NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:475
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah Baru

Selesai mandi dan sarapan, Cantika sudah bersiap. Celana jeans panjang dan kaos lusuh melekat di tubuhnya. Meski sederhana, pesona kecantikan alaminya tetap terpancar.

“Bu, aku pamit dulu lihat-lihat rumah baru, mudah-mudahan cocok,” ucap Cantika sambil meraih tas kecilnya.

“Iyah, hati-hati, Nak,” jawab sang ibu lembut.

Cantika tersenyum lalu melangkah keluar. Ia tak begitu khawatir meninggalkan ibunya di rumah sakit, sebab di ruangan itu ada beberapa pasien lain yang bisa saling menjaga. Lagi pula, biaya BPJS membuat perawatan sang ibu bisa tetap berjalan.

Tak berapa lama, Cantika sudah tiba di apartemen Jesika. Ia menekan bel, dan pintu pun terbuka. Jesika muncul dengan balutan dress mahal yang terlihat elegan, kontras dengan penampilan Cantika.

“Tika, kamu nggak beli baju baru?” tanya Jesika prihatin, matanya meneliti jeans pudar dan kaos sederhana sahabatnya.

Cantika menggeleng, tersenyum canggung. “Aku belum sempat, Jes. Uang yang ada masih harus buat biaya sehari-hari dan rumah sakit.”

Jesika mengangguk penuh pengertian, lalu menepuk lembut bahu Cantika.

“Kamu anak yang baik, Tika. Selalu mementingkan ibumu daripada dirimu sendiri.”

Cantika tersenyum tipis. “Aku akan lakukan apa saja buat Ibu, Jes. Beliau satu-satunya orang tua yang aku punya sekarang.”

“Bagus. Yuk, kita berangkat. Pemilik rumahnya sudah nunggu,” ajak Jesika.

Karena sebelumnya Jesika sudah bertanya soal rumah itu lewat telepon, kali ini mereka hanya perlu meninjau. Jika cocok, bisa langsung ditempati. Kalau tidak, mereka siap mencari pilihan lain.

Mobil Jesika berhenti di depan sebuah rumah baru bergaya minimalis. Cat dindingnya masih bersih, kombinasi putih dan abu-abu yang tampak modern. Halamannya tidak luas, hanya cukup untuk menaruh motor dan beberapa pot bunga kecil. Meski sederhana, rumah itu terlihat nyaman untuk ditinggali.

Cantika menatap kagum. “Rumahnya masih baru, ya, Jes. Aku suka modelnya.”

Jesika mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Tika. Minimalis tapi rapi. Pas banget buat kamu sama Ibu.”

Seorang pria paruh baya dengan kemeja rapi keluar menyambut mereka. “Selamat siang, Mbak Jesika, Mbak Cantika. Silakan masuk, rumahnya bisa langsung dilihat-lihat.”

Begitu masuk, mereka disambut ruang tamu yang terang karena jendela besar di depannya. Lantai keramik putih masih mengilap, dan aroma cat baru masih samar tercium. Rumah itu terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu yang menyatu dengan dapur, serta halaman belakang kecil.

Cantika berjalan pelan sambil menyusuri ruangan. Ia menatap kamar yang nantinya bisa ditempati ibunya, lalu menoleh ke halaman belakang. Hatinya berdesir. Sederhana, tapi hangat. Cocok untuk memulai hidup baru.

“Bagaimana, Mbak?” tanya pemilik rumah dengan ramah.

Cantika menoleh, lalu melirik Jesika. “Saya suka rumahnya, Pak. Tapi… soal pembayaran bagaimana ya?”

Pria itu tersenyum. “Karena rumah ini baru, saya bisa kasih dua pilihan. Dibayar langsung, atau bisa dicicil per bulan. Tentu saja ada uang muka dulu.”

Jesika langsung menepuk bahu Cantika. “Kan aku udah bilang, Tika. Ini kesempatan bagus. Rumah baru, bisa dicicil pula.”

Cantika menggigit bibirnya. Ada rasa lega karena cicilan memberi harapan, tapi juga ada rasa cemas memikirkan kemampuan keuangan mereka. Ia lalu menatap pemilik rumah, mencoba memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut.

Pemilik rumah itu lalu menjelaskan dengan sabar.

“Kalau dibayar kontan, harganya tentu lebih murah. Tapi kalau dicicil, uang muka sekitar tiga puluh juta, lalu sisanya dicicil dua juta per bulan selama beberapa tahun. Itu sudah termasuk perawatan awal dan sertifikat rumah.”

Cantika langsung tercekat. Uang muka sebesar itu jelas jauh dari jangkauannya. Sementara biaya rumah sakit ibunya saja sudah cukup menguras tabungan. Ia menunduk, jemarinya meremas tali tas kecil yang digenggamnya.

Jesika melirik sahabatnya yang terlihat cemas. “Tika, jangan khawatir dulu. Cicilannya kan dua juta per bulan, itu masih bisa diusahain. Kalau uang mukanya, tenang aja… aku bisa bantuin kamu dulu. Anggap aja pinjaman. Kamu balikin pelan-pelan.”

Cantika menoleh dengan mata berkaca. “Jes… aku nggak enak kalau harus nyusahin kamu terus. Selama ini aja aku banyak terbantu sama kamu.”

Jesika tersenyum, menepuk pundaknya dengan lembut. “Sahabat itu saling bantu, Tika. Lagi pula aku tahu kamu pasti serius mau punya rumah buat Ibu. Itu yang paling penting.”

Pemilik rumah itu mengangguk kecil, melihat kedekatan keduanya. “Kalau memang serius, saya bisa kasih waktu seminggu untuk pikir-pikir. Rumah ini belum ada yang ambil, jadi bisa dipertimbangkan dulu.”

Cantika menarik napas panjang. Matanya kembali menyapu seluruh ruangan, tembok bersih, kamar sederhana, cahaya yang masuk begitu hangat.

“ Saya langsung bayar uang mukanya, Pak,” ucap Jesika tiba-tiba, tanpa memberi kesempatan Cantika berpikir lebih lama.

Cantika menoleh kaget. “Jes, tu—”

“Udah, biarin,” potong Jesika cepat, suaranya tegas tapi hangat. “Aku tahu kamu suka rumah ini, Tika. Dan kita nggak punya banyak waktu lagi. Kamu bilang sendiri kan, hari ini Ibu pulang dari rumah sakit.”

Cantika terdiam, matanya mulai berkaca. Ia tahu Jesika benar—kalau diberi waktu terlalu lama, dirinya hanya akan terus menimbang dan berakhir melepas kesempatan.

Tak lama, transaksi pun selesai. pak wahyu menyebutkan deretan angka rekening, lalu jesika melakukan transfer dengan wajah lega.

“Terima kasih, Mbak Jesika, Mbak Cantika. Mudah-mudahan ibunya betah di rumah baru ini,” ucap Pak Wahyu sambil menyerahkan kunci yang masih berkilau. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi saya.”

Keduanya mengangguk dan tersenyum ramah. Setelah Pak Wahyu pamit, tinggal mereka berdua yang berdiri di ruang tamu kosong itu.

Cantika menggenggam kunci erat-erat. Suaranya bergetar ketika berkata, “Jes… aku bener-bener nggak tahu harus balas kebaikan kamu gimana.”

Jesika tersenyum, menepuk bahunya. “Balasnya gampang, Tika. Lihat ibumu bahagia di rumah ini, itu sudah cukup buat aku.”

Cantika terisak pelan, lalu memeluk sahabatnya dengan penuh rasa syukur.

“Terima kasih, Jes. Aku janji, aku akan berusaha sekuat tenaga balikin semuanya.”

Jesika membalas pelukan itu erat. “Kamu nggak sendirian, Tika. Mulai sekarang, rumah ini langkah awal hidup baru kamu dan Ibu.”

Cantika segera menurunkan dua tas berisi baju-baju usangnya bersama sang ibu dari mobil. Ia membawa tas itu masuk, langsung menaruhnya di kamar kecil di sisi kiri rumah. Malam ini, rumah baru itu resmi menjadi tempat tinggal mereka. Meski masih kosong, ada rasa hangat yang tak bisa digambarkan.

“Jes, aku boleh minta tolong? Antar aku beli kasur, ya. Soalnya rumah ini kosong banget, nggak ada apa-apa. Aku nggak mau Ibu kedinginan kalau harus tidur di lantai.”

Jesika tersenyum, “Ah, gampang itu. Aku bisa hubungi toko, nanti langsung dianter ke sini. Kamu mau kasur yang gimana?”

Cantika menggeleng pelan. “Yang mana aja deh, Jes. Yang penting nyaman. Jangan terlalu mahal.”

Jesika membuka ponselnya, matanya sibuk menelusuri katalog online. “Aku pilih yang harganya dua juta, kualitasnya bagus dan empuk. Nggak terlalu tipis juga, cocok buat Ibu kamu.”

“Oke, Jes.” Cantika langsung merogoh tas lusuhnya, mengeluarkan dompet, lalu menyerahkan uang tunai dua juta ke tangan sahabatnya.

“Ini, Jes.”

Jesika terkekeh kecil, menatap uang itu. “Wih, sekarang udah ada uang nih,” godanya.

Cantika tersenyum tipis. “Nggak terlalu banyak, Jes. Tapi cukup buat beli kasur. Sisanya tinggal tiga juta lagi… aku mau pakai buat lunasin SPP di kampus. Aku pengen bisa kuliah lagi.”

Mata Jesika berbinar. Ia tahu betapa besar mimpi sahabatnya yang sempat tertunda.

“Awal yang bagus, Tika. Aku yakin banget, ke depannya hidup kamu akan jauh lebih baik.”

Cantika hanya tersenyum tipis. Dua hari terakhir ini hidupnya memang terasa sedikit lebih baik, ada rumah baru untuk berteduh walaupun harus di cicil, ada kasur empuk untuk ibu, bahkan ia bisa melunasi SPP yang lama tertunda.

Namun, di balik senyumnya, hatinya bergetar. Ia tahu, semua itu bisa terwujud karena pekerjaan yang harus ia ambil… pekerjaan yang salah. Pekerjaan yang membuatnya selalu merasa berdosa setiap kali mengingat wajah ibunya.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!