NovelToon NovelToon
DEBU (DEMI IBU)

DEBU (DEMI IBU)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Poligami / Keluarga / Healing
Popularitas:18.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”

Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.

Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.

Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.

Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.

Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.

Tapi… akankah harapan itu terkabul?

Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9. Keadilan

Usai sarapan, Rima menatap Ardi yang baru saja meletakkan sendoknya.

"Ardi," suaranya lembut, tapi mengandung arah yang jelas. "Kau ke sekolah Kevia semobil saja denganku."

Ardi tidak menoleh, hanya meneguk air putih lalu menjawab datar, "Gak usah. Aku dan Kevia naik ojek online saja."

Rima menghela napas panjang, pura-pura tersinggung. "Ardi, sekarang kau suamiku, bukan orang susah lagi. Ngapain naik ojek kayak suami orang susah?" Ucapannya meluncur dengan senyum tipis, lalu matanya sekilas melirik Kemala. Sebuah tatapan yang seperti pisau, seolah ingin menegaskan:

"Lihat, kau orang susah, dan aku yang pantas berdiri di sisinya sekarang."

Kemala hanya menunduk sebentar, lalu mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Tidak ada bantahan, tidak ada ekspresi marah. Justru diamnya itulah yang membuat serangan Rima terasa menggema lebih lama.

Kevia menunggu, matanya berpindah dari ayah ke ibu tirinya. Sedangkan Riri hanya melirik sekali, acuh, seperti menonton pertunjukan yang sudah sering ia lihat.

Ardi akhirnya mengangkat wajah. Tatapannya menajam, tapi suaranya tetap terkendali. "Gak semua orang yang naik ojek orang susah."

Belum sempat suasana mereda, Rima cepat memotong, bibirnya melengkung penuh keyakinan. "Tapi sembilan puluh sembilan persen emang gitu, 'kan?"

Ia menyandarkan tubuh, nada suaranya seperti sedang memberi pelajaran. Lalu dengan sikap penuh kepemilikan, ia menambahkan, "Sudahlah. Kau bawa mobilku. Pulangnya nanti naik taksi."

Kemala tetap terlihat tenang, tapi jarinya meremas sendok di tangannya, namun ia tetap diam. Baginya, meladeni ucapan Rima hanya akan memperpanjang luka.

Ardi menutup mata sebentar, menarik napas panjang. Ia tahu betul, setiap kalimat Rima adalah jebakan, selalu menyisakan racun kecil yang menyasar Kemala. Berdebat hanya akan memberi panggung lebih besar untuk istri barunya itu menyakiti wanita yang ia cintai.

Akhirnya, ia memilih menyerah. Tangannya terulur, mengambil kunci mobil yang Rima sodorkan. Tak ada kata lain.

Pagi itu udara masih terasa sejuk, tapi di dalam rumah, hawa tegang menggantung. Kunci mobil yang berpindah tangan bukan hanya soal kendaraan, tapi juga soal gengsi, kekuasaan, dan luka yang terus digali.

Mobil Rima melaju meninggalkan halaman, dengan Ardi di balik kemudi. Di kursi belakang, Kevia duduk diam, menatap jalanan yang berlari mundur di balik jendela.

"Ayah…" suara kecilnya ragu, tapi jelas.

Rima yang duduk di sebelah Ardi meliriknya. Ardi menoleh sekilas, tatapannya bertemu dengan sorot mata putrinya di kaca spion.

"Kenapa, Sayang?"

Kevia menggigit bibir bawahnya, lalu memberanikan diri.

"Kalau aku… tetap sekolah di sekolahku yang sekarang… apa nggak boleh, Yah?"

Pertanyaan itu membuat Ardi hening sejenak. Tangannya menggenggam erat setir, lalu ia menarik napas.

"Sekolahmu yang sekarang terlalu jauh dari rumah kita, Via," jawabnya, lembut tapi tegas. "Akan lebih baik kalau kamu sekolah di tempat Riri. Lebih bagus dan lebih dekat. Fasilitasnya lengkap. Kamu juga nggak akan capek di jalan."

Kevia terdiam, menunduk. Ada firasat yang tak enak menggelayut di hatinya, tapi ia tak ingin membuat ayahnya kecewa.

"Baiklah, Yah…" gumamnya lirih.

Mobil terus melaju. Dari kursi penumpang, Rima menyunggingkan senyum samar, puas dengan keputusan itu. Namun, di balik tenangnya wajah Ardi, dingin yang beku tetap menggantung. Setiap kali ada kesempatan, ia menjaga jarak.

***

Hari-hari berlalu, Ardi tetap saja dingin, sementara Rima tak berhenti mencoba meluluhkan hatinya. Hingga suatu malam, kegelisahan membangunkan Rima dari tidur. Tangannya meraba sisi ranjang. Kosong, dingin, sepi.

"Ke mana Ardi?"

Jantungnya berdegup tak karuan. Samar, ia menangkap derap langkah dari luar kamar. Perlahan ia bangkit, menahan napas, seolah takut suara detak jantungnya sendiri memecah keheningan.

"Jangan-jangan… tidak, jangan berpikir buruk dulu."

Rima melangkah keluar. Lorong yang temaram seakan menjelma panjang tanpa ujung. Di ujung sana, cahaya lampu redup menorehkan siluet Ardi. Sosok itu berdiri kaku di depan pintu Kemala, ragu sesaat, sebelum jemarinya terulur menyentuh gagang pintu.

"Dia… mungkin hanya ingin memastikan Kemala baik-baik saja," gumam Rima, setengah meyakinkan diri yang tak yakin. Sebab ia tahu, setiap kali terbangun di pagi hari, sisi ranjang itu selalu kosong. Dingin.

Namun Ardi tidak sekadar menengok. Pintu didorong perlahan, tubuhnya lenyap ke dalam, dan… menutup rapat di belakangnya.

Rima terpaku. Hening.

"Dia hanya memastikan. Ya, hanya itu."

Detik merangkak menjadi menit. Lima. Sepuluh. Dua puluh. Setengah jam berlalu. Tak ada tanda Ardi keluar.

Rima merasakan darahnya mendidih. Genggamannya mengeras. Rahangnya mengatup.

"Ardi… sudah seminggu kita menikah, tapi bahkan sekali pun kau belum menyentuhku. Nafkah batin yang seharusnya menjadi hakku… tak pernah kau berikan. Dan ternyata, diam-diam kau tinggalkan aku di tengah malam, hanya untuk kembali ke istri lamamu yang sakit-sakitan itu."

Matanya berkilat, bukan sekadar cemburu, tapi juga terhina. Perlahan ia berbalik, melangkah kembali ke kamarnya. Namun di kepalanya, sesuatu mulai tersusun rapi.

"Baiklah, Ardi. Kalau kau pikir bisa mempermainkan aku, kau salah besar. Aku akan membuatmu menyesal. Aku akan memastikan… kau hanya milikku."

***

Besok malamnya, ketika Ardi masuk ke kamar, pintu tiba-tiba tertutup kembali. Suara klik terdengar jelas. Ia menoleh, Rima berdiri di sana, tangan masih menempel pada kunci.

“Kenapa kau mengunci pintu?” tanya Ardi, alisnya berkerut.

Rima tersenyum manis, senyum yang justru terasa menusuk. “Agar suamiku tak keluyuran tengah malam.”

“Apa maksudmu?” Tatapan Ardi tajam, dingin.

Rima melangkah mendekat, tatapannya menajam namun bibirnya masih tersenyum samar.

“Kau tidur di sisiku, tapi bangun di sisinya… Kemala. Katakan, Ardi, bukankah itu tak adil untukku?” Suaranya lirih, tapi sarat dengan tuntutan yang dibalut kelembutan.

Ardi menoleh perlahan. “Kau sendiri yang memaksaku tidur bersamamu, dengan alasan kita baru menikah. Aku maklum. Tapi jangan lupakan satu hal Rima, istriku bukan hanya kamu. Aku harus berlaku adil pada kalian berdua.” Ucapannya datar, nyaris tanpa emosi.

“Adil?” Rima terkekeh pelan, getir menyelusup dalam tawanya. Ia menatap tajam ke arah suaminya.

“Kalau begitu, Ardi… buktikan keadilanmu itu.”

Ia kemudian melepaskan kimono tipis yang membalut tubuhnya. Lingerie elegan menempel sempurna di tubuhnya, menyiratkan keanggunan sekaligus keberanian.

Ardi langsung memalingkan wajah. “Apa yang kau lakukan?” suaranya berat, menahan gejolak yang lebih mirip pada ketidaksukaan daripada tergoda.

Rima mencondongkan tubuh, senyum menggoda di bibirnya. “Kenapa kau memalingkan wajah? Takut tak bisa menahan diri?”

“Aku hanya merasa risih melihat seorang wanita berpakaian begitu,” balas Ardi singkat, lalu membaringkan tubuhnya di ranjang. Sikapnya tenang, tapi jelas menjauh.

Rima tidak menyerah. Ia duduk di tepi ranjang, jemarinya pelan mengusap dada bidang Ardi, seolah ingin memecahkan lapisan es yang melindungi hati pria itu.

“Ardi,” bisiknya lembut, hampir seperti doa, “aku ingin hakku. Aku ingin kau melihatku… sebagai istrimu.”

Namun Ardi tak bergerak, tatapannya lurus ke langit-langit, wajahnya datar tanpa emosi.

“Maaf. Aku tak berhasrat padamu.”

Kata-kata itu jatuh begitu dingin, lebih menusuk daripada penolakan kasar.

Rima menelan ludah, tangannya terhenti di dada Ardi. Dadanya naik-turun menahan gelora yang bercampur amarah. Ia tersenyum kecut, meski matanya meredup, campuran sakit hati dan obsesi.

Ardi tetap seperti batu, membiarkan hening mendominasi ruangan.

***

Pagi itu, halaman rumah besar berdenyut dengan kesibukan kecil. Sopir sudah menyalakan mesin mobil, knalpot mengepul tipis di udara sejuk. Kevia dan Riri bersiap berangkat sekolah. Meski belum pindah ke sekolah Riri, hari ini Kevia harus ikut semobil, karena Ardi berangkat lebih pagi, tak sempat mengantar.

Riri melangkah lebih dulu. Begitu pintu mobil terbuka, ia berhenti, menoleh dengan wajah cemberut.

“Bu, aku nggak suka ada orang lain duduk di sampingku.” Tatapannya menyapu Kevia dengan dingin. “Dia duduk di depan saja. Sama sopir.”

Kevia terdiam, tubuhnya seakan membeku. Jemarinya menggenggam tali tas begitu kencang hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menunduk, menelan perih yang mendesak di dadanya.

“Riri—”

...🌸❤️🌸...

Next chapter...

"Ardi… kau kenapa?” suara Kemala panik, tangannya refleks mengusap lengan suaminya.

“Ayah, kenapa?” Kevia ikut maju, mata mungilnya penuh cemas.

Ardi menunduk, napasnya berat. “Kepalaku… rasanya berat…

To be continued

1
Marsiyah Minardi
Ya ampun kapan kamu sadar diri Riri, masih bocil otaknya kriminil banget
septiana
dasar Riri mau lari dari tanggungjawab,tak semudah itu. sekarang ga ada lagi yg percaya sama kamu setelah kejadian ini.
naifa Al Adlin
yap begitu lah kejahatan tetep akan kembali pada yg melakukan kejahatan. bagaimanapun caranya,,, keren kevin,,,
asih
oh berarti Kevin Diam Diam merekam ya
Puji Hastuti
Riri lagu lama itu
Hanima
siram air comberan sj 🤭🤭
Anitha Ramto
bagus hasih CCTVnya sangat jelas dua anak ular berbisa pelakunya,dan sangat puas dengan lihat mereka berdua di hukum,Kevia merasa lega kalo dirinya jelas tidak bersalah...,Kevin tersenyum bangga karena telah menyelamatkan Kevia dan membuktikan kepada semua siswa/wi dan para guru jika Kevia bukanlah pelakunya hanya kirban fitnah dan bully...

tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
Siti Jumiati
kalau pingsan dimasukkan aja ke kelas yang bau tadi biar cepat sadar...

rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu

makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.

semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Dek Sri
lanjut
abimasta
kevin jadi pwnyelamat kevia
abimasta
semangat berkarya thor
mery harwati
Cakep 👍 menolong tanpa harus tampil paling depan ya Kevin 👏
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Marsiyah Minardi
Saat CCTV benar benar berfungsi semoga kebenaran bisa ditegakkan ya Kevia
anonim
Kevin diam-diam menemui wali kelas - melaporkan dan minta tolong untuk menyelidiki tentang Kevia yang di tuduh mencuri uang kas bendahara. Kevin yakin Kevia tidak melakukannya dan meminta untuk memperhatikan Riri dan Ani yang selalu mencari masalah dengan Kevia.
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
anonim
Bisa kebayang bagaimana hati dan perasaan Kevia saat dituduh mencuri uang kas dengan bukti yang sangat jelas - uang kas tersebut ada di dalam tasnya. Semua teman-teman percaya - tapi sepertinya Kevin tidak.
Siti Jumiati
ah kak Nana makasih... kak Nana kereeeeeeeen.... semoga setelah ini gk ada lagi yang jahatin kevia kalaupun ada semoga selalu ada yang menolong.
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
asih
aku padamu Kevin mau gak jadi mantuku 🤣🤣😂
Puji Hastuti
Goodjoob Kevin
Anitha Ramto
bacanya sampai tegang ya Alloh Kevia😭kamu benar² di putnah dan di permalukan kamu anak yang kuat dan tinggi kesabaran,,insyaAlloh dari hasil CCTV kamu adalah pemenangnya dan terbukti tidak bersalah,berharap si dua iblis itu mendapatkan hukuman yang setimpal,balik permalukan lagi,,

Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...

sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
tse
ah keren sekali gebrakanmu Kevin...
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....
Suanti: ani dan riri harus hukum setimpalnya jgn di beda kan hukaman nya karna ank org kaya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!