Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTEMUAN AWAL
Lampu neon merah dan ungu berpendar di seantero ruang. Dentuman musik deep house membuat lantai club bergetar, sementara aroma parfum mahal bercampur wangi alkohol yang khas. Tawa, gelas berdesing, dan bisik-bisik percakapan memenuhi udara malam itu.
Di salah satu meja VIP dekat kaca besar, seorang wanita bergaun malam berkilau duduk bersandar. Rambutnya acak-acakan, bibirnya tersenyum setengah mabuk, dan di tangannya secangkir wine hampir kosong. Dia adalah Seraphina Luna, putri tunggal keluarga terpandang yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.
“Gue mau pulang…” suaranya lirih, namun cukup lantang sehingga teman-temannya tersenyum dan saling bertukar pandang.
Salah satu dari mereka tertawa ringan. “Santai, Sera. Kita tungguin lo sampai…”
Sera memotong dengan nada manja, “I don’t care. Gue mau pulang sekarang. Lo ngerti nggak?” sambil meraih tasnya. Ia sedikit limbung berdiri, lalu tertawa lirih.
Di meja sebelah, seorang lelaki muda berjas hitam rapi memperhatikan dari kejauhan. Dia duduk dengan tenang, setelan jasnya membuatnya tampak seperti bayangan misterius di tengah hingar bingar club. Temannya, yang duduk di seberangnya, berbisik sesuatu. Ia menunjuk ke arah Sera.
“Lo tahu dia?” tanya temannya dengan suara tenang.
pria itu menggeleng pelan. Di bahkan kini balas menatap temannya." Lo kenal ?
Temannya hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “ Yah, siapa yang gak kenal sama Seraphina Luna. Supermodel terkenal. Putri ketua partai besar. Lo nggak akan nyangka kalau dia ada di sini sendirian.”
kalleandra , pria itu menatap Sera diam-diam, lalu mengalihkan pandangan. Ia bukan tipe yang tertarik pada gosip, tapi ada sesuatu dalam aura wanita itu yang membuatnya penasaran. selain itu wajah si wanita terasa familiar untuk dia.
Beberapa menit kemudian, suasana di meja Sera berubah. Ia terhuyung saat berdiri, hampir jatuh, namun seorang lelaki berjas hitam sigap menangkap lengannya.
“Kamu baik-baik saja ?” suara itu rendah tapi sopan.
Sera menatapnya dengan setengah mata, setengah mengantuk. “Who… you? You mau bawa gue pulang?” ujarnya sambil tersenyum manja.
Lelaki itu mengangguk pelan. “Kalau kamu tidak keberatan, saya bisa membantu.”
Rupanya Bimo, temannya maju mendekat kearah meja dimana wanita itu dan teman-temannya berada.
" Kalau gitu antar aku pulang ?"
" Wait, kamu kenal Sera ?" salah satu teman dari Sera menahan langkah Bimo." kalau gak aku bisa telepon asistennya."
" No, gak usah. Jangan hubungi Si pria tulang lunak itu apalagi Sira. gue mau balik sendiri." tegas Sera menolak dengan nada tinggi meski tubuhnya limbung.
"Lo antar dia, Al."
Tiba-tiba saja Bimo malah menarik tangannya. Mendorong tubuhnya untuk mendekat kearah Sera.
"Kok gue ?" Kalle jelas kebingungan.
" Udah Lo aja, searah kan kayanya sama rumah Sera." timpal Bimo enteng.
"Loh, mana gue tahu. Rumah cewek ini dimana."
“Dokter?” Sera tertawa pelan. “Gue nggak sakit… gue cuma butuh tempat tidur.”
Dia menoleh sekali lagi, matanya menatapnya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Penampilan Sera nampak mengenaskan dengan mata merahnya.Tanpa bicara lebih banyak, ia membantu Sera berdiri tegak lalu memimpin langkahnya keluar dari keramaian club.
"Sial, kalian punya hutang sama gue."
gerutuan kalle terdengar oleh dua temannya yang hanya membalas dengan senyuman nakal.
Diam-diam tanpa mereka sadari ada kamera merekam semua momen. Momen yang nantinya akan menjungkirbalikkan hidup mereka berdua.
##############
pelan Kalle membuka pintu mobil dengan gerakan tenang. Sera, walau sedikit limbung, masuk dengan gaya dramatis seperti model yang sedang melenggang di runway. Ia meletakkan tasnya di kursi penumpang, lalu menarik napas panjang.
“Lo bawa gue kemana?” tanya Sera sambil menatapnya setengah tertawa, suara masih sedikit serak karena alkohol.
“Kasih tahu rumahmu di mana ?,” jawab Kalleandra, tetap dengan nada sopan. Ia menutup pintu, lalu memutar kunci mobil. Mesin mobil menyala, dan aroma interior mobil yang wangi bercampur dengan bau alkohol dan parfum Sera.
"Rumah ? no, aku gak mau pulang ke rumah ? bawa aku ke apartemen kamu saja gimana ? Please."
tangan Sera yang mencekal lengan kalle pun di hempaskan begitu saja.
Gila, yang benar aja dia ikut ke apartemen ? bisa rame nanti.
laju mobil di buat setenang mungkin. sebab kalle tak ingin membuat Sera merasa tak nyaman.
Sera tertawa pelan, lalu mencondongkan kepalanya ke kaca jendela. Lampu kota berkelebat di luar, menciptakan siluet yang dramatis. Ia mulai bicara setengah lirih.
“You tahu nggak? Gue nggak suka kalau malam gue diacak-acak kayak gini.”
Kalleandra tetap diam, hanya sesekali meliriknya di kaca spion. Ada ketegangan aneh di antara mereka. Chemistry yang belum mereka sadari mulai terbentuk.
Setelah beberapa menit, Sera mengalihkan pembicaraan. “Lo dokter, ya? Gue nggak pernah kepikiran dokter bakal nganter cewek mabuk pulang malam-malam.” Dia tersenyum nakal. “Lo kayak pahlawan film romantis.”
Kalleandra tersenyum tipis. “Saya hanya membantu. Lagi tahu dari mana kalau aku ini Dokter ?"
Sera dengan santai maju mendekat ke arah kalle yang tengah menyetir tenang. Pria itu terkejut dengan sikap asal si wanita.
" Tubuh kamu bau obat soalnya." hidung Sera mengendus lengan Kalle.
Sera tertawa lirih, lalu memandangnya serius walau setengah mabuk. “You ngerti nggak, dokter? Gue nggak suka lo diam-diam gitu.”
Kalleandra hanya mengangguk pelan. Dia tahu, Sera mencoba membuatnya membuka percakapan, tapi ia memilih tetap tenang.
Tak lama, Sera meminta mobil berhenti.
“Stop… gue mau turun di apartemen gue aja.”
Kalleandra menggeleng. “Saya tidak tahu alamatmu.”
“Yaudah… lo ikut gue!” Sera memaksa sambil tersenyum penuh tantangan. “Nanti gue kasih lo tahu.”
Kalleandra diam, tapi akhirnya memutar arah mobil. Di sela-sela perjalanan, lampu kamera paparazzi mulai berkedip-kedip. Sera memperhatikan dari kaca jendela.
“You see that? Lo ngerti nggak… ini bakal jadi berita besar, dokter misterius.” Dia tersenyum nakal sambil memandangnya.
Kalleandra tetap diam, pandangannya fokus ke jalan. Dari tadi Sera meracau soal berita besar dan kamera paparazi yang dia tidak paham sama sekali. Dalam diam itu, suasana mobil terasa penuh arti, penuh ketegangan yang belum terucapkan.
################
Malam makin larut ketika mobil Kalle berhenti di depan bangunan apartemen kecil bergaya minimalis.
Sera yang sejak tadi setengah terlelap langsung membuka mata begitu mobil berhenti.
“Ini bukan apartemen gue,” gumamnya setengah kesal.
Kalle mematikan mesin dan menoleh pelan. “Aku tahu. Aku cuma… nggak tahu alamat kamu, Sera. Jadi aku bawa kamu ke tempatku aja dulu. Aman, nggak jauh dari rumah sakit.”
“Tempat lo?” alis Sera naik setengah senti.
“Lo pikir gue bakal nginep di rumah cowok yang baru gue temuin?”
Nada suaranya menantang, tapi tubuhnya masih setengah goyah. Alkohol di sistemnya jelas belum sepenuhnya pergi.
Kalle menarik napas pelan. “Aku cuma mau kamu istirahat. Kamu nggak harus nginep, tapi kamu juga nggak bisa jalan pulang dalam keadaan kayak gini.”
Sera menatapnya lama. Ada sedikit gengsi, tapi juga rasa lelah yang menekan.
Akhirnya dia melepas seatbelt dan bersuara pelan, “Fine. Tapi kalau lo macem-macem, besok nama lo nongol di semua headline gosip negeri ini.”
“Percaya deh, aku lebih takut kehilangan lisensi dokter daripada headline gosip,” jawab Kalle datar.
Sera mendengus geli. “Lucu juga lo.”
Mereka masuk ke apartemen. Ruangannya bersih, simpel, terlalu normal buat seseorang sekelas Sera yang biasa hidup di penthouse kaca dengan view kota. Bau peppermint samar dari diffuser di pojok ruangan membuat suasana anehnya tenang.
“Lo rapi banget,” komentar Sera sambil menatap sekeliling. “Rumah lo kayak nggak ada kehidupan.”
“Aku sering di rumah sakit,” balas Kalle. "Hidupku kayak pasien: teratur, tapi nggak santai.”
Sera nyengir. “Kayak pasien? You need therapy, doc.”
Kalle hanya menatapnya tanpa ekspresi. “Kamu butuh air putih. Banyak.”
Sera tertawa lirih, lalu berjalan ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya. “You’re such a mood killer.”
Ia menatap langit-langit, lalu memejamkan mata sebentar. Kalle menatapnya lama—ada sesuatu di perempuan itu. Cantik, iya. Tapi juga… rumit. Kayak orang yang berusaha menutup luka pakai glitter.
“Kalau kamu butuh mandi, kamar mandinya di kanan,” ujar Kalle pelan.
Sera mengangkat tangan tanpa membuka mata. “Nggak usah. Gue cuma mau tidur lima menit. Jangan ganggu.”
Kalle menghela napas, mengambil selimut tipis, dan menutupinya pelan. Ada momen sunyi di sana—aneh tapi damai.
Beberapa detik kemudian, kilatan cahaya di luar jendela membuat Kalle menoleh. Lampu kamera. Paparazzi.
Sial.
Dia buru-buru menutup gorden, tapi terlambat. Beberapa kamera sudah sempat memotret. Ia tahu… besok pagi, foto itu bakal jadi bahan gosip nasional.
Pagi harinya, matahari baru muncul ketika Kalle akhirnya tiba di rumah lamanya—tempat orang tuanya tinggal. Ia belum tidur semalaman.
Sera sudah ia antarkan pulang subuh-subuh, masih setengah sadar, ke rumahnya di kawasan elite. Dan tentu saja, para jurnalis sudah menunggu di luar pagar.
Sekarang, ia berdiri di depan pintu kamarnya sendiri, membuka dasi dengan wajah lelah.
Suara bentakan kecil terdengar dari kamar sebelah.
“Nadira ! Kamu pikir jam berapa ini?!”
Kalle menoleh. Itu suara ayahnya. Lagi-lagi adiknya kena marah.
Dia mengetuk pintu kamar adiknya pelan. Tidak ada jawaban. Saat ia buka pintu, suasana kamar itu kontras banget dengan kamarnya yang polos.
Dinding penuh poster majalah mode. Rak-rak kecil dipenuhi foto model ternama.
Dan di tengah semuanya—majalah edisi terbaru terpampang di atas meja rias.
Wajah Seraphina Luna terpampang di sana.
Tatapan dingin. Bibir merah. Gaun putih yang elegan.
Tagline besar di sampul depan: “Seraphina Luna— The Untouchable Goddess of Fashion.”
Kalle terdiam lama.
Lalu tersenyum kecil.
“Jadi ini idola kamu, Dek. pantas semalam aku kaya gak asing sama wajahnya. Dia memang "Seraphina Luna."
bayangan kilas balik malam dimana dia memandang wajah itu beberapa detik. Perempuan yang semalam tertidur di sofanya, dengan make-up setengah luntur dan cara bicara seenaknya.
Supermodel yang disembah banyak orang.
Dan ternyata, sekarang entah kenapa, nasib mereka sudah terikat.
Ia memejamkan mata sebentar, lalu tertawa pelan.
“Lucu juga hidup,” gumamnya. “Satu malam, dan dunia bisa jungkir balik.”