Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Terhina
Pandangan mata Ranum tertuju pada kain-kain yang ada di hadapannya. Meski hati dan pikirannya sejak semalam begitu kacau karena sang kekasih tak kunjung membalas pesan yang ia kirim, namun pagi ini ia berupaya untuk tetap profesional dalam bekerja. Terlebih dia berada di bagian cutting, di mana beratus-ratus lembar kain harus ia potong sesuai pola untuk dijadikan sarung tangan.
Merasa begitu capek, banyak tuntutan, dan banyak tekanan dari para senior membuat Ranum sejak tiga bulan terakhir ingin berhenti dari pabrik. Namun ia teringat jika di zaman sekarang begitu sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan saat ini terjadi PHK di mana-mana, hal itulah yang membuat Ranum terpaksa untuk bertahan meski terkadang rasa capek itu menguasai raga.
Di sela-sela pekerjaannya, Ranum melihat gawai yang ia simpan di saku celana. Hatinya kembali dirundung rasa kecewa karena sang kekasih belum juga membalas pesannya. Padahal, sore ini sepulang kerja, ia ingin bertemu dengan sang kekasih untuk memberitahu perihal kehamilannya. Selain itu, ia juga akan minta pertanggungjawaban dari Varen seperti yang sudah dijanjikan.
Di saat akan menyimpan kembali gawainya di saku, tiba-tiba senyum sumringah terbit di bibir Ranum. Ia melihat notif dari whatsapp jika sang kekasih sudah membalas pesannya. Senyum yang baru saja terbit, tiba-tiba tenggelam lagi ketika ia membaca isi dari pesan itu.
Kenapa aku merasa ada yang berbeda dengan Varen? Biasanya dia selalu mesra ketika membalas pesanku, tapi kenapa saat ini aku merasa dia begitu dingin? Ini bukan seperti Varen yang aku kenal.
Sejenak, Ranum larut dalam pikirannya sendiri. Namun beberapa saat kemudian lamunannya buyar ketika ia ingat jika saat ini dalam posisi kerja sehingga ia pun kembali fokus akan pekerjaannya ini.
"Num, diminta untuk ke ruang direktur!"
Baru saja Ranum akan melanjutkan pekerjaannya, namun tiba-tiba ia urungkan kembali setelah Murni, sang supervisor datang menghampirinya. Ia pun menghentikan aktivitasnya.
"Aku? Ke ruang direktur?" tanya Ranum memastikan jika dia tidak salah dengar. "Ada apa Mbak?"
Murni hanya mengedikkan bahu. "Entah, aku tidak tahu. Yang jelas di sana tadi juga ada istrinya pak Jonas."
Ranum sedikit terperangah. Tidak biasanya dia dipanggil ke ruang direktur, tapi mengapa saat ini dia dipanggil ke ruang itu? Beberapa pertanyaan muncul di dalam benak namun tiba-tiba hatinya terasa begitu gugup ketika ia ingat akan satu hal.
Apa Varen akan mengenalkanku ke orang tuanya? Apakah ini pertanda bahwa dia akan benar-benar menikahiku?
"Hei Num! Kenapa kamu malah bengong sendiri? Sudah sana ke ruang direktur! Beliau pasti udah nungguin!"
Ranum yang sempat terpaku dan membeku, perlahan ia raih kesadarannya. Wanita itu meletakkan pekerjaannya dan mulai mengayunkan tungkai kaki menuju ruang direktur. Jantungnya masih berdegup kencang. Ia benar-benar merasa nervous akan bertemu dengan calon mertuanya.
Tak berselang lama wanita itu sudah sampai di depan sebuah ruangan yang cukup luas. Ia berhenti sejenak di depan pintu dan menatap lekat daun pintu itu. Ia menghela napas panjang dan perlahan ia hembuskan untuk bisa menguasai raganya yang terlanjur gugup setengah mati.
Tok.. Tok.. Tok..
"Permisi Pak!" seru Ranum sembari mengetuk pintu.
"Masuk!" jawab seorang laki-laki yang berada di dalam ruangan.
Masih dengan langkah gugup, Ranum memasuki ruang direktur. Pandangan matanya memutar, menyapu seluruh isi di dalam ruangan. Dan di dalam ruangan itu sudah ada Jonas, Miranda dan Varen. Ranum pun hanya berdiri mematung di sudut ruangan.
Keheningan dan kebekuan sempat menguasai suasana di dalam ruangan yang membuat Ranum merasa kikuk sekali. Dia juga bertanya-tanya dalam hati, mengapa sang kekasih hanya terdiam tak menyambut kedatangannya, mempersilakan ia duduk atau hanya sekedar menyapanya. Sungguh, Ranum benar-benar merasa aneh.
Jonas dan Miranda menatap penuh kebencian pada wanita yang tengah menjalin hubungan dengan putranya ini. Dari tatapan itu seakan mengisyaratkan jika Ranum benar-benar tidak pantas untuk menjadi calon menantunya.
"Benar, kamu yang namanya Ranum Ayuningtyas?" tanya Jonas membuka pembicaraan.
Ranum mengangguk pelan. "Benar Pak, saya Ranum!"
"Sudah sejak kapan kamu menjalin hubungan dengan putraku, Varen?"
Ranum sekilas melirik ke arah Varen yang justru lebih fokus dengan gawainya. "S-sudah enam bulan Pak!"
"Enam bulan? Lumayan lama juga ya?" ujar Jonas seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Issshhh Papa, kenapa berbelit-belit sih?" tanya Miranda yang sepertinya begitu gemas dengan sikap sang suami. Miranda turut mengarahkan pandangannya ke Ranum dengan bibir yang diangkat sebelah. "Heh buruh pabrik, kami tidak merestui hubunganmu dengan Varen. Jangan mimpi ya kamu sebagai seorang buruh pabrik akan menjadi mantu pemilik pabrik. Gak level!"
Perkataan Miranda membuat Ranum terkejut. Ia labuhkan pandangannya ke arah Varen yang masih saja terdiam tak bersuara.
"Ren?" panggil Ranum sebagai isyarat meminta sebuah penjelasan.
Tatapan mata Varen yang sebelumnya fokus ke layar handphone, kini ia tautkan ke arah Ranum. "Seperti yang kamu dengar Num, papa dan mama tidak memberikan restu!"
"T-tapi bukankah kamu bilang akan menikahiku dan akan memperjuangkan cinta kita?" tanya Ranum dengan suara yang sudah mulai bergetar.
Bola mata Ranum mulai memanas dan berembun. Ucapan dari Miranda dan respon dari Varen sudah cukup membuat wanita itu memiliki sinyal buruk akan kelanjutan hubungannya dengan Varen.
"Aku tidak bisa memaksa papa dan mama merestui kita Num karena....," ucap Varen menggantung.
"Karena apa Ren?"
"Karena Varen sudah kami jodohkan dengan sahabat kecilnya dan yang pasti derajat mereka sama seperti kami!" timpal Miranda melanjutkan ucapan Varen.
Ranum terperangah dengan bibir yang menganga lebar. Ia menatap sejenak ke arah Miranda dan kemudian kembali menatap ke arah Varen.
"Ren, ini maksudnya apa? Tolong jelaskan!"
"Ya seperti kata mamaku, ternyata aku sudah dijodohkan dengan sahabat kecilku tanpa aku sepengetahuanku. Dan semalam kami sudah bertemu!"
"Dan kamu menyetujui perjodohan itu?"
Varen mengangguk pelan. "Iya, aku menyetujuinya karena ternyata aku sudah sejak dulu menyukai teman kecilku ini."
"Lantas, mana janjimu akan menikahiku setelah aku berikan sesuatu yang paling berharga yang aku miliki ke kamu? Mana?! Apa itu semua hanya omong kosong?!" teriak Ranum dengan suara yang semakin bergetar namun tetap ia usahakan untuk berteriak. Perlahan air matanya mulai jatuh membasahi pipi.
"Aku memang menjanjikan akan hal itu. Tapi itu semua akan aku tunaikan jika kamu hamil setelah aku merenggut keperawananmu kan? Tapi nyatanya kamu tidak hamil. Jadi, tidak ada kewajibanku untuk menikahimu!!" ucap Varen dengan tegas.
Ranum semakin membelalakkan bola matanya. Air mata wanita itu kian deras mengalir saat mendengar jawaban dari Varen.
"Tapi saat ini aku...."
"Lagipula kamu itu wanita macam apa sih? Masa seorang wanita tidak bisa menjaga harga diri dan kehormatannya? Harusnya kamu bisa menolak ajakan Varen dong! Kalau kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu dengan mengikuti kemauan Varen, lantas apa bedanya kamu dengan wanita murahan? Sudah miskin, murahan pula!" timpal Miranda dengan kata-kata yang semakin mencabik-cabik harga diri Ranum.
Tubuh Ranum bergetar hebat dengan air mata yang semakin deras mengalir. Bibirnya pun semakin menganga lebar sebagai pertanda ia begitu terkejut dengan keadaan yang seperti ini. Ia sungguh tidak menyangka jika harga dirinya akan diinjak-injak oleh laki-laki yang begitu ia cintai dan keluarganya seperti ini.
Ucapan mama Varen memang benar. Harusnya aku yang bisa menolak ajakan Varen. Dan saat ini aku benar-benar seperti wanita murahan yang mau direnggut keperawanannya hanya demi sebuah janji akan dinikahi.
Ranum bermonolog dalam hati. Rasa-rasanya ia ingin menimpali ucapan Miranda dengan mengatakan bahwa saat ini ia tengah mengandung benih Varen. Namun ia memilih untuk mengurungkan niat itu. Karena memang, dia lah yang bersalah. Tidak akan ada cerita keperawanan itu direnggut jika ia teguh pada pendirian untuk sekuat tenaga mempertahankan apa yang ia punya.
Ranum menatap ke arah Varen dengan tatapan penuh dengan tanda tanya. Bahkan dalam keadaan seperti inipun lelaki itu tidak bisa membelanya. Air mata Ranum semakin deras mengalir, teringat akan apa yang setelah ini harus ia lakukan.
Jonas mengambil sebuah amplop cokelat dari dalam laci kemudian ia berjalan ke arah Ranum yang masih berdiri terdiam dengan air mata yang tiada henti mengalir.
"Terimalah!" ucap Jonas sembari mengulurkan amplop cokelat itu. Sedangkan Ranum hanya bisa mengernyitkan dahi sebagai isyarat rasa bingungnya.
"Ini pesangon untukmu. Mulai hari ini kamu aku pecat. Dan semoga setelah ini kamu tidak mengganggu kehidupan anakku, karena tak lama lagi dia akan menikah dengan calon istri yang sudah kami persiapkan!" ucap Jonas memberikan penjelasan.
Ada sedikit rasa ragu menerima amplop cokelat yang di ulurkan oleh Jonas. Namun pada akhirnya Ranum menerima amplop cokelat itu. Saat ini ia tidak ingin berlama-lama lagi berada di tempat ini karena baginya sudah cukup membuat ia mengerti jika Varen hanya lelaki yang manis di bibir saja.
"Lelaki brengsek kamu Ren! Ingat, sampai kapanpun aku akan membencimu dan tidak akan pernah memaafkanmu. Aku pastikan kamu akan menyesal seumur hidup!"
Ranum berbalik badan. Ia raih tuas pintu ruangan ini. Namun tiba-tiba.. .
"Di dalam amplop itu aku kasih uang lebih. Anggap saja sebagai bayaran karena putraku sudah merenggut keperawananmu!" teriak Jonas yang semakin membuat jantung Ranum berdenyut ngilu.
Tak lagi Ranum hiraukan ucapan orang-orang yang ada di dalam ruangan ini. Karena memang benar, dia hanya sebatas wanita murahan yang begitu mudah memberikan mahkota miliknya untuk lelaki brengsek bermulut manis seperti Varen. Buru-buru Ranum keluar dari ruangan ini dan berlari untuk bisa segera pergi dari tempat ini.
Dengan hati yang hancur dan tercabik-cabik, Ranum menyusuri lorong demi lorong pabrik. Ia ambil tas yang ia simpan di dalam loker dan segera meninggalkan pabrik yang sudah dua tahun menjadi tempatnya mencari penghasilan dan mengais rezeki. Entah apa yang akan ia lakukan setelah ini. Sepertinya dunianya sudah gelap tak berwarna lagi.
.
.
.