“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. GADIS GILANYA
Yuda baru saja sampai di lantai dua gedung jurusan ketika langkahnya tertahan.
“Woy, kenapa lari lo,” ujar Bara terdengar dari tangga. Bara duduk santai, kaki selonjoran di anak tangga sambil ngemil roti isi. “Lo beneran ninggalin Arshen tadi?”
Yuda tak menjawab. Matanya tertuju ke bawah, ke arah halaman gedung kampus.
Dan di sana…
Sasaeng itu masih mengikuti Arshen. Langkah mereka nyaris sama, seirama, seperti duet dansa yang tidak sengaja tercipta. Tangan gadis itu berani menggenggam tangan Arshen dari samping.
Yuda bisa melihat jelas dari atas.
Arshen menarik tangannya cepat dan tegas, tapi tetap tenang. Wajahnya datar, menahan emosi, dan Yuda tahu itu.
Lalu Arshen berhenti. Jongkok. Tali sepatunya lepas.
Tapi belum sempat dia menyentuh, gadis itu malah ikut jongkok dan mulai mengikatkan tali sepatu Arshen.
Serius.
Adegan itu terasa seperti drama yang dilebih-lebihkan.
Arshen tidak menatap gadis itu. Matanya justru mengarah ke taman di sebelah, seolah ini hal biasa baginya.
Bara di samping Yuda menyengir tipis, tapi ekspresinya berubah saat Yuda tetap diam, tak tertawa. “Ini ... gak normal, ya?” gumam Bara.
Yuda tak sempat menjawab. Karena sesaat kemudian, sesuatu membuat tenggorokannya tercekat.
Dua orang datang, berpakaian putih. Bukan seragam kampus, lebih mirip perawat rumah sakit jiwa.
Mereka langsung memegang tangan gadis itu, menariknya pelan tapi tegas. Gadis itu sempat meronta, tapi tidak berteriak. Hanya menatap Arshen dengan ekspresi aneh.
Arshen?
Dia terus berjalan, belok ke koridor, naik tangga, dan tidak menoleh sedikit pun. Seolah kejadian tadi hal biasa baginya.
Dada Yuda terasa sesak. Ada rasa tidak enak yang sulit dijelaskan.
“Arshen sering gitu?” tanya Bara lagi, kali ini pelan.
“Gila…”
...***...
Yuda berjalan santai ke kafetaria bersama Bara. Perutnya mulai protes, sementara Bara dari tadi terus menyebut-nyebut nasi goreng sosis seolah itu cinta pertamanya.
Baru turun dua anak tangga, gadis susu kotak stroberi itu muncul lagi. Kali ini bukan membawa susu, tapi minuman kaleng dingin. Merek apa, Yuda tak sempat membaca—yang langsung muncul di otaknya cuma satu kata. Pink.
Ia refleks mundur satu langkah. Trauma. Sejak kemeja putihnya dihias abstrak stroberi pekat, Yuda bersumpah tak akan pernah pakai putih lagi. Hari ini aman. Kemeja kotak-kotak coklatnya terlihat biasa, mirip anak teknik nyasar ke fakultas manajemen.
“Ini buat lo Yud …,” kata gadis itu sambil tersenyum manis.
Yuda tak tega menolak. Bukan bad boy, bukan cowok jutek ala drama. Ia … soft boy berdedikasi. Terlalu baik untuk bilang, ‘nggak usah, makasih ya.’ Jadi ia menerima, sekadar tersenyum, lalu melanjutkan langkah.
Tapi baru sampai halaman kafetaria, langkahnya terhenti. Pemandangan itu terlalu familiar dan selalu menyedihkan.
Arshen. Lagi-lagi diganggu gadis itu. Entah bagaimana gadis itu bisa lolos dari pengawasan, tapi kali ini dia mengejar Arshen yang baru saja hendak masuk kafetaria.
Arshen berjalan cepat, tidak lari, tidak kasar. Tapi jelas, ia tidak ingin diganggu.
Lalu…
Brugh!
Gadis itu tersandung, jatuh ke lantai kasar.
Yuda mengira Arshen bakal terus berjalan, karena biasanya begitu. Tapi kali ini berbeda. Arshen berhenti. Balik badan. Langkahnya pelan. Ia menarik tangan gadis itu. Dan bukannya menjauh, ia membawanya ke depan kafetaria.
Di sana, di dinding dekat pintu kafetaria, ada kotak P3K. Arshen membuka kotak itu, mengambil alkohol, kasa steril, dan perban. Ia berlutut, membersihkan luka gadis itu. Tangannya terampil dan terlatih, mungkin dari masa lalu yang tak pernah ia ceritakan.
Gadis itu menatap Arshen seolah ia penyelamat dunia. Lalu mendekat, jelas-jelas ingin menciumnya.
Tapi Arshen…
Menoyor dahinya ringan, tepat di tengah. “Jangan mulai,” bisiknya, bibir bergerak tapi bisa terbaca dari kejauhan.
Yuda terdiam.
“Dia … baik banget ya?” bisik Bara di sebelahnya, nadanya berubah.
Yuda tidak menjawab. Karena ia juga tak tahu, siapa yang lebih menyakitkan. Gadis yang tak bisa lepas dari delusinya, atau Arshen, yang tahu betul delusinya dan tetap mengobatinya tanpa pamrih.
...***...
Arshen duduk di kafetaria. Satu meja bundar ditempati Yuda dan Bara untuk makan bareng, sementara satu meja lagi ia pakai buat laptop. Di depannya, semangkuk mie goreng dan ketupat menunggu. Aromanya menenangkan, rasanya … terlalu familiar.
Ia tak punya banyak teman, jadi ikut makan bareng mereka. Biar tidak dibilang kesepian. Walau sebenarnya, memang itulah faktanya. Arshen terlalu jenius kadang sombong dan berkata-kata tajam makanya banyak yang tidak suka atau justru iri pengin seperti dia.
“Bro…” ujar Yuda, sambil mengunyah bakwan setengah kriuk. “Gue serius nanya … itu cewek, yang tadi … dia siapa?”
Arshen menahan jawabannya. Suapan mie tergantung di ujung garpu. Mata Yuda penuh ingin tahu, sementara Bara berhenti mengunyah sosis goreng, menunggu.
“Nggak perlu dijawab kalau gak nyaman,” ujar Bara.
Arshen mendesah pelan. “Namanya Elara. Dia satu SMA sama gue.”
Yuda menaikkan alis, bersandar. “Oke. Terus?”
“Gue suka dia dulu,” jawab Arshen datar. “Tapi dia gak pernah lihat ke arah gue. Dia lebih milih pacarnya waktu itu. Senior. Anak OSIS. Pintar, katanya.”
Bara bertanya, “dan cowoknya?”
“Meninggal. Bunuh diri. Gagal skripsi, tiga kali berturut-turut,” jawab Arshen, nada datar, seperti membaca berita pagi. “Sejak itu, Elara gak pernah pulang ke rumah. Katanya hilang arah. Otaknya nggak kuat nerima kenyataan.”
Yuda terdiam, tangannya berhenti menggenggam sendok. Matanya menatap Arshen penuh campur aduk. “Dan sekarang, giliran dia ngejar lo?” tanyanya.
Arshen mengangguk pelan. “Lucu ya? Dulu gue yang cari-cari dia. Sekarang giliran dia, tapi dia bukan orang yang sama. Otaknya, bukan dia yang dulu.”
Ia kembali menatap mie gorengnya. Dingin sedikit, tapi ia sudah terbiasa. Tangannya meraih laptop di meja sebelah, membuka terminal, dan lanjut mengetik kode. Masih ada dua bug dari proyek freelance kemarin malam yang belum selesai.
Baru beberapa baris kode diketik, diganggu Bara yang gelisah.
“Shen! Laptop gue nge-bug. Layarnya ngedip terus,” katanya sambil membuka laptop dan menyerahkannya.
Arshen menggeser kursi, menelan suapan terakhir, lalu mulai memeriksa laptop Bara. “Ini drivernya bentrok. Nanti gue reinstallin yang stabil,” katanya sambil tetap fokus mengetik.
Yuda ikut menengok, lalu tiba-tiba teriak dramatis, “GUE STRES.”
Arshen melirik.
Yuda meletakkan ponselnya di meja, layar masih menyala. Ada goresan kecil di ujung body HP barunya. “Ada lecet,” keluh Yuda, nafas berat, seolah kehilangan masa depan.
Arshen mendelik, malas. “Tambal aja pake semen,” ucapnya datar, lalu kembali mengetik.
Bara langsung tertawa ngakak. Yuda manyun, pura-pura marah.
Tapi Arshen tahu, mereka berdua meski kadang absurd, kadang lebay adalah satu-satunya hal normal yang masih menemaninya hari ini.
Kupat dan mie goreng tinggal beberapa suap lagi. Tangannya baru saja mengangkat garpu, siap menyuap, ketika sebuah kepala muncul dari samping.
Lembut. Aroma sabun bunga. Elara.
Tanpa permisi, dia duduk tepat di sebelah Arshen dan memeluk lengannya. Lengan kanan yang sedang mengangkat garpu.
“Nggak usah buru-buru makan. Aku udah kenyang kok … gak bakal minta asal kamu nggak tinggalin aku lagi,” kata Elara sambil nyender, suaranya lembut seperti dulu, tapi ada nada berbeda sekarang. Seperti anak kecil yang takut mainannya direbut.
Arshen hanya diam, menarik napas dalam-dalam. “Jangan begini, Elara,” ujarnya pelan, rendah, menahan sesuatu yang hampir meledak.
Gadis ini, dulu pernah Arshen perjuangkan. Pernah jadi pusat dunia kecilnya. Dan kini duduk di sebelahnya seolah tak terjadi apa-apa. Padahal yang ada di hadapannya bukan Elara yang dulu.
Tiba-tiba, Elara merebut garpu dari tangannya. Dia menyuap sendiri mie sisa Arshen, lalu menghentakkan kaki ke lantai.
“Enak banget!” serunya, ekspresinya bersinar. “Kamu baik banget, Arshen! Kasih aku hadiah seenak ini!”
Hadiah?
Itu sisa makanannya.
Arshen terdiam, tapi tanpa sadar tersenyum. Samar, lelah, tapi hangat. Elara masih dia, walau tidak sepenuhnya.
Terdengar suara cekikikan pelan. Arshen melirik.
Yuda dan Bara. Mereka saling pandang, lalu menatap Arshen dengan wajah dramatis—mengharu, jijik. Yuda menggigit mulut, pura-pura menahan tangis. Bara mengelus dada, pura-pura mewek.
“Aww … dia masih sayang,” bisik Yuda pelan, tapi sengaja dikerasin.
Arshen membuang nafas panjang. “Mau gue masukin mie ke hidung kalian?”
Mereka tertawa. Elara ikut tertawa juga, padahal ia tidak tahu kenapa. Di tengah semua itu, Arshen sadar lagi. Hidup ini lucu. Pahit. Tapi kadang bisa semanis mie goreng dingin.
Mereka keluar dari kafetaria—Yuda, Arshen, Bara … dan tentu saja, Elara.
Gadis itu berjalan menempel di sisi Arshen, seperti bayangan yang menolak pergi. Langkahnya ringan, ekspresinya senang. Seolah dunia ini baik-baik saja.
Padahal Arshen masuk ke gedung kuliah lebih dulu. Pintu ditutup perlahan.
Yuda mengira Elara bakal ikut maksa masuk, atau ngetuk-ngetuk kaca sambil nyanyi lagu mellow ala FTV. Tapi tidak.
Dia hanya berdiri sebentar, lalu duduk di bangku depan gedung itu. Diam. Tangannya memainkan ujung bajunya. Matanya menatap pintu yang tadi tertutup.
Dan di situ, Yuda merasa ngilu. Gadis itu tahu. Tahu Arshen akan keluar dari sana nanti. Dan dia akan menunggu.
Yuda menarik napas. Ada sesuatu yang meletup di dadanya. Campuran antara kasihan dan kepikiran.
“Sembuhlah, El …,” gumamnya dalam hati, refleks berdoa.
Untuk Elara. Dan juga buat Arshen yang kisah cintanya, kalau dijual ke penulis drama Korea, bisa tayang 24 episode tanpa filler.
“WOY!”
BRUKK!
Sesuatu mendarat di kepalanya. Kardus bekas gula pasir. Ulah Bara.
Yuda menoleh. “Apaan sih?!”
Bara sudah di depan sana, nyengir, jalan sambil mainin kunci motornya. “Jangan bengong. Lo bisa kasihanin orang, tapi jangan sampai ditinggalin juga. Nanti bangku lo jadi tempat nungguin gebetan yang nikah sama orang lain.”
Yuda mendengus, mengambil kardus itu dari tanah, lalu berlari kecil mengejar Bara.