“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Udara di ruangan itu masih terasa tegang bahkan setelah Hans mengumumkan dirinya sebagai pendana utama. Semua orang tampak gelisah, bingung, dan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Seorang investor sekelas Hans Adler, konglomerat muda dengan jaringan internasional, jarang sekali turun tangan langsung dalam proyek film lokal.
Kini, ia berdiri di depan mereka, memeluk Andin yang nyaris jatuh—seolah sedang melindungi seseorang yang amat berharga.
“Mulai hari ini,” ulang Hans dengan nada tegas namun tenang, “segala urusan produksi, revisi, dan pemilihan peran akan melalui persetujuan saya.”
Pamannya Clara yang tadi sombong kini mendadak gugup.
“Tu–Tuan Hans, kami… tidak tahu kalau Anda tertarik dengan proyek ini. Kami tentu saja menghormati keputusan Anda. Hanya saja—”
Hans menatapnya tajam. “Hanya saja apa?”
Tatapan itu membuat pria paruh baya itu kehilangan kata-kata.
Clara yang sejak tadi menunduk kini memaksakan senyum. “Kami hanya ingin film ini sukses, Tuan. Kalau memang Anda ingin Andin tetap jadi pemeran utama… aku tentu mendukung sepenuhnya.”
Kata-kata itu keluar diiringi nada palsu dan mata yang berkilat iri.
Hans tidak menanggapinya. Ia menatap Andin lembut. “Kau tidak perlu menjelaskan apa pun. Dunia ini sering salah menilai orang. Tapi biarkan karya membuktikan segalanya.”
Andin menatap Hans lama. Ada campuran rasa syukur, malu, dan bingung. Ia tidak menyangka pria yang dulu menemaninya di masa kecil—pria yang ia tolak dengan penuh rasa bersalah—kini datang menolongnya di saat semua pintu hampir tertutup.
“Terima kasih, Hans,” ucapnya lirih.
Hans tersenyum samar. “Terima kasih tidak cukup. Aku ingin melihatmu berdiri di puncak—bukan karena belas kasihan siapa pun, tapi karena kemampuanmu sendiri.”
---
Beberapa hari kemudian, produksi film resmi dimulai ulang.
Dan kali ini, nama Andin benar-benar tercetak sebagai pemeran utama di semua dokumen resmi.
Kabar tentang Hans Adler yang turun langsung sebagai investor utama tersebar cepat. Media hiburan berlomba-lomba menulis berita, dan publik pun mendadak penasaran: siapa wanita bernama Andin yang berhasil memikat perhatian sang konglomerat?
Di lokasi syuting, suasananya berubah total. Semua kru yang dulu memandang rendah, kini bersikap sopan. Bahkan Clara pun berpura-pura ramah.
“Andin, boleh aku bantu hafalin dialog?” tanya Clara dengan senyum palsu.
Andin hanya mengangguk sopan. Ia tahu maksud tersembunyi di balik sikap itu.
Hans, yang datang hampir setiap hari ke lokasi, memperhatikan semuanya diam-diam.
Setiap kali Andin berakting, tatapannya penuh perhatian, seolah dunia di sekelilingnya berhenti berputar.
---
Suatu malam setelah sesi latihan panjang, Andin duduk sendirian di pinggir set yang sudah sepi. Lampu-lampu sorot mulai padam satu per satu, menyisakan bayangan lembut di wajahnya. Ia menggenggam naskah dengan mata menerawang.
“Dulu aku cuma gadis biasa yang bahkan tak berani bermimpi sejauh ini,” gumamnya lirih. “Tapi kenapa sekarang semua terasa seperti mimpi yang menakutkan?”
“Karena mimpi besar selalu datang bersama ketakutan besar.”
Suara itu datang dari belakang. Hans berdiri sambil membawa dua cangkir kopi panas. Ia menyerahkan satu pada Andin. “Tapi kalau kau berani melewatinya, semua ketakutan itu akan berubah jadi kekuatan.”
Andin menatapnya, sedikit tersenyum. “Kau selalu tahu apa yang harus dikatakan.”
Hans duduk di sebelahnya, menatap ke arah langit malam. “Aku hanya tahu satu hal, Andin. Kau punya sesuatu yang mereka tidak punya—keaslian. Kau tidak berpura-pura jadi orang lain.”
Andin menunduk, menggenggam cangkirnya erat. “Tapi kadang aku merasa tidak pantas… aku bahkan sempat menolakmu waktu itu.”
Hans menatapnya lembut. “Aku tahu alasannya. Dan aku tidak pernah marah. Justru karena itu aku tahu kau bukan seseorang yang bisa dibeli dengan uang atau posisi. Dunia ini butuh orang seperti itu.”
Keheningan turun di antara mereka. Hanya angin malam yang berembus pelan di sela-sela tenda produksi.
Andin menoleh padanya. “Kau masih orang yang sama seperti dulu, Hans?”
Hans tersenyum samar, tapi matanya memancarkan kedalaman yang tak sama seperti dulu. “Tidak. Aku sudah belajar banyak tentang kehilangan. Tentang bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang berharga karena aku tidak cukup berani memperjuangkannya.”
Andin terdiam.
Kalimat itu terasa menyentuh bagian terdalam dari hatinya.
Ia tahu, Hans sedang berbicara tentang dirinya.
---
Keesokan paginya, kru berkumpul di ruang latihan. Sutradara memuji penampilan Andin yang semakin kuat.
“Andin, ekspresi emosimu tadi luar biasa. Kalau kau terus seperti ini, film ini bisa jadi karya besar.”
Clara yang berdiri di sudut ruangan menggertakkan gigi. Ia tak tahan melihat sorotan mata orang-orang yang kini penuh kekaguman pada Andin.
Di balik senyum palsunya, rencana licik mulai terbentuk lagi.
Sementara itu, Hans berdiri di balik kamera, memperhatikan Andin yang tengah berakting dengan sepenuh hati. Ada rasa bangga di matanya—dan sesuatu yang lain, yang selama ini ia simpan rapat-rapat: cinta yang belum padam.
Dan di tengah semua sorotan, Andin tidak sadar… dunia yang dulu menolaknya, kini mulai berputar ke arahnya.
.
.
.
Bersambung.