Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Kemarin Saja Belum Dibayar
Bulan ini adalah bulan ke-sembilan usia kehamilan Nira. Fauzan tak terlihat batang hidungnya lagi semenjak pertemuan mereka di parkiran rumah sakit waktu itu. Nira sebenarnya merasa bersalah, tak enak hati karena telah terlalu keras pada Fauzan. Tapi, apa yang dia lakukan untuk kebaikan pria itu sendiri.
Setiap kali Nira melewati depan ruangan Fauzan, ia melirik ke sekitar, mencari, siapa tahu bisa menyapa Fauzan. Tapi, Fauzan tak terlihat. Nira juga sungkan jika harus bertanya pada teman perawat di ruangan tempat Fauzan bekerja.
Nira menghela napas panjang. Untuk kesekian kalinya, ia melewati depan ruangan Fauzan tapi tak melihat pria itu. Nira hanya ingin menyapa, bertanya kabar-sama seperti dulu. Sebelum Fauzan menyatakan perasaannya, ia adalah teman Nira yang paling baik dan perhatian.
‘Ya sudahlah. Sepertinya dia memang sengaja menghindariku. Semoga dia mendapat jodoh yang baik.’
Maka, Nira tak lagi melewati ruangan Fauzan. Walau dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia berharap masih bisa berteman dengan pria baik itu.
Hari ini adalah hari terakhir Nira masuk kerja. Besok ia sudah mengambil cuti untuk dua bulan ke depan. Cuti melahirkan.
“Tuh ‘kan. Belum juga nafas, Nira udah cuti lagi aja,” ucap Fiza di sela-sela mengerjakan pekerjaannya.
“Lah? Belum nafas? Kemarin-kemarin mati lo?” tanya Rini mendengus.
Nira menggeleng, tersenyum. “Ya udah deh. Untuk menyambut hari libur panjang gue selama tiga bulan, gimana kalau gue traktir kalian makan bakso?”
“Ogah. Bakso doang. Steak lah,” tolak Fiza.
“Eh busyet. Lo pikir Nira libur tiga bulan buat liburan? Jangan diturutin, Nir. Sayang duit lo. Mending buat biaya lahiran ketimbang buat nraktir temen laknat satu itu,” ujar Rini yang langsung mendapat pelototan tajam dari Fiza.
“Ah elah. Cuma steak satu porsi berapa sih. Nira juga ‘kan lahiran di rumah sakit ini,” balas Fiza.
“Nggak. Ditraktir kok minta yang mahal. Nggak sopan lo.”
“Udah. Udah. Jangan debat. Nanti kalau ada keluarga pasien lewat, bisa mikir yang enggak-enggak.” Nira menengahi kedua temannya yang sering bertengkar hanya karena makanan.
“Jadi gimana? Nraktir apaan?” tanya Fiza lagi masih tak mau mengalah. Lumayan lah kalau beneran ditraktir steak di tanggal menjelang tua begini, pikirnya.
“Boleh deh. Steak yang di dekat jalan protokol utama ya. Mau nggak?” Nira menatap Fiza dan Rini bergantian.
“Sip deh,” angguk Fiza antusias.
Rini menghela napas pendek tapi mengangguk juga. Fiza sontak menjulurkan lidahnya, meledek Rini yang langsung memutar bola matanya jengah.
Karena mereka satu shift, maka Nira mentraktir kedua temannya itu sepulang bekerja. Ia sudah mengirim pesan pada Riki bahwa ia hendak pergi bersama teman-temannya. Riki tak keberatan.
***
Selama libur cuti, Nira mempunyai kegiatan baru di pagi hari. Yaitu jalan-jalan pagi di sekitar kompleks rumah yang ia sewa. Jalan-jalan pagi bagus untuk wanita hamil terutama yang sudah memasuki trimester terakhir. Bagus juga untuk mempercepat proses kelahiran.
“Kamu udah mau berangkat kerja?” tanya Nira saat memasuki rumah dan melihat Riki menuruni tangga dengan pakaian kerjanya yang rapi.
“He’em,” angguk Riki mendekat, mencium kening Nira yang berkeringat. Tak masalah. Nira selalu cantik dalam keadaan apapun.
Nira pandai merawat diri. Ia selalu berdandan setiap keluar rumah hingga penampilannya selalu paripurna. Itulah nilai lebih Nira yang membuat Riki jatuh cinta padanya dan berusaha mendapatkannya dengan cara apapun. Termasuk menghamilinya sebelum pernikahan.
“Aku buatin sarapan roti bakar atau sandwich gimana? Aku belum sempat beli sarapan.” Nira bertanya sambil melangkah ke ruang makan.
“Aku sarapan di kantor aja. Kamu baru pulang lari pagi,” jawab Riki duduk di meja makan.
“Bikin roti bakar atau sandwich nggak lama, Sayang.” Nira melirik jam tangannya. “Masih ada waktu kok.”
“Ya udah. Cepat sedikit ya.”
“Oke.” Nira langsung bergerak cepat, menyiapkan roti dan sebagainya. Ia memilih membuat sandwich. Setelah jadi, ia meletakkannya di depan Riki. Keduanya duduk berhadapan, menikmati sarapan ala bule.
Selesai sarapan, Riki berpamitan. Ia bekerja membawa motornya sendiri karena Nira ada di rumah, maka mobilnya juga ada di rumah. Jaga-jaga jika Nira ingin kemana-mana. Lebih aman pakai mobil daripada motor.
Nira menghabiskan waktu dengan bermain ponsel, melihat-lihat info seputar kehamilan, melahirkan, dan parenting. Bosan, ia ganti menonton TV. Kesehariannya dihabiskan dengan rebahan. Kadang, ia mengikuti kelas ibu hamil lewat video streaming. Ngemil buah dan makan tepat waktu.
Rumah terasa sepi saat ditinggal Riki bekerja. Nira mengelus perutnya, berbisik pelan, berharap bayinya segera memberi sinyal ingin keluar melihat dunia. Nira tak sabar mendengar tangisnya di rumah yang sunyi ini.
Setiap malam, Nira dan Riki makan malam bersama. Kadang Nira yang memasak sendiri, kadang beli. Riki tak mengharuskan Nira menyiapkan segala sesuatu untuknya. Kecuali untuk urusan ranjang, Nira harus mengikuti perintah Riki. Tunduk pada permainannya.
“Ra, biaya sewa rumah bulan ini pakai uangmu dulu, gimana?” tanya Riki setelah mereka selesai makan malam.
Nira menatap Riki. “Kenapa?”
“Gajiku nggak full bulan ini. Kinerjaku menurun. Mereka menahan gajiku sementara.”
Nira mengernyitkan dahi. “Kamu aja apa semua karyawan?”
“Nggak tahu.”
“Perusahaan tempatmu bekerja itu besar loh. Masa bayar karyawannya nggak penuh?”
Riki mengedikkan bahu. “Aku nggak tahu, Sayang. Tapi gajiku dibayar separuh doang.”
“Sisanya?”
“Aku nggak tahu.”
“Kok nggak tahu sih? Emang kamu nggak tanya ke atasan kamu?” Suara Nira tanpa sadar meninggi.
Riki menyipitkan mata, menatap Nira. “Kamu nggak mau bayar sewa sementara? Kamu bertanya seolah kamu curiga sama aku. Aku nggak bohong soal ini, Nira.”
“Bukan. Bukan curiga. Hanya saja—“
“Hanya apa? Kalau nggak mau, ya udah bilang aja. Ucapan sama ekspresi wajahmu itu nunjukin kalau kamu nggak percaya dengan omonganku!” Riki berdiri dengan raut wajah kesal.
“Nanti biar aku minjem orang aja!” Lanjut Riki tanpa menoleh.
Nira menghela napas. Yang kemarin saja uang transport Riki dan keluarganya belum dibayar Riki sama sekali. Dan sekarang, dia juga harus membayar sewa rumah lagi. Bukan perhitungan, hanya saja, sesuai kesepakatan mereka sebelum menikah, uang sewa rumah itu tanggungan Riki. Dan bukannya wajar kalau semua keuangan setelah menikah itu keluar dari uang suaminya?
Saat Nira masih duduk diam di meja makan, perutnya tiba-tiba terasa dicengkeram. Nira refleks mengaduh dan memegangi perutnya.
Sebagai seseorang yang bekerja di dunia medis, ia tahu ini kontraksi hendak melahirkan. Perutnya mulas. Nira mencengkram erat dan berseru tertahan,” Riki! Rik, tolong!”
Nira mengambil napas dalam saat kontraksi itu menyerang. Sebentar membaik, sebentar datang lagi. Nira berusaha berdiri. Berjalan pelan, tertatih saat kesakitan itu menyerang.
“Riki! Riki!”
Riki yang merokok di luar, menoleh ke dalam. Ia mendengar seruan Nira, tapi memilih acuh. Ia masih kesal perkara Nira yang tak mau membayar sewa rumah untuk sementara.
“Riki! Anakmu mau lahir, Rik! Riki!”
Seruan itu terdengar lagi. Mendengar kata ‘anak’, Riki langsung berdiri dan masuk ke dalam. Nira berdiri di ambang pintu ruang tengah, mencengkram pinggiran pintu dengan dahi berkeringat dan tangan satunya menekan perut.
“Ya Tuhan.” Riki gegas mendekat dan memapah Nira menuju pintu keluar.
Mereka harus segera ke rumah sakit. Setelah mendudukkan Nira, mengambil tas keperluan yang sudah disiapkan, Riki membawa mobilnya melaju cepat menuju rumah sakit.
Riki terdiam, duduk di barisan kursi depan ruangan. Nira tengah berjuang di dalam sana. Riki tak sanggup melihat prosesnya. Ia tak kuat melihat darah.
Dua jam berselang, Nira sudah berada di dalam ruang rawat inap. Bayinya ada di dalam ruang bayi untuk observasi. Riki duduk di kursi sebelah ranjang.
“Rik, tolong kabari Ibu sama Bapak. Kalau mereka mau datang ke sini, kamu kirimkan uang. Ambil ATM-ku di tas kerjaku. Pinnya tanggal pernikahan kita. Ambillah satu juta buat ongkos beliau.
Riki mengangguk. Ia membubuhkan kecupan hangat di dahi Nira lalu pergi keluar ruangan.
***
“Gantengnya cucu Oma,” ucap Sinta menimang cucunya.
Sinta dan Mardi langsung datang ke kota begitu Riki menelepon, mengabarkan Nira sudah melahirkan. Raut wajah bahagia terlihat jelas di wajah kedua orang tua Nira melihat bayi yang menggemaskan.
“Sudah kamu kasih nama, Nira, Riki?” tanya Mardi pada Nira dan Riki.
“Sudah, Pak. Arsa,” angguk Riki tersenyum pada Nira.
Nira balas tersenyum. Ia masih di ruang rawat inap. Besok baru boleh pulang.
“Nama yang bagus.” Mardi tersenyum lebar. Cucu keduanya lahir dengan sehat dan selamat.
“Rik, tolong ambilkan ponselku di atas meja,” ucap Nira.
Riki mengangguk. Ia juga menyerahkan ATM milik Nira. Nira lantas mengecek m-banking di ponselnya. Matanya sontak terbelalak saat melihat isi saldonya dan juga berapa nominal uang yang diambil Riki.
Nira menatap Riki. Riki sedang berbincang santai dengan Mardi. Nira menghela napas. Belum saatnya membicarakan ini. Belum. Tidak di depan kedua orang tuanya.