itu semakin berani rupanya! Dulu selalu seperti orang bego yang diam saja meskipun diperlakukan kasar oleh Mama dan Ardila serta Arni,” gumam Ardian.
Dan hari ini,Citra tidak membalas ucapannya. Tidak memohon, tak menangis dan juga tidak meminta maaf seperti biasanya.
Citra hanya terdiam, cukup tenang tak terbaca dan juga sabar.
Dan yang paling membuat Ardian emosinya tersulut karena sama sekali dia tidak terlihat takut.
Ardian menggeram kesal, wajahnya memerah, matanya bergerak liar.
“Brengsek!” makinya meledak, suaranya memantul di area parkiran yang cukup ramai sore itu.
“Sejak kapan perempuan bodoh, tolol, norak, kampungan serta miskin kayak dia berani-berani ngelawan aku?! Hah?!” geramnya.
Seolah amarahnya belum cukup, ia menghentakkan kakinya ke kap mobilnya beberapa kali sehingga mobil berwarna putih itu menjadi sasaran empuk kemarahannya.
Brak!!
Bruk!!
Ia menendang, memukul, memaki, seperti manusia yang kehilangan kendali sepenuhnya.
“Arghhhh!!” teriaknya, lebih mirip auman hewan terluka daripada suara manusia.
Beberapa orang yang lewat parkiran sempat melihat ke arah Ardian dan mereka menganggap Ardian adalah salah satu pasien rumah sakit jiwa. Tapi, Ardian sama sekali tidak peduli dengan ucapan julid dan nyinyir dari orang-orang.
“Aku nggak bakal tinggal diam melihat kamu bahagia, Citra Aulia! Nggak bakalan bahkan aku akan membuat kamu menderita seumur hidupmu!” tekadnya.
Mobilnya menjadi korban kap penyok, suara alarm sempat memekik pendek. Padahal benda itu tidak salah apa-apa.
Author “Ya ampun, yang sabar ya mobil. Semoga Allah memberi hidayah ke pemilikmu. Aamiin.”
Setelah puas melemparkan kekesalan fisik dan emosionalnya, Ardian berhenti. Nafasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya. Baru saat itu pikirannya kembali teringat ke tujuan awal datang ke rumah sakit.
Yaitu untuk memastikan apakah Citra sudah membayar tagihan rumah sakit atau belum. Karena dia sangat ingin melihat Citra ketakutan, kebingungan, terpuruk, memohon-mohon bahkan berlutut di depannya seperti dulu dan tujuan utamanya adalah untuk meremukkan harga dirinya Citra lagi.
Namun tadi Citra terlihat terlalu santai bahkan sangat tenang, tidak seperti orang yang tidak punya uang sepeser pun. Hal itu yang memancing emosinya Ardian.
Sesungguhnya Ardian sengaja tidak membayar tagihan biaya rumah sakitnya Citra karena, ia berharap Citra menelponnya atau mendatanginya langsung ke rumahnya dan memohon, meratap bahkan Ardian bermimpi Citra berlutut di hadapannya.
Ardian menepuk keningnya keras. “Sial… gimana bisa aku lupa soal itu yah?!”
Ia menggertakkan gigi-giginya hingga terdengar gemelatuk, pikirannya liar, mencurigai segala kemungkinan yang bisa terjadi.
“Kayaknya perempuan tolol itu sudah melunasi tagihannya. Kenapa dia kelihatan santai begitu? Nggak panik sama sekali.” gumamnya.
Ia menghela napasnya dengan kasar, lalu sebuah dugaan jelek merayap masuk ke kepalanya.
“Jangan-jangan aki-aki tua bangka bangkotan itu yang bayar?” gumamnya hingga terlihat wajahnya menegang.
“Kenapa dia tiba-tiba ada terus di sekitar Citra? Apa mereka ada hubungan?!”
Dadanya kembali panas, kepalanya berdenyut memikirkan kemungkinan besar yang bisa terjadi. Kemarahan lama bercampur dengan rasa tersinggung dan cemburu yang membabi buta membuatnya seperti orang yang kehilangan kewarasannya.
“Kalau benar kayak gitu,” gumamnya matanya menyipit.
“Kalau Citra berani melibatkan laki-laki lain dalam hidupnya,” Suara Ardian berubah menjadi desis penuh kebencian.
“Aku bakal bikin hidup dia lebih sengsara dari sebelumnya. Lebih hancur dan menderita. Dia pikir bisa lepas dari aku begitu aja?” geramnya.
Ia menghela napasnya dengan berat, lalu menendang ban mobil sekali lagi sebagai penegasan kalau saat ini dia sedang tak baik-baik saja.
“Apapun yang terjadi perempuan itu bakal menyesal pernah melawanku dan aku berjanji akan buat dia sadar kalau hidupnya tak boleh bahagia melebihi dari kehidupan kami.” tekadnya Ardian yang diselimuti api egois dan kemarahan.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.