“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. UNIT APARTEMEN SEBERANG
Renzo keluar dengan langkah pelan. Yuda sudah berdiri di dekat sajadah, mengenakan kaos putih bersih dan sarung. Nadhifa berdiri di belakang, membentangkan mukena sambil tersenyum ke arahnya.
Sajadah itu terasa lebih sempit dari biasanya. Tapi bagi Renzo, juga terasa lebih luas karena ada makmum lain yang akan sujud bersamanya hari ini.
Ia menjadi imam.
Takbiratul ihram terasa berat. Tapi saat alunan surah pendek keluar dari mulutnya, terdengar dua nafas mengikuti. Lembut dan tenang.
Sujud pertama mereka bertiga. Rasa hangat itu pelan-pelan naik dari lantai, dari pundak, dari tangan yang menekan permukaan sajadah.
Seusai salam, Renzo menutup mata. Dzikir ia lafalkan perlahan. Jari-jarinya berputar di atas tasbih kayu kecil pemberian Nadhifa saat mereka menikah. Renzo benar-benar sudah jadi sosok mualaf yang rajin beribadah.
“Allahu Akbar ... Alhamdulillah … Subhanallah…”
Setelah itu, Nadhifa mencium tangannya. Lalu Yuda mendekat.
“Terima kasih sudah jadi imam kami, Om,” ucap Yuda pelan.
Renzo menoleh. Yuda berdiri ragu, wajahnya seperti menahan sesuatu. Mungkin takut menyinggung. Mungkin karena Nadhifa pernah bilang ia belum siap dipanggil ‘Ayah’.
Renzo mengangguk sekali. “Panggil Ayah aja.”
Mata Yuda membesar pelan. Senyum Nadhifa mengembang di sudut.
“Serius, Om?Eh—Ayah?”
Renzo mengangguk lagi. “Serius.”
Tapi jantungnya berdegup. Suara laki-laki itu, memanggilnya ‘Ayah’ seolah menusuk titik kosong di dalam dirinya.
Ia berdiri perlahan, melepas sarung. Langkahnya menjauh ke arah kamar. Nadhifa tahu, mungkin ia mengira Renzo akan lari lagi. Tapi kali ini ia hanya butuh sendiri, sejenak.
Di dalam kamar, Renzo menatap bayangannya di cermin. Wajahnya yang sudah matang, rahang yang mengeras karena memendam terlalu banyak emosi.
Anak itu bukan darahnya, tapi kini satu atap dengannya. Satu sajadah dengannya. Memanggilnya ‘Ayah’.
Dan Renzo, ia ingin belajar menjadi sosok itu. Pelan-pelan.
Mungkin tak sempurna. Tapi pasti, dan setulus-tulusnya.
...***...
Yuda keluar dari unit apartemen dengan muka masam. Pintu ia tutup agak keras, lebih karena kesal daripada terburu-buru. Ponsel di tangannya masih ngambek—layarnya stuck, terus nyala-mati sendiri sejak tadi pagi.
“Dasar hape ngeselin,” gerutunya, menyentuh tombol power tapi tak ada respons.
Belum sempat ia mencet ulang, suara pintu seberang yang terbuka, terdengar. Seseorang keluar. Laki-laki. Seumuran. Rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur, padahal jam sudah lewat jam satu siang. Tangannya memegang mangkok mie kering, mulutnya sibuk mengunyah.
Laki-laki itu berhenti, melirik Yuda dari ujung kaki sampai kepala. Matanya tajam, bukan karena marah, tapi memang seperti mata elang—serius. Gaya jalannya malas, tapi auranya seperti orang yang tahu semua rahasia hidup orang.
“Kamu anak Om itu, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.
Yuda sempat nge-freeze. “Om?”
“Renzo. Om gue.”
Refleks Yuda melirik ke arah pintu apartemennya. Oh. Bunda pernah cerita suaminya punya kakak sepupu, dan keluarganya tinggal juga di gedung ini. Pintu beda, lantai sama. Jadi ini?
“Eh, iya. Gue Yuda,” ujarnya setengah kaku.
Laki-laki itu menelan mie-nya, lalu menyodorkan tangan. “Arshen.”
Nama yang bagus. Dan entah kenapa cocok sama auranya.
Yuda menyambut tangannya. Dingin. Tegas. Pendek.
“Hape lo kenapa?” tanya Arshen tanpa ekspresi, matanya sudah melirik ke layar ponsel Yuda.
Yuda mengangkat benda itu. “Error. Nge-lag. Layarnya suka mati hidup sendiri. Baterai juga suka panas padahal nggak dipakai.”
Arshen menjentikkan lidah. “Masalah kernel. Ini model lawas, ‘kan? Tapi kayaknya ada bug dari update terakhir. Lo ada charger?”
Yuda mengerutkan kening. “Kenapa?”
Arshen nyengir tipis. “Ikut gue ke unit. Gue bantu cek. Ganti OS-nya kalau perlu.”
Yuda sempat ragu. Tapi mata Arshen itu bukan mata yang ngajak iseng. Lebih seperti, “kalau lo nolak, lo rugi.” Dan entah kenapa, aura laki-laki ini membuat penasaran.
“Lo bisa benerin?” tanyanya.
Dia nyengir lagi, lebih lebar kali ini. “IQ 160. Gue nggak cuma bisa benerin. Gue bisa bikin hape lo lebih pintar dari lo.”
Yuda ngakak. “Yakin tuh?”
“Udah banyak hape gue bikin kayak gitu.” Dia berbalik sambil jalan pelan ke pintu apartemennya. “Lo mau hape lo sembuh apa tetap nyumpahin teknologi?”
Yuda menyusul. “Oke, oke. Gue ikut.”
Dan tanpa sadar, siang Yuda yang tadinya kelabu karena ponsel rusak berubah jadi awal dari sesuatu yang baru. Dia punya teman.
Yuda duduk di kursi di unit apartemen Arshen, matanya tetap menatap layar ponsel yang error.
Arshen sibuk di meja kamarnya, tangan lincah mengetik dan menekan beberapa tombol.
Sambil menunggu, Yuda tak sengaja melirik-lihat ruangan.
Di dinding, ada beberapa foto yang paling menarik perhatian adalah foto pernikahan pria tampan dan wanita anggun. Wajah mereka terlihat hangat, bahagia, dan familiar.
“Itu Mama lo ya?” tanya Yuda santai, menunjuk foto itu.
Arshen tak berhenti menekan tombol. “Iya. Artis. Masih aktif di TV juga. Namanya Aluna Valtieri. Kalau Mama gue terkenal, otomatis gue ikut tenar juga, tapi gue cuek.”
Yuda menatap lebih saksama. “Tante Aluna, itu terkenal banget. Dan Papa lo? Dia milyader, ‘kan? Aku pernah baca artikel.”
Arshen menoleh sebentar, menatap Yuda dengan setengah mata, masih sibuk dengan ponsel. “Alaric Alverio. Iya, kaya. Tapi untungnya setia sama Mama gue.”
Yuda terkekeh pelan. “Wah, gila. Kaya, artis, terus orang tua setia. Bener-bener paket lengkap ya, Shen.”
Arshen tersenyum tipis, tapi kembali fokus.
Yuda lalu menatap foto lain, sedikit penasaran. “Lo punya saudara nggak?”
“Pengin punya adik perempuan,” jawab Arshen sambil tetap bekerja. “Kalau Tante Nadhifa punya anak, gue bisa jadi abangnya. Gue bakal jaga dia.”
Yuda mendengus. “Kalau itu terjadi, gue bakal jagain dia. Jangan sampai manusia macam lo ganggu dia. Gue serius loh, keliatan banget obsesi lo.”
Mata mereka bertemu sebentar. Arshen berhenti sebentar, menatap Yuda, lalu mengangkat alis. “Oke, hape lo udah gue benerin.”
Yuda tersenyum tipis, mengambil ponselnya. “Makasih, Shen. Dan kalau gue punya adik, kita rawat bareng-bareng, deh.”
Arshen tersenyum lagi, mata tajam tapi hangat. Yuda memegang ponselnya erat. Ponsel kesayangan yang dibelikan bundanya dengan uang hasil gajian pertama di Alvera Corp, waktu itu baru diangkat jadi CFO.
Yuda melangkah keluar dari unit Arshen, masih fokus sama ponselnya yang sekarang normal lagi. Tapi begitu kaki menyentuh koridor, matanya menangkap sesuatu.
Seekor kucing duduk di ujung lorong. Bulu kucing itu, entahlah, kusut, botak di beberapa bagian, dan tampak agak menyeramkan. Mata kuningnya menatap Yuda langsung.
Yuda menjerit kecil. “ASTAGA! ITU KUCING APA MONSTER?!”
Arshen mengangkat alis, menatap dengan ekspresi datar tapi sedikit geli. “Itu kucing, nggak usah takut.”
“Bukan kucing biasa!” Yuda hampir lompat mundur. “Pas bangun tidur waktu di kos, kucing tanpa bulu muncul tepat di mata gue … gue nggak mau mati hari ini!”
KUCING ITU LARI MENDEKAT!
Tanpa pikir panjang, Yuda spontan naik ke punggung Arshen. Ya, beneran, naik ke punggung Arshen seperti anak kecil digendong.
Arshen menahan nafas sebentar. “Eh … serius lo?”
“Serius! Jangan biarin dia nyerang gue! Gue takut!” Yuda menempel erat, tangan menggenggam bahu Arshen.
Arshen mendesah, tapi pelan-pelan mulai berjalan, menahan tawa. “Oke, sabar. Gue antar lo ke pintu. Santai, nggak ada yang bakal nyerang.”
Kucing itu tetap menatap, seolah tahu Yuda takut. Tapi Yuda tidak peduli. Kepalanya menempel di leher Arshen, kaki menggantung, dan suara gemetar terdengar pelan.
“Gila … kucing ini serem banget, Shen!”
Arshen nyengir, langkahnya mantap. “Lo nggak bakal mati. Cuma kucing.”
“Bukan cuma kucing! Itu … itu … kucing mutan!” Yuda menjerit pelan sambil menahan diri agar tidak jatuh.
Begitu sampai di pintu, Arshen menurunkan Yuda perlahan. Yuda melompat turun dengan nafas terengah, menatap kucing itu sekali lagi, dan akhirnya berlari masuk ke apartemen Renzo dengan wajah panik tapi senyum tipis karena selamat.
Arshen menutup pintunya, tersenyum tipis. “Bocah ini, kocak banget. Tapi lucu juga kalau takut sama kucing … yang jelas, gue nggak pernah liat orang naik punggung gue cuma karena kucing. Dih geli!”
Di balik pintu, Yuda menahan tawa sambil masih gemetar, tapi merasa hari ini penuh kejutan, kocak, dan absurd.