Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APARTEMEN DIATAS TOKO ROTI I
Perjalanan pulang ke apartemen terasa seperti berjalan menuju gua singa. Kabut Eldridge pagi itu lebih tebal dari biasanya, menyelimuti jalanan hingga mereka hanya bisa melihat beberapa meter ke depan. Setiap langkah terasa berat, seolah udara sendiri menolak kehadiran mereka.
Sara berjalan paling dekat dengan Lisa, tangannya mencengkeram lengan jaket sahabatnya erat-erat. “Aku masih nggak suka ini,” bisiknya, suaranya gemetar. “Aku merasa… kita sedang diawasi.”
Ethan berjalan di depan, matanya waspada, menatap setiap sudut jalan, setiap jendela yang gelap. “Kita memang diawasi, Sar. Tapi bukan oleh manusia.”
Lisa tidak berkata apa-apa. Ia bisa merasakannya. Denyut di telapak tangannya semakin kencang seiring mereka semakin dekat ke apartemen. Simbol itu berdenyut seperti kompas yang menunjuk ke arah rumahnya sendiri.
Ketika mereka sampai di depan pintu toko roti tua yang sudah tutup, Lisa berhenti.
Apartemennya ada di lantai dua, jendelanya gelap, tirainya tertutup rapat. Tapi dari balik kaca yang buram, ia bisa melihat sesuatu. Bayangan. Bergerak perlahan di dalam.
“Lis…” Sara menarik lengannya, suaranya penuh peringatan.
Lisa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Kael’neth en shal, veth’ra en lun.”
Ia mengeluarkan kunci, tangannya gemetar saat memasukkannya ke lubang gembok. Pintu terbuka dengan bunyi berderit yang panjang, seolah bangunan itu menghela napas setelah lama ditinggalkan.
Bau apartemen itu langsung menyergap mereka—bau debu, kertas tua, dan sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap: bau ketakutan yang masih tertinggal.
Mereka masuk perlahan. Ruang tamu tampak persis seperti saat mereka kabur malam itu—meja terbalik, bantal berserakan, dan pecahan kaca dari lampu yang meledak masih berhamburan di lantai.
Dingin.
Lisa berdiri di tengah ruang tamu, kakinya telanjang menyentuh lantai. Dingin itu langsung merambat ke tulang keringnya, lalu ke punggung, lalu ke tengkuk. Tapi ia tidak bergerak. Matanya terpaku pada dinding di atas sofa — dinding yang kini hidup.
Coretan simbol itu bukan sekadar goresan. Ia berdenyut. Seperti jantung yang tertanam di tembok. Garis-garis hitamnya berkilau samar, bukan karena cahaya, tapi karena sesuatu di dalamnya — sesuatu yang bergerak, bernapas, menunggu.
Dan kemudian… suara itu datang.
Bukan dari satu titik. Tapi dari seluruh dinding. Dari sudut-sudut gelap di langit-langit. Dari bawah karpet usang yang berdebu. Suara itu datang seperti gelombang, merayap pelan, lalu meledak.
“Aku nggak mau ini…”
Suara Lisa sendiri. Tapi bukan Lisa yang sekarang. Ini Lisa dari malam itu — malam pertama bayangan datang. Suara yang pecah, basah oleh air mata, dipenuhi kepanikan yang hampir membuatnya mati lemas.
“Kenapa aku?”
Lebih keras. Lebih putus asa. Seolah suara itu diputar ulang, tapi dengan volume yang dinaikkan, distorsi, seperti rekaman kaset yang rusak dan dipaksa berputar.
“Aku nggak bisa menahannya…”
Sara menjerit. Bukan jeritan biasa. Ini jeritan yang datang dari dasar tenggorokan, dari tempat ketakutan paling purba bersembunyi. Ia menutup telinganya dengan kedua tangan, tapi suara itu tidak datang dari luar. Ia datang dari dalam kepala. Dari tulang. Dari darah.
“MATIKAN! MATIKAN SUARANYA!” Sara menjerit, suaranya hampir hilang di antara gema suara Lisa yang terus diputar.
Tubuhnya gemetar, lututnya lemas, tapi ia tidak jatuh. Ia menahan diri dengan mencengkeram lengan sofa, kukunya menggores kain hingga robek.
Ethan maju selangkah. Wajahnya pucat, tapi matanya — mata biru itu — menyala dengan tekad yang tidak bisa dipadamkan. Ia tidak menutup telinga. Ia tidak berteriak. Ia justru mendekat ke dinding, kepalanya miring, seolah mencoba mendekode suara itu, memahami polanya.
“Inilah yang mereka lakukan,” katanya, suaranya rendah tapi tegas, memotong gema suara Lisa. “Mereka merekam. Setiap teriakanmu, setiap tangisanmu, setiap detik kau kehilangan kendali — mereka simpan. Dan sekarang…” Ia menatap Lisa, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dibaca — kekaguman? Kasihan? Atau mungkin rasa bersalah? “Mereka memutarnya kembali. Untuk menghancurkanmu dari dalam.”
Lisa tidak menjawab. Ia tidak bisa. Dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram paru-parunya, memeras udara keluar. Air mata menggenang di matanya, tapi ia tidak menangis. Ia terlalu sibuk berusaha bernapas. Terlalu sibuk berusaha tidak hancur.
Ia menatap dinding itu. Coretan simbol itu berdenyut lebih cepat, seirama dengan suara-suara yang diputar. Setiap kali suara “aku nggak bisa menahannya” terdengar, garis-garis hitam itu berkilau lebih terang, seolah ikut menertawakannya.
Ia merasa seperti sedang diadili. Di ruang pengadilan yang gelap, dengan hakim yang tidak terlihat, dengan juri yang adalah versi dirinya sendiri yang paling rapuh. Dan bukti yang diajukan? Rekaman kegagalannya. Rekaman ketakutannya. Rekaman saat ia hampir menyerah.
“Aku bukan itu…” bisik Lisa, suaranya serak, hampir tak terdengar. “Aku bukan Lisa yang malam itu…”
Tapi dinding tidak mendengar. Atau mungkin, ia memang tidak peduli.
Tiba-tiba—
Crackkk… shhhhh…
Suara memecah keheningan yang mencekam. Mereka bertiga membeku. Perlahan, kepala mereka menoleh ke sudut ruangan — ke arah radio tua yang sudah mati sejak bertahun-tahun.
Radio itu menyala.
Bukan menyala biasa. Lampu indikatornya berkedip-kedip merah, lalu biru, lalu hijau — warna-warna yang tidak seharusnya ada di radio tua tahun 80-an. Suara statisnya semakin keras, mengisi seluruh ruangan, menenggelamkan suara Lisa yang diputar di dinding.
Lalu, perlahan-lahan, statis itu berubah.
Menjadi melodi.
Sebuah lagu anak-anak.
Nadanya riang, manis, seperti lagu yang dinyanyikan di taman bermain saat matahari bersinar. Tapi ada sesuatu yang salah. Sangat salah. Nada-nadanya terlalu tinggi, seolah dinyanyikan oleh anak kecil yang tenggorokannya dipaksa melebar. Ritmenya terlalu cepat, seolah si penyanyi sedang dikejar sesuatu. Dan liriknya… tidak ada yang mengenalinya. Tidak ada yang pernah mendengarnya.
🎼“Lari kecil, lari kecil, di bawah bulan yang tersenyum…”🎶
Sara menjerit lagi. Kali ini lebih keras, lebih panjang, lebih putus asa. Ia melepaskan pegangan dari sofa, lalu menutup kedua telinganya dengan tangan, tapi matanya tetap terbuka lebar, menatap radio itu dengan horor murni.
“ITU LAGU APA?!” teriaknya, suaranya pecah, hampir histeris. “ITU SEREM BANGET.... MATIIN MATIIN!”
Lisa menutup mata. Dunia di sekelilingnya berputar. Suara Lisa yang menangis di dinding. Lagu anak-anak di radio. Napas Sara yang tersengal-sengal. Detak jantung Ethan yang terdengar jelas di telinganya. Semuanya bercampur, menjadi simfoni kegilaan yang ingin menghancurkan akal sehatnya.
Ia merasakan simbol di telapak tangannya berdenyut liar. Panas. Sakit. Seperti ada bara yang ditanam di bawah kulitnya, dan sekarang bara itu ingin meledak.
“Tidak…” gumam Lisa, suaranya hampir tak terdengar. “Aku tidak bisa kalah… di sini… di tempat ini…”
Ia mengingat kata-kata Bu Redfield . Mantra itu. Mantra yang ia ucapkan semalam, di kamar yang dingin, sambil menahan air mata.
Dengan cahaya ini, aku melindungi jiwa.
Lisa menarik napas dalam-dalam. Udara yang masuk terasa seperti pecahan kaca, menusuk paru-parunya. Tapi ia tidak berhenti. Ia mengosongkan pikirannya. Mengusir suara-suara itu. Mengusir lagu itu. Mengusir ketakutannya.
“Vel’shar en mora…” bisiknya, suaranya gemetar tapi mantap. “…thal’kai en dren.”
Dan saat kata-kata itu meninggalkan bibirnya—
Cahaya biru kehitaman meledak dari telapak tangannya.
Bukan cahaya biasa. Ini cahaya yang hidup. Ia mengalir seperti air, lalu membentuk perisai tipis, transparan, yang melingkupi mereka bertiga. Cahayanya tidak terang, tapi dingin, seperti cahaya bulan yang jatuh di dasar laut.
Suara dari dinding langsung mereda. Bukan hilang. Tapi seperti ditarik mundur, dipaksa menjauh oleh kekuatan perisai itu. Lagu anak-anak di radio juga melambat, nadanya turun, lalu berubah kembali menjadi statis, lalu… mati.
Hening.
Hanya suara napas mereka bertiga yang terdengar — berat, cepat, penuh adrenalin.
Lisa membuka matanya. Perisai cahaya itu masih ada, bergetar pelan di udara, seolah masih berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat. Dinding itu masih ada. Simbolnya masih berdenyut. Tapi suaranya… sudah tidak terdengar.
“Luar biasa, Lis,” bisik Ethan, suaranya penuh kekaguman. Ia menatap perisai itu, lalu menatap Lisa, matanya berbinar. “Kau mengendalikannya. Di tengah semua ini… kau masih bisa mengendalikannya.”
Sara menurunkan tangannya perlahan dari telinganya. Wajahnya masih pucat, matanya masih berkaca-kaca, tapi ia tidak lagi menjerit. Ia hanya menatap Lisa, lalu menatap perisai cahaya itu, lalu kembali menatap Lisa.
“Kau… kau menyelamatkan kita,” katanya, suaranya serak, hampir tak percaya. “Lagi.”
Lisa tidak menjawab. Ia terlalu lelah. Terlalu banyak yang terjadi dalam waktu singkat. Ia hanya menurunkan tangannya perlahan. Perisai cahaya itu langsung menghilang, seperti asap yang tertiup angin.
Dan saat perisai itu hilang…
Suara itu kembali.
Bukan keras. Bukan jelas. Tapi berbisik. Sangat pelan. Seperti bisikan angin yang menyelinap lewat celah pintu. Seperti suara tikus yang berlari di balik dinding. Tapi mereka semua mendengarnya.
“Kami masih di sini…”
“Kami menunggu…”
“Kau tidak bisa lari…”
Lisa mengepalkan tangannya. Simbol di telapaknya masih berdenyut, tapi lebih tenang sekarang. Ia tidak lagi panik. Ia marah. Marah karena mereka berani menyentuh tempat ini. Marah karena mereka berani menggunakan suaranya sendiri untuk menghancurkannya.
"Kalian tidak akan mengusirku dari rumahku," gumam Lisa, suaranya rendah, penuh ancaman. "Aku yang akan mengusir kalian."