Menjadi istri kedua hanya untuk melahirkan seorang penerus tidak pernah ada dalam daftar hidup Sheana, tapi karena utang budi orang tuanya, ia terpaksa menerima kontrak pernikahan itu.
Hidup di balik layar, dengan kebebasan yang terbatas. Hingga sosok baru hadir dalam ruang sunyinya. Menciptakan skandal demi menuai kepuasan diri.
Bagaimana kehidupan Sheana berjalan setelah ini? Akankah ia bahagia dengan kubangan terlarang yang ia ciptakan? Atau justru semakin merana, karena seperti apa kata pepatah, sebaik apapun menyimpan bangkai, maka akan tercium juga.
"Tidak ada keraguan yang membuatku ingin terus jatuh padamu, sebab jiwa dan ragaku terpenjara di tempat ini. Jika bukan kamu, lantas siapa yang bisa mengisi sunyi dan senyapnya duniaku? Di sisimu, bersama hangat dan harumnya aroma tubuh, kita jatuh bersama dalam jurang yang tak tahu seberapa jauh kedalamannya." —Sheana Ludwiq
Jangan lupa follow akun ngothor yak ...
Ig @nitamelia05
FB @Nita Amelia
Tiktok @Ratu Anu👑
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Dia Sangat Pemarah
Menjelang sore, ponsel milik Luan diberondongi oleh panggilan masuk dari Batari, karena ponsel milik Sheana tak bisa dihubungi.
"Lu, di mana kamu?" tanya Batari dengan cepat setelah panggilan terhubung. Saat ini Luan dan Sheana masih di panti jompo, sementara di rumah sudah ada Ruben yang menunggu kepulangan mereka.
Sedari tadi pria itu duduk dengan tatapan dingin yang menusuk sambil mengetuk-ngetuk pinggiran sofa menggunakan jari telunjuknya.
"Aku di panti jompo, Bi, jenguk ibunya Nyonya Sheana," jawab Luan yang menunggu di dalam mobil.
"Cepat bawa Nyonya Sheana pulang. Tuan Ruben terlihat marah, andai tidak bisa dikendalikan, kesempatanmu bekerja hanya akan habis sampai hari ini!" ucap Batari memberikan peringatan kepada Luan. Kemudian langsung mematikan panggilan supaya Luan tidak banyak alasan.
Luan berdecih dan tersenyum miris.
"Orang kaya selalu saja semena-mena, tidak ayahnya, tidak anaknya, sama saja!" gerutu Luan, kemudian keluar untuk menjemput Sheana yang masih di ruangan ibunya.
Tok ... Tok ... Tok ...
Mendengar ketukan pintu, Sheana yang sempat terlelap langsung membuka matanya lebar-lebar. Dia melirik jam di atas nakas, ternyata sudah jam empat sore, artinya satu jam lagi Ruben pulang. Ya, meski tidak pulang ke rumahnya, tapi dia tahu jadwal kerja suaminya.
Ceklek!
Sheana membuka pintu, dia tampak terkejut saat mendapati Luan berada di hadapannya.
"Nyonya, kita harus pulang sekarang. Karena Tuan Ruben sudah menunggu di rumah," ujar Luan.
Mendengar itu tentu saja membuat Sheana terperangah. Ini semua pasti karena dia pergi tanpa mendapatkan persetujuan Ruben. Dia yakin pria itu akan memarahinya. Namun, tidak apa-apa. Karena dia sudah cukup bersyukur bisa bertemu dengan ibunya.
"Iya, saya akan pamit dulu pada ibu. Nanti saya menyusul ke parkiran," balas Sheana yang langsung mendapat anggukan dari Luan.
Wanita itu pun kembali ke dalam, dia melihat ibunya yang terlelap, jadi dia tak tega untuk membangunkannya.
"Bu, Shean pulang dulu ya. Nanti Shean pasti datang lagi. Semoga saja ibu cepat pulih ya, supaya kita bisa ngobrol lebih banyak seperti dulu," ucap Sheana untuk pamit. Kemudian dia mengecup kening Fadya cukup lama. Mengalirkan rindu yang bahkan sudah hadir sebelum mereka berpisah.
*
*
*
Mobil yang dikendarai Luan baru saja melewati gerbang, tapi Ruben yang sudah menunggu dari tadi seakan tak memiliki kesabaran. Dia bangkit dari sofa dan melangkah lebar menuju teras rumah.
Belum juga membuka pintu mobil, Ruben sudah melakukannya lebih dulu dan menarik tangan Sheana hingga langkah wanita itu terseok-seok mengikuti langkah Ruben.
"Berani sekali kamu pergi dari rumah tanpa seizinku!" ucap Ruben disela-sela langkah mereka menuju kamar. Sheana tak bisa meronta maupun melawan, dia hanya mampu menurut sambil merasakan sakit di pergelangan tangannya. Bahkan siapapun di rumah ini tak ada yang mampu membela, karena tak ingin kena amukan dari majikan mereka.
Brak!
Suara pintu yang ditutup dengan kasar. Sementara tubuh Sheana dilempar ke atas kasur sampai dia terjerembab. Disusul Ruben yang juga naik dan menahan wanita itu agar tidak ke mana-mana.
"Punya keberanian sebesar apa kamu sampai bertindak seenaknya seperti ini? Kamu pikir aku akan mentolerirnya dan memaafkan ketidakpatuhanmu ini?" ucap Ruben sambil mencekal kedua tangan Sheana di atas kepala, sementara kedua kakinya ada di antara tubuh Sheana.
"Ma—af, Tuan, saya tidak bermaksud begitu. Saya terlalu emosi hari ini karena baru tahu jika ibu saya dipindahkan ke panti jompo," jawab Sheana sedikit terbata, karena dia cukup takut melihat wajah Ruben yang memerah bercampur emosi.
"Cih, bukannya berterima kasih kamu malah emosi? Benar-benar wanita congkak kamu ya!" cetus Ruben, tangannya berpindah mencengkram dagu Sheana. Sehingga Sheana tak bisa bebas menggerakan kepalanya. Bahkan di saat wajah Ruben berada tepat di samping telinganya. "Dengarkan aku, kamu tidak boleh pergi tanpa mendapat izin dariku. Karena sekarang kamu milikku sepenuhnya. Andai itu terjadi lagi, aku akan mengembalikanmu ke keluargamu yang miskin itu. Ingat, saat itu kalian akan lebih hancur!"
Mata Sheana memerah, tangannya terkepal, sementara dadanya kembang kempis menahan semua perasaan kesal dan marah yang menjadi satu. Kenapa? Kenapa dia tak bisa melawan sedikit pun?
"Kamu mengerti?" bisik Ruben lagi, sampai hembusan napasnya mengenai leher Sheana.
Wanita itu segera menganggukkan kepala. Setelah itu baru Ruben bangkit dari atas tubuh Sheana. Namun, mimik dan tatapan matanya tak berubah. Bahkan dia kembali memberikan ultimatum.
"Karena kamu telah membangkang hari ini. Maka kamu tidak boleh keluar dari kamar selama tiga hari. Dan selama itu persiapkan dirimu untuk pergi ke rumah sakit, datang bulan sialaanmu itu sudah selesai kan?" cetus Ruben dengan tatapan nyalang, Sheana yang sudah berhasil mendudukan tubuhnya kembali mengangguk, dan setelah itu Ruben langsung meninggalkan kamar, dia kembali menutup pintu dengan keras, sampai Sheana ikut berjengit karena terkejut.
"Dia sangat pemarah," lirih Sheana.
Di luar Ruben bertemu dengan Luan. Langkahnya sontak berhenti dan menatap pemuda itu dengan tatapan tajam. Bak predator yang hendak memangsa.
"Kau—" tunjuknya tepat di wajah Luan, pemuda itu langsung menundukkan kepala, tapi bukan karena takut, tapi demi mempertahankan pekerjaannya, "awas saja kalau membuat kekacauan lagi. Aku akan memecatmu hari itu juga!" ucap Ruben, merealisasikan peringatan Batari. Ternyata sang bibi memang tidak main-main.
"Maaf—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Ruben sudah lebih dulu melenggang masuk ke dalam mobil. Setelah kendaraan roda empat itu pergi, Luan langsung menghela napas lega.
'Fyuh ... untung aku masih punya kesempatan.'
jadi ketagihan sma yg baru kan .... wah ternyata