Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Ujian Pertama sang Naga
"Aku tidak tahu siapa yang memerintahkan kalian," ucap Zilong sambil mengambil kuda-kuda rendah. Tubuhnya rileks, namun matanya mengunci setiap pergerakan lawan. "Tapi aku sadar, langkahku akan dipenuhi kerikil tajam karena kebencian orang-orang seperti kalian."
Zilong mengangkat Tombak Naga Langitnya, ujung mata tombaknya yang perak berkilau dingin menunjuk tepat ke arah ketiga pria itu. "Serang aku bersamaan! Aku tidak punya waktu untuk meladeni kalian satu per satu."
"Sombong sekali bocah ini! Habisi dia!" teriak pemimpin mereka.
Ketiganya merangsek maju dari tiga arah berbeda, mencoba mengurung Zilong. Namun, Zilong tetap bergeming bak batu karang. Saat pedang mereka hampir menyentuh pakaiannya, Zilong bergeser dengan gerakan seringan bulu.
Dengan satu putaran cepat dan tiga tusukan yang nyaris tak terlihat oleh mata awam, ujung tombaknya menembus titik vital mereka secara akurat. Ketiga pria itu ambruk seketika, nyawa mereka melayang sebelum tubuh mereka menyentuh tanah.
Zilong berdiri tegak, memunggungi jasad mereka. "Guruku mengajarkanku untuk rendah hati, bukan rendah diri. Dan setahuku, dia tidak pernah berpesan agar aku membiarkan diriku dihina. Selamat tinggal."
Ia menyarungkan kembali tombaknya ke punggung, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Perjalanan ini memang akan menjadi ujian besar bagi sang pendekar tombak terakhir. Zilong menyusuri jalan setapak, membiarkan matanya dimanjakan oleh pemandangan hutan yang rindang dan asri. Suara kicau burung bersahutan dengan tupai-tupai yang melompat di dahan pohon.
"Sudah lama sekali aku tidak turun gunung," gumam Zilong dengan senyum tipis. "Alam selalu tahu cara menenangkan hati."
Namun, ketenangan itu hanya bertahan sekejap. Sebuah jeritan melengking membelah kesunyian hutan.
"AAAAA! TOLONG!"
Zilong menghentikan langkahnya. Ia tidak panik, melainkan mempercepat gerakannya dengan tenang menuju sumber suara. Di sebuah celah hutan, pemandangan muak tersaji di depan matanya. Tiga pria dengan wajah bengis tengah mengepung seorang wanita muda yang tampak ketakutan.
"Apa yang kalian lakukan?" suara Zilong menggelegar, dingin dan penuh penekanan. "Berani sekali kalian mengotori tanah yang suci ini dengan kebejatan!"
Ketiga pria itu menoleh. Saat melihat senjata di punggung Zilong, wajah mereka berubah dari nafsu menjadi kebencian. "Tombak?! Bunuh keturunan pengkhianat itu!"
Mereka meremehkan Zilong, menghunus golok besar dan berlari penuh amarah. Zilong mundur satu langkah, menarik tangan kanannya jauh ke belakang untuk mengumpulkan tenaga.
SRAKK!
Dalam satu hentakan ledakan tenaga, tombak itu meluncur maju. Tusukan kuat itu menembus jantung salah satu penyerang hingga tewas di tempat. Dua orang lainnya tersentak, langkah mereka terhenti seketika.
"D-dia kuat... Bagaimana ini?" bisik salah satu dari mereka, tangannya gemetar memegang golok.
"Jangan takut! Dia hanya sendiri, kita menang jumlah!" balas temannya, mencoba memaksakan keberanian yang sudah runtuh.
Zilong hanya diam, menunggu mereka mendekat. Saat keduanya nekat merangsek maju, Zilong memutar tombaknya dengan teknik tingkat tinggi—menciptakan pertahanan sekaligus serangan balik dari depan dan belakang. Dengan satu gerakan sinkron yang sangat cepat, ujung tombaknya menembus dada kedua orang itu sekaligus dalam satu jalur tusukan.
"Sampah memang harus dibersihkan dari dunia ini." ucap Zilong datar. Ia mengibaskan darah dari mata tombaknya sebelum menyimpannya kembali.
Zilong berbalik untuk memastikan keadaan wanita itu. Namun, belum sempat ia bertanya, sang wanita muda itu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Tuan..." suara wanita itu bergetar, namun bukan karena takut "Sebagai imbalan atas nyawa saya... maukah Anda menikahi saya?"
Zilong tertegun. Di tengah hutan yang sunyi, permintaan itu terasa lebih mengejutkan daripada serangan tiga penyamun(perampok) tadi.