NovelToon NovelToon
Lewat Semesta

Lewat Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Fino sampai di rumah. Langkah kakinya pelan, nyaris tanpa suara saat melewati pintu utama yang setengah terbuka. Udara dingin menyergap begitu ia melangkah ke ruang tengah.

Suara berat dan dalam langsung memecah keheningan.

“Duduklah. Ada yang ingin Papah bicarakan.”

Fino menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Ia mengangguk perlahan, lalu berkata pelan,

“Aku juga, Pah...”

Mereka duduk saling berhadapan di meja makan yang kini terasa asing.

“Papah sudah pikirkan baik-baik,” Aidar membuka percakapan, suaranya dingin dan tegas.

“Kamu berhenti saja dari sekolah, dan pindah ke Amerika secepatnya.”

“Maaf, Pah… tapi aku nggak bisa.” Suaranya bergetar, tapi matanya tetap menatap ayahnya.

"Aku sudah memutuskan. Aku akan kembali memanah. Aku mau jadi atlet panah yang hebat.”

Kata-kata itu menampar udara. Sesaat hening, lalu suara meja ditepuk keras menggema di ruangan. Gelas di atasnya berguncang, hampir terjatuh.

“KAMU TIDAK MENDENGAR APA YANG PAPAH KATAKAN?” bentak Aidar. Suaranya menggelegar, memenuhi seluruh ruangan.

“Aku nggak minta Papah percaya… tapi aku akan buktikan,” balasnya pelan.

“Kamu tidak mengerti Fino, kamu tidak akan jadi apa-apa! Kamu akan gagal, dan kalau itu terjadi, kamu akan menyeret orang-orang di sekitarmu ikut jatuh. Kamu akan menyakiti mereka. Membunuh mereka… perlahan. Seperti yang sudah kamu lakukan pada—”

“Pah, cukup.”

Tapi Aidar tidak berhenti. Kata-kata berikutnya keluar seperti pisau yang menancap dalam-dalam.

“Kalau malam itu kamu nggak maksa Mama anterin ke tempat latihan panah, dia masih hidup sampai sekarang, Fino!”

Kalimat terakhir itu membuat suasana ruang tamu membeku. Aidar diam, tapi tatapan matanya tajam,

Fino mengangkat wajahnya perlahan, air mata menggenang di pelupuk.

“Aku waktu itu cuma anak kecil, Pah… aku nggak ngerti apa-apa. Aku cuma pengin Mama anterin aku latihan. Apa itu salahku?”

“Tapi Mama kamu meninggal gara-gara kecelakaan itu. Dan kecelakaan itu terjadi… karena kamu.”

“Pah...” suaranya lirih, pecah.

“Kenapa Papah terus menyalahkan aku? Kenapa Papah selalu menyebut aku pembawa sial?”

Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah.

“Pah… Aku ini anak Papah... Aku punya hati... dan hati ini… udah terlalu sering robek karena ucapan Papah sendiri.”

Aidar terdiam sementara Fino mulai berbalik, hendak pergi dari meja makan itu—dari ruangan yang tak pernah terasa hangat sejak kepergian sang Mama.

Tapi suara tajam Aidar kembali membekukan langkahnya.

“Berani kamu pergi, keluar dari rumah ini… kamu bukan lagi anakku.”

Udara di ruang tamu seolah membeku. Kalimat itu menampar Fino lebih keras daripada pukulan apa pun. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tanpa kata, ia kembali melangkah, naik ke lantai atas. Ia masuk ke kamar, mengemasi pakaian kedalam koper.

Lalu Fino turun kembali.

Ia berjalan melewati Aidar, tanpa sedikit pun menoleh. Lalu Fino keluar dari rumah itu, meninggalkan Aidar.

***

Hujan turun begitu deras malam itu. Fino tidak tahu ke mana harus pergi, ketika semua orang kini menganggapnya pembawa sial.

Ia duduk di bangku taman, membiarkan hujan membasahi tubuhnya.

"Lo ngapain di sini?"

Suara familiar itu membuatnya menoleh. Bagas berdiri di hadapannya, memegang payung, menatap dengan raut heran.

Tadi, niat Bagas hanya ingin membeli makan di warung depan. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok Fino yang basah kuyup di bawah hujan.

"Hey, lo budeg ya?" Nada kesalnya terselip di antara derasnya hujan. Saat Fino hanya diam.

"Lo baik-baik aja, kan?"

"Gua nggak apa-apa." Fino hendak beranjak jalan menarik kopernya.

“Fino,” panggil Bagas pelan. “Ke rumah gue aja.” Ucapnya, seolah sudah mengerti tanpa perlu banyak tanya.

Entah Fino memang mau, atau Bagas yang memaksanya, yang jelas kini Fino sudah duduk di kamar Bagas, mengenakan kaos kering yang sedikit kebesaran di tubuhnya.

“Lo udah makan?” tanya Bagas sambil mengganti bajunya sendiri.

Fino tetap diam. Fino yang seperti Fino—keras kepala dalam bisu.

Bagas menghela napas panjang, seolah berbicara dengan patung. “Ya sudah, ayo makan. Gue masak banyak mie.”

Tanpa kata setuju atau penolakan, Fino hanya mengikuti langkah Bagas menuju meja makan.

Bagas memperlakukan Fino seperti tamu penting—memberikan sendok, garpu, piring, lalu menyendokkan mie hangat untuknya.

“Lo ngapain di taman jam segini?” tanya Bagas akhirnya, memecah keheningan yang terasa berat.

Bukannya menjawab, Fino malah melontarkan pertanyaan lain. “Lo tinggal sendiri?”

“Iya, seperti yang lo lihat.”

“Orang tua lo?”

“Mereka di luar negeri.”

“Lo nggak ikut?”

“Ngapain. Gue nggak tertarik di sana. Gue suka di sini.”

“Orang tua lo nggak marah?”

“Mereka bukan tipe yang kayak gitu. Gue bebas ngelakuin apapun, asal nggak ngerugiin mereka atau orang lain.”

Fino tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Enak ya…” lirihnya.

Bagas terdiam, matanya mengamati wajah Fino yang menyimpan luka begitu dalam. Dalam hati ia bergumam, "Nar, kayaknya yang kamu bilang benar… Dia butuh seseorang."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!