Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Cahaya lampu ruang rawat yang lembut perlahan menyapa kelopak mata Amira.
Tubuhnya terasa ringan, tapi kepala masih berdenyut pelan.
Ia berusaha membuka matanya, pandangannya sempat buram sebelum akhirnya sosok yang begitu ia kenal tampak di sisi ranjang.
“B-bas…” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Sebastian yang sejak tadi duduk di kursi, kepala bersandar di tepi ranjang, segera menegakkan tubuhnya.
Ia menggenggam tangan istrinya dengan cepat.
“Ssshhh, jangan bicara dulu, sayang. Istirahat saja dulu, ya,” ucapnya lembut, matanya berkaca-kaca.
Amira hanya mengangguk kecil, senyum tipis terlukis di bibir pucatnya.
Ia menggenggam balik tangan Sebastian, merasakan hangat yang begitu familiar.
Sebastian segera menekan tombol pemanggil dokter.
Tak lama, dokter dan dua perawat masuk ke ruangan dengan langkah cepat.
“Dok, istri saya sudah sadar,” ucap Sebastian sambil menatap penuh harap.
“Baik, mari kita periksa dulu kondisinya,” kata dokter dengan nada tenang.
Sebastian berdiri di samping tempat tidur, memperhatikan setiap gerakan dokter.
Ia berusaha tetap tegar, namun wajahnya tampak sangat pucat, matanya sayu akibat kehilangan darah saat donor beberapa jam sebelumnya.
“Bas, wajahmu pucat sekali…” ucapnya lirih.
“Aku tidak apa-apa, yang penting kamu selamat, Mira…”
Belum sempat Amira menjawab, tubuh Sebastian tiba-tiba goyah. Matanya berkunang, dan dalam sekejap.
“Brugh!”
Tubuh Sebastian jatuh ke lantai, membuat semua orang di ruangan itu terkejut.
“Sebastian!!” teriak Amira panik, mencoba bangun meski tubuhnya masih lemah.
“Cepat! Bantu dia ke tempat tidur sebelah!” seru dokter pada perawat.
Dua perawat langsung mengangkat tubuh Sebastian dan membaringkannya di ranjang kosong di sebelah Amira.
“Dia kehilangan banyak darah, sepertinya belum sepenuhnya pulih setelah donor,” jelas dokter dengan nada serius sambil memeriksa tekanan darah Sebastian.
Air mata Amira menetes deras. Ia menggenggam ujung selimut, menatap suaminya yang kini tak sadarkan diri di sebelahnya.
“Bahkan saat kamu terluka, kamu tetap menyelamatkanku, Bas…” bisiknya pelan, suaranya bergetar di antara tangis dan rasa syukur yang dalam.
Dokter dengan sigap memeriksa keadaan Sebastian yang masih tak sadarkan diri.
Tekanan darahnya menurun, wajahnya tampak sangat pucat.
“Cepat pasang infusnya,” ucap dokter tegas.
Seorang perawat segera menyiapkan peralatan, menusukkan jarum infus perlahan ke pergelangan tangan Sebastian.
Cairan bening mulai menetes pelan melalui selang, mengalir masuk ke tubuhnya.
Amira yang berbaring di ranjang sebelah hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca.
Tangannya gemetar, menggenggam erat ujung selimut.
“Dok, suami saya. Dia baik-baik saja, kan?” tanyanya dengan suara bergetar.
Dokter menoleh, memberikan senyum tipis yang menenangkan.
“Tenang, Nyonya Amira. Kondisinya stabil, hanya kelelahan berat dan kehilangan banyak darah. Setelah infus dan istirahat cukup, dia akan sadar kembali.”
Amira mengangguk pelan, namun air matanya tetap jatuh tanpa bisa ia tahan.
Ia memandang wajah Sebastian yang tertidur lemah, selang infus terpasang di tangannya.
“Bas, kenapa kamu selalu memaksakan diri demi aku…” bisiknya lirih sambil mengusap tangan suaminya yang dingin.
Ia menunduk, mencium punggung tangan Sebastian dengan lembut.
“Aku janji, mulai sekarang aku akan lebih kuat dan aku nggak mau kamu terluka lagi karenaku…”
Pintu ruang perawatan perlahan terbuka, suara langkah kaki terdengar mendekat.
Amira menoleh pelan, matanya masih sembab karena menangis.
“Amira…” suara lembut itu membuatnya langsung mengenali.
Casandra berjalan masuk dengan wajah cemas, diikuti oleh dua sosok yang sudah lama tak ia lihat Pak Herman dan Bu Endah, orang tuanya.
Begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit, Bu Endah langsung menutup mulutnya menahan tangis.
“Ya Allah, Amira…” ujarnya lirih sambil bergegas mendekat.
Amira menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.
“Bapak, Ibu." suaranya bergetar, lalu air matanya jatuh begitu saja.
Pak Herman menggenggam tangan putrinya dengan lembut.
“Nak, Bapak.di sini. Kamu sudah aman sekarang, ya?” ucap Pak Herman.
Casandra menatap mereka dengan mata lembut, lalu menghampiri ranjang Sebastian yang masih terbaring di sisi lain.
“Sebastian memberikan darahnya untukmu, Mira. Dia sangat cemas waktu kamu tidak sadar.”
Amira menoleh ke arah suaminya, melihat wajah Sebastian yang masih pucat dengan selang infus menempel di tangan.
Tangannya terulur pelan, menyentuh punggung tangan pria itu.
“Dia selalu melindungiku, Ma. Bahkan saat tubuhnya sendiri lemah,” bisiknya lirih.
Bu Endah menatap Sebastian, air matanya jatuh lagi.
“Anak baik dia benar-benar suami yang luar biasa,” ucapnya dengan suara bergetar.
Casandra menarik napas panjang, menatap Pak Herman dan Bu Endah.
“Sebastian tidak akan tenang sampai Amira benar-benar pulih. Dia bahkan belum makan sejak tadi malam.”
Pak Herman mengangguk pelan, menatap Sebastian dengan penuh rasa hormat.
“Kalau bukan karena dia, mungkin kami sudah kehilangan Amira lagi.”
Amira terisak pelan, lalu menatap Casandra dan kedua orang tuanya.
“Aku ingin semuanya berakhir, Ma. Aku ingin hidup tenang dengan Bas.”
Casandra tersenyum lembut, lalu mengelus rambut Amira.
“Itu yang paling penting, sayang. Sekarang fokuslah sembuh. Semua masalah di luar biar Sebastian dan keluarga yang urus.”
Suasana kamar dipenuhi kehangatan dan rasa syukur.
Meski Sebastian masih belum sadar, kehadiran keluarga di sekitar Amira membuat beban yang menyesakkan dadanya perlahan menguap.
Ia menggenggam tangan suaminya lebih erat, berbisik pelan.
"Bas, aku dikelilingi orang-orang yang sayang padaku. Tapi yang paling aku butuhkan tetap kamu"
Amira menatap Sebastian yang masih terbaring lemah di ranjang sebelahnya.
Hatinya bergetar, ada perasaan rindu dan takut kehilangan yang tak bisa ia tahan lagi.
Perlahan, dengan tubuh yang masih lemah, ia menurunkan kakinya dari ranjang.
“Amira, hati-hati, Nak,” ucap Bu Endah dengan suara lembut, tapi Amira hanya menatap suaminya tanpa berkata apa-apa.
Ia berjalan pelan ke arah ranjang Sebastian.
Selang infus di tangannya masih menempel, membuat gerakannya harus sangat hati-hati.
Pak Herman segera berdiri, menahan napas saat melihat putrinya berusaha naik ke ranjang Sebastian.
“Sebentar, Nak. Bapak bantu,” ucap Pak Herman seraya memegang selang infus agar tidak terlepas.
Amira tersenyum kecil, lalu berbaring perlahan di samping Sebastian.
Ia menempelkan tubuhnya ke dada bidang suaminya, mendengar detak jantung yang tenang detak yang menenangkan seluruh hatinya.
Casandra dan Bu Endah saling pandang, air mata mereka menetes tanpa bisa ditahan. Suasana ruangan berubah hangat dan haru.
Pak Herman membetulkan posisi selang infus di tangan Amira agar tidak tertekuk.
“Sudah, istirahatlah. Papa jaga kalian berdua di sini,” ucapnya pelan.
Amira memejamkan matanya, menyandarkan kepala di dada Sebastian.
“Bas…” bisiknya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
“Jangan pergi lagi, ya. Aku ingin seperti ini terus…”
Sebastian masih belum membuka mata, tapi jemarinya bergerak pelan, seolah merespons sentuhan istrinya.
Amira tersenyum tipis sambil memeluknya lebih erat
up'ny yg bnyk thor🙏💪