Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 - MASKER - Zahra ( POV )
Merawat seorang bayi yang bukan anak kandungku rasanya aneh. Bagiku, tinggal bersama keluarga SWALAYA adalah keputusan yang salah. Terlebih saat bertatap muka dengan Raden Ayu Rara Utari. Aku tak tahan melihatnya lama – lama, sepertinya ada sebuah kekuatan yang membuat nyaliku menciut. Kharismanya melebihi sang suami Raden Mas DJOKO SWALAYA. Beliau kuanggap sebagai ibu sendiri dan saat Arimbi hadir di keluarga ini, bayi itu kuanggap sebagai adik sendiri. Mereka semuanya kuanggap sebagai keluargaku sekalipun aku baru bekerja sebagai pembantu Rumah Tangga.
Aku masih ingat sewaktu pertama kali bertemu dengan Raden Ayu, sorot matanya begitu tajam penuh selidik, kata – katanya yang berwibawa, dan gerak – geriknya yang anggun membuatku salah duga bahwa wanita itu hanya manusia biasa yang tak bisa apa – apa. Tetapi, aku terkejut manakala pada suatu hari beberapa perampok menjarah rumah Keluarga Swalaya. Dia mampu mengatasi mereka hanya dalam beberapa gebrakan hingga akhirnya kawanan perampok itu kocar – kacir dan harus menanggung semua perbuatannya di balik jeruji besi sebuah lapas. Terkadang aku ingin seperti Raden Ayu Rara Utari, mengingat perbandingan nasibku dengannya. Aku adalah anak dari seorang penduduk desa biasa yang serba kekurangan, ayah dan ibu meninggal saat aku masih kecil sementara kakak – kakakku tak peduli lagi denganku. Jika aku menceritakan dengan rinci masa laluku, mungkin hanya akan membuatku sedih dan menangis seharian. Itulah sebabnya, aku merantau dari kota satu ke kota lain hingga sampailah aku di kota Malang ini. Mengadu nasib ke tanah asing hanya untuk sesuap nasi. Tapi, sama sekali tak bisa kubayangkan ... di kota ini aku berhadapan dengan sesuatu yang tak biasa. Dan, beruntung masih bisa bertahan hidup hingga sekarang, sesuatu yang tak mampu dinalar oleh logika atau pikiran manusia biasa. Tapi, semuanya menghantarkanku menuju apa yang kucita – citakan dan kuimpikan. Menjadi ibu asuh dari anak – anak yatim yang membutuhkan perhatian dan bimbingan untuk meraih masa depan mereka. Dan ini semua adalah warisan dari Keluarga Swalaya walau aku sebenarnya tidak menginginkannya.
‘Zahra... Arimbi adalah satu – satunya keluargaku yang masih tersisa. Untk sementara aku titip dia beberapa waktu, tapi, aku berjanji akan kembali mengunjunginya setelah menemukan suamiku. Jika Tuhan mengijinkan, kita pasti bertemu kembali dalam keadaan yang berbeda. Tidak seperti ini. Perang masih berkecamuk, aku tidak ingin melibatkan kalian berdua dalam situasi negeri yang baru berdiri ini. Maka dari itu, aku memberimu sebagian harta keluarga Swalaya kepadamu, kau bisa menggunakannya untuk keperluanmu juga anakku Arimbi. Memang tidak banyak tapi, mudah – mudahan bisa berguna,’ itulah kata – katanya yang terakhir beberapa bulan setelah kejadian yang nyaris merenggut nyawaku juga Arimbi. Ia juga memberiku surat dan masing – masing ditujukan untuk Arimbi saat kelak dewasa. Dan, aku sampai kini belum bertemu dengannya.
Arimbi tumbuh menjadi seorang bocah perempuan yang cantik, manis dan cerdas, mirip ibunya, aku sangat menyayanginya. Seiring dengan berjalannya sang waktu dan keadaan negara ini tenang dan damai. Namun, satu yang membuat hatiku seakan diiris – iris sembilu. Banyak anak – anak terlantar di sana – sini, ada yang sengaja ditinggalkan orang tuanya, ada yang memang benar – benar sudah tidak memiliki orang tua dan diperlakukan tidak manusiawi oleh orang – orang di sekitar mereka. Parahnya, mereka sengaja diasuh menjadi anak untuk kemudian dijual ke tempat lain, sebagian adalah yang dipaksa bekerja.
Untuk itulah, aku bertekad merawat anak – anak tersebut dengan mendirikan sebuah panti asuhan PRANA WERDHA. Semuanya berjalan tanpa kejadian apa – apa, semakin banyak anak – anak yang kami asuh, rasanya seperti mengurangi beban penderitaan mereka. Akan tetapi, saat Arimbi berumur 3 tahun, terjadi hal – hal yang berada di luar nalar dan logika manusia. Arimbi selalu tampak kelihatan ketakutan, kadang menangis, kadang tertawa kadang marah sendiri tanpa sebab yang jelas.
Seperti pada malam itu. Bunyi lonceng jam dinding di ruang tengah berdentang sebanyak 11 kali. Mendadak kami dikejutkan dengan sebuah teriakan di kamar Arimbi, ‘Siapa kau ? Pergi jauh – jauh, jangan ganggu aku !!’ teriakan tersebut membangunkan seisi penghuni Panti, aku dan beberapa orang pembantu buru – buru berlari menuju ke kamar Arimbi.
‘Arimbi ! Tahukah kau ini sudah malam, kenapa kau berteriak – teriak begitu kencang. Buka pintunya, nak biarkan ibu masuk,’ panggilku sambil menggedor – gedor pintu kamarnya. Tak ada jawaban, maka kami terpaksa mengambil kunci cadangan dan membuka pintu kamar tersebut. Dan aku melihatnya berteriak – teriak sambil melempar hampir semua perabotan yang ada di kamarnya. Beberapa teman sekamar Arimbi : Naomi, Yasinta dan Abel meringkuk di sudut ruangan di bawah meja, tubuh mereka bergetar hebat.
Kedatangan kami membuatnya makin kalap, tapi, setelah kucoba untuk menenangkannya, barulah ia berkata, ‘Ada seorang wanita tua datang dan menarik lengan Arimbi, bu. Wajahnya mengerikan sekali. Dia ada disana, di dekat pintu kamar. Apa ibu melihatnya ... dia berada di samping kiri Bu Yohana,’ telunjuk kanannya menuding ke arah kanan Yohana salah seorang pembantuku. Aku dan yang memalingkan kepala ke arah yang ditunjuk Arimbi, tapi, tak ada siapa – siapa, hanya gelap. Jari – jemariku menekan saklar dan lampu kamar menyala menyilaukan, yah, tidak ada siapa – siapa disana. Hanya perabotan – perabotan yang berserakan di lantai dalam keadaan yang sudah tak utuh lagi. Namun, aku merasakan ada sebuah hawa aneh yang tidak biasa di kamar tersebut. Itu adalah yang pertama kalinya terjadi pada diri Arimbi ddan berulang sebanyak tiga kali.
‘Rimbi, sebenarnya apa yang telah tejadi padamu ? Apa yang telah kau lihat ?’ tanyaku suatu hari.
‘Entahlah. Setiap kali Rimbi menarik nafas, banyak hal yang terlihat, bu ... sebenarnya apa yang terjadi pada Rimbi, bu ? Namun, semuanya hilang saat hidung dan mulut ini ditutupi sesuatu. Rimbi punya sakit apa hingga menderita seperti ini,’ katanya sambil menangis.
‘Kau tidak sakit, nak ... tapi, ibu akan mencoba mencarikan solusinya,’ hiburku walau sebenarnya aku ragu bisa menemukan jalan keluarnya. Terlebih saat memeriksakan kesehatan bocah itu. Hasilnya ... ia adalah anak yang sehat, tak mengidap penyakit apapun. Ia juga pernah bercerita padaku bahwa suatu hari nanti ada orang yang akan mengambilnya sebagai anak. Aku terkejut, padahal selama ini tak ada orang yang ingin mengangkatnya sebagai anak karena keanehannya tersebut. Aku merasa iba dengan keadaan Arimbi. Bayangkan saja, teman – teman Arimbi sudah memperoleh keluarga ... tapi, tak satupun dari keluarga tersebut atau pasangan suami – isteri yang menginginkan anak, tertarik untuk mengangkatnya sebagai anak. Itulah sebabnya, Arimbi selalu menyendiri saat ada orang datang, ia tak ingin bertemu dengan mereka.
‘Bukan pasangan itu yang Rimbi maksud. Mereka akan datang saat Rimbi berumur 7 tahun. Orang tua dalam lukisan yang tergantung di ruang tengah lantai 2 itu yang bilang,’ kata Arimbi suatu hari.
‘Di lantai 2, ruang tengah ? Siapa dia ? Setahu ibu, tak ada siapa – siapa disana,’
Arimbi tertawa kecil, ia menarik tanganku dan mengajak berjalan menuju Ruang Tengah. Sesampai di ruangan tersebut, Arimbi menunjuk sebuah lukisan seorang wanita duduk di sebuah kursi sambil menggendong seorang bayi, disamping kanannya berdiri seorang pria berambut keriting panjang sebatas bahu. Berhidung mancung, sebagai pembatas hidung dan mulutnya adalah kumis tebal melintang ke kiri dan ke kanan membentuk huruf ‘U’ berwarna coklat.
Pakaiannya serba putih dengan hiasan 4 bintang di bahu kiri dan kanannya. Sebilah pedang bersarung emas tergantung di pinggang kirinya. Karisma kedua sosok dalam lukisan tersebut tampak mencolok dengan sepasang sorot mata setajam mata pisau. Lukisan itu tampak hidup dengan latar belakang dinding berwarna hitam. Itu adalah lukisan Seorang Jenderal Belanda, BUITENGEEWOON. Salah seorang Jenderal besar yang berjasa dalam mengemukakan gagasan – gagasannya tentang hukum yang berjalan di Hindia Belanda terlebih tentang kemanusiaan. Aku adalah salah seorang yang mengagumi beliau dan aturan – aturan yang berlaku di panti asuhan ini sebagian kuambil dari buah pemikirannya. Bagaimana mungkin lukisan tersebut bisa berbicara terlebih pada seorang anak kecil yang baru berumur 5 tahun. Jenderal tersebut memang hidup di masa yang lampau sebelum aku lahir dan sudah meninggal. Lalu bagaimana Arimbi bisa mengenalnya ?
Dan memang, saat Arimbi berumur 7 tahun. Sepasang suami-isteri keluarga VAN GIELS datang dan mengangkat Arimbi juga Naomi sebagai anak angkat mereka. Arimbi tidak menceritakan bagaimana bisa bertemu dengan Buitengewoon, namun, apa yang dikatakannya benar – benar terjadi dan terus terang aku merasa lega sekaligus sedih karena harus berpisah dengan anak yang kurawat sejak mash bayi. Dan, aku memberi surat tentang identitas Arimbi pada Keluarga Van Giels, dan berpesan agar menyimpan surat itu dengan baik hingga kelak Arimbi dewasa. Surat yang mungkin membuat Arimbi terpukul, tapi, kuharap ia bisa menyikapinya dengan bijak. Bukan karena Raden Ayu Rara Utari Ayuningtyas tidak menyayanginya, tapi, semuanya demi untuk mengembalikan keutuhan Keluarga Djaka Swalaya.
***