NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30 Dia Belum Meninggal

Saat Alex baru membuka mata, kebingungan langsung menyergapnya. Semua orang memandangnya dengan wajah tegang — Eve dan Daisy di sisi ranjang, lalu Edgar, Rayyan, Manda, dan Nic.

Mereka semua menatapnya dengan ekspresi yang sama: serius, cemas, menunggu.

Pandangan Alex beralih ke Edgar, dan tiba-tiba satu nama melintas begitu jelas di pikirannya.

“Damien?” suaranya serak, tapi tegas.

“Ya, Damien,” sahut Nic cepat. “Ada apa dengan Damien, Alex?”

Nada Nic terdengar hati-hati tapi mendesak. Setelah mendengar penjelasan Edgar dan memantau perkembangan Alex selama ini, ia tahu ada sesuatu yang salah.

Namun bahkan Nic sendiri belum tahu bagian mana yang sebenarnya keliru, sampai membuat Alex begitu sensitif terhadap nama itu.

Ruangan menjadi sunyi. Semua yang hadir menunggu kelanjutan dari Alex. Mereka pikir ia akan menjawab pertanyaan Nic — tapi justru, ia balik bertanya.

“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa dengan Damien?” Tatapan Alex berkeliling dari satu wajah ke wajah lain. “Dia anakku, kan? Kenapa kalian semua menyembunyikannya dariku?”

Tatapannya akhirnya berhenti pada Eve. “Eve, ada apa di sini? Damien anak kita juga, kan?”

Eve menatap suaminya, dan seulas kecewa sempat berkelebat di matanya.

Waktu itu Nic berkata, amnesia Alex bisa saja bersifat sementara. Tapi juga bisa permanen … atau bahkan memburuk seiring waktu.

Dia berharap yang dialami suaminya hanya sementara. Bahwa saat Alex sadar nanti, semua akan membaik. Tapi ternyata—

Apakah ini artinya amnesia Alex menjadi permanen?

Namun, melihat Alex sadar dan bisa berbicara setidaknya membuatnya sedikit lega. Ia menyentuh lengan Alex perlahan, mengusapnya dengan lembut.

“Ya, Damien anak kita. Kita punya anak kembar, Damien dan Daisy. Tapi Damien sudah meninggal, Alex. Dia lahir dengan kelainan jantung. Kau sudah berusaha keras menyembuhkannya, dan Damien sudah bertahan dengan sangat kuat.”

Meninggal?

Tidak. Tidak mungkin. Tidak secepat itu.

Alex menggeleng keras. “Tidak … dia masih hidup. Anakku tidak mungkin meninggal.”

“Alex.” Eve menatapnya sedih, “Aku tahu ini sulit diterima, tapi kami tidak bermaksud menyembunyikannya. Aku hanya takut kondisimu makin buruk kalau harus menghadapi semuanya sekaligus. Damien meninggal di malam yang sama saat kau kecelakaan.”

“Dia tidak meninggal, Eve!”

Nada suara Alex meninggi. Kemarahan dan kepanikan bercampur jadi satu. Kata-katanya terdengar seperti bentakan — tajam, menusuk, membuat semua orang di ruangan itu tertegun.

Eve terdiam. Pandangannya kosong menatap Alex — untuk pertama kalinya, pria itu benar-benar membentaknya.

Begitu kesadarannya kembali, Alex menatap Eve dan Daisy. Wajah keduanya tampak terkejut, takut, terluka.

Dadanya terasa sesak. Ia tak bermaksud menakut-nakuti mereka. Ia bahkan tidak tahu apa yang baru saja ia lakukan. Pikirannya penuh, seperti ombak besar yang menggulung tanpa henti di dalam dadanya.

“Maaf ….” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Tolong … tinggalkan aku sendiri.”

Satu per satu mereka keluar dari ruangan. Hingga akhirnya, hanya tersisa dua orang — Alex dan Nic.

Nic menarik kursi dan duduk di sisi tempat tidur Alex, mencoba bicara dengan nada yang tenang.

“Alex, hal tentang Damien adalah yang paling kami khawatirkan. Aku tahu kau tidak akan stabil jika mendengar kebenarannya, tapi kau harus belajar menerima, Alex.”

“Aku bilang Damien tidak mati!” Alex membalas cepat, suaranya bergetar menahan emosi. “Anakku belum meninggal, Nic! Dia tidak bisa meninggalkan kami secepat ini. Tidak bisa ….”

“Aku tahu kau sedang berjuang melawan amnesia, tapi kenapa kau begitu keras kepala?” Nic mulai kehilangan kesabaran. “Kalau kau terus menyangkal kenyataan, kau tak akan bisa pulih, Alex.”

“Berhenti berkata seperti itu!” bentak Alex. Nada suaranya meninggi lagi, penuh amarah yang tak bisa ia kendalikan. “Aku bilang Damien belum meninggal! Dia masih hidup!”

“Tapi kenyataannya dia sudah meninggal, Alex!” balas Nic dengan suara tegas. “Jasadnya sudah dikremasi, dan abunya dikubur di pemakaman umum kota ini.”

Alex kembali menggeleng keras. “Tidak … dia belum meninggal. Damien belum meninggal!”

“Alex!” Nic akhirnya ikut meninggikan suara. “Baik! Jika kau memang yakin dia masih hidup, coba jawab aku — di mana dia sekarang, hah? Di mana anakmu itu? Apa kau bisa menjelaskan pada istri dan anakmu di mana Damien berada?!”

“Dia ….”

Alex terhenti. Sebuah rasa sakit tajam menghantam kepalanya begitu keras hingga ia hampir kehilangan keseimbangan. Tangannya menekan pelipis dan dahi, berusaha menahan nyeri yang semakin menjadi.

“Alex, jangan paksa dirimu berpikir!” seru Nic panik.

Alex mengerang, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang seperti dipukul dari dalam. Napasnya berat, terputus-putus.

“Alex!” Nic menahan bahunya. “Kau tidak boleh memaksakan dirimu! Tenang, Alex. Aku akan memberimu obat, istirahatlah dulu!”

Setelah perawat datang dan memberikan obat penenang, tubuh Alex perlahan mereda. Nafasnya mulai teratur, matanya menutup, dan suaranya tenggelam dalam keheningan.

“Tidurlah,” bisik Nic lirih, masih menatap wajah sahabatnya itu. “Jangan siksa dirimu lagi. Damien mungkin sudah pergi, tapi istri dan anakmu masih bergantung padamu. Bertahanlah untuk mereka, Alex ….”

Kata-kata itu mungkin tak sepenuhnya didengar Alex, tapi masih bergema samar di telinganya saat kesadarannya perlahan hilang.

Begitu Alex benar-benar terlelap, Nic keluar dari ruangan. Eve segera menghampirinya dengan wajah tegang.

“Nic, bagaimana keadaannya?”

Nic menarik napas berat. “Dia sudah tertidur. Aku memberinya obat penenang, tadi kepalanya kembali kontraksi karena terlalu memaksa mengingat. Tapi … kau sudah melakukan yang benar, Eve.”

Eve menunduk. “Aku tahu dia marah, tapi aku tidak ingin terus berbohong padanya.”

Nic tidak menjawab. Ekspresinya rumit, seperti menahan sesuatu yang tak ingin ia katakan. Ia hanya menepuk bahu Eve pelan, lalu berjalan pergi tanpa banyak kata.

Rayyan yang sejak tadi menunggu di lorong langsung mengejarnya. Ia menyusul Nic ke ruangannya. “Nic, jelaskan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Nic menatap Rayyan sejenak sebelum menjawab dengan nada rendah.

“Ray, Alex benar-benar tidak mengingat apa pun. Dan setiap kali dia berusaha mengingat, rasa sakit di kepalanya akan semakin parah. Aku tidak punya pilihan lain selain menegaskan padanya bahwa Damien sudah tiada.”

“Tapi dia bersikeras kalau Damien masih hidup tadi.”

Nic menghela napas panjang sebelum menjatuhkan diri di kursinya. “Ya, dia memang terus-menerus berkata kalau Damien masih hidup. Tapi dia tidak bisa mengingat apa pun, Ray. Kalau dia terus memaksa diri mengingat dalam keadaan sekarang, dia hanya akan merusak memorinya sendiri. Bukankah percuma meski dia yakin Damien masih hidup? Jika kerusakan di kepalanya makin parah, bagaimana dengan Eve dan Daisy? Kita tidak punya pilihan lain selain membuatnya percaya bahwa anaknya memang sudah tiada. Itu yang paling baik untuk mereka saat ini.”

Rayyan mengusap tengkuknya perlahan. Wajahnya tegang, matanya tak fokus menatap lantai.

“Padahal kalau kita menyambungkan apa yang ditemukan Edgar,” ucapnya lirih, “Jelas ada sesuatu yang tidak kita ketahui.”

Dia menarik napas, mencoba menata pikirannya.

“Yang pertama, bagaimana mungkin Alex memberi perintah untuk langsung mengkremasi jenazah Damien, padahal aku orang pertama yang datang untuk memberi kabar kematian anaknya. Aku menemuinya secara langsung, lalu dia malah mengejar Daisy dan akhirnya kecelakaan itu terjadi. Bagaimana seseorang yang sekarat bisa menelepon rumah sakit dan memerintahkan kremasi? Bahkan kalaupun bisa, dia harus tidak terlihat, karena aku bersamanya setiap detik.”

Nic menatap Rayyan lekat-lekat, matanya redup di bawah lampu ruang kerja.

“Dan yang kedua,” lanjutnya pelan, “Bagaimana Alex bisa tahu kalau sesuatu akan terjadi sampai dia menyiapkan sopir untuk membawa Eve kembali ke rumah sakit?”

Keheningan menggantung di antara mereka.

Rayyan menelan ludah, sementara Nic menyandarkan punggungnya ke kursi, suaranya merendah.

“Alex selalu bereaksi berlebihan setiap kali menyangkut Damien. Manusia memang punya kemampuan untuk menekan atau bahkan menghapus sebagian kenangan tanpa sadar. Dan kurasa, Alex telah mensugesti pikirannya sendiri untuk melupakan sesuatu yang ia rahasiakan tepat sebelum kecelakaan itu. Jadi, saat kepalanya mengalami cedera berat, memori yang ia coba sembunyikan itu benar-benar menghilang.”

Rayyan menatap meja di depannya, suaranya melemah. “Aku hanya khawatir ... kalau Damien memang masih hidup, dia mungkin dalam bahaya sekarang. Mengingat keadaannya yang lemah terakhir kali dan tanpa perawatan yang tepat, aku takut dia benar-benar—”

Kalimatnya terhenti di udara. Tapi Nic sudah mengerti.

“Aku tahu,” ujarnya tenang namun berat. “Tapi ini rumit, Ray. Dengan kondisi Alex seperti itu, kita tidak bisa memaksanya mengingat malam itu. Kita bisa kehilangan dia sepenuhnya. Dan kalau itu terjadi, bagaimana dengan Eve dan Daisy?”

Rayyan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, napasnya terdengar berat. “Baiklah. Aku sendiri yang akan mencari Damien. Karena aku yakin, dia masih hidup.”

Tatapannya menajam. “Kalau tidak, bagaimana mungkin dia sudah menyiapkan semuanya sebelum kabar kematian Damien terdengar?”

“Tunggu, Ray.” Nic menahannya sebelum pria itu keluar. “Aku tidak melarangmu mencari Damien, tapi jangan beri harapan palsu pada Daisy dan Eve. Mereka sudah cukup hancur karena kehilangan itu. Jika ternyata Damien benar-benar tiada, mereka akan terluka untuk kedua kalinya.”

Rayyan berhenti sejenak di ambang pintu. Sebuah senyum miring terukir di wajahnya. “Pengingat seperti itu tidak kuperlukan.”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!