Karena mantan pacarnya, di mata Elizabeth semua pria itu sama saja. Bahkan setelah putus, dia tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi. Namun, seorang pria berhasil membuatnya terpesona meski hanya satu kali bertemu.
"Aku tidak akan tertarik dengan pria tua seperti dia!"
Tapi, sepertinya dia akan menjilat ludahnya sendiri.
"Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Bahkan tersenyum atau menatapnya saja tidak boleh!"
"Karena kamu adalah milik saya, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Karena sudah tidak ada yang dikerjakan, Elizabeth memutuskan ke pantry yang ada di kantor untuk membuat kopi. Sebenarnya dia bukanlah pecinta kopi, tapi, semenjak bekerja, Elizabeth selalu minum kopi. Entah kenapa, setelah minum kopi otaknya seakan lebih lancar untuk berpikir.
"Hai, Eliza."
Eliza yang sedang mengaduk kopi pun menoleh ke arah Rhys, yang sepertinya hendak membuat kopi juga.
"Hai. Kamu buat kopi juga?" tanya Elizabeth basa basi.
Rhys mengangguk. "Sedang sedikit pusing," jawabnya lalu terkekeh.
Eliza ikut terkekeh. Dia memilih duduk di kursi pantry untuk meminum kopinya. Bersantai sejenak tidak apa-apa, kan?
"Sudah dua Minggu di sini, apa kamu merasa kesulitan?" tanya Rhys. Dia ikut bergabung dengan Elizabeth.
"Biasa saja. Aku sudah memiliki pengalaman sebelumnya, jadi tidak terlalu berat," jawab Eliza santai.
"Ah, begitu rupanya." Rhys mengangguk beberapa kali seraya menyesap kopinya.
"Menurutmu, Pak Altezza itu bagaimana?" Pria itu bertanya lagi.
"Ya ... seperti itu ...?" Jawaban Eliza terdengar ragu. "Memangnya bagaimana? Galak? Aku rasa tidak. Umm ... baik hati? Mungkin iya."
"Benar. Semua apa yang kamu katakan, benar." Rhys menjentikkan jarinya.
"Tapi, apa kamu pernah melihat Pak Al dekat dengan seorang wanita?" Kali ini Rhys berbisik.
"Wanita? Tidak ada. Jadwalnya terlalu ketat, dia tidak bisa bertemu seseorang di luar jam kerja," jawab Elizabeth. "Memangnya Pak Al memiliki kekasih?" Eliza ikut berbisik.
Rhys menggeleng. "Tidak, tapi bisa jadi, iya. Setauku, dia pernah bertunangan dengan seorang perempuan. Tapi, tidak jadi menikah. Padahal mereka terlihat cocok," jawabnya semakin berbisik.
"Oh ya?" Eliza sedikit terkejut. Dia belum pernah mendengar kabar itu.
"Wajar kalau kamu tidak tau, karena hanya orang-orang kantor yang mengetahui."
"Berarti Pak Al pernah membawa perempuan itu kemari?"
Rhys mengangguk, dia menyeruput kopinya sebelum lanjut bicara. "Awalnya aku pikir tunangannya adalah seorang model, ternyata hanya gadis biasa. Tapi, El, perempuan itu benar-benar cantik! Bahkan aku pernah terpesona padanya." Telinga Rhys memerah, malu. Hal itu membuat Elizabeth tertawa ngakak.
"Ku kira kamu tidak normal!" Tangannya reflek menampar pundak Rhys. Kebiasaan Elizabeth kalau tertawa.
"Kurang ajar! Setampan diriku tidak normal?!" Rhys melotot tidak terima.
"Ayolah, Rhys, jaman sekarang yang tampan itu kebanyakan tidak suka wanita, tau!" Elizabeth mengatakan fakta yang ada.
Rhys tidak membantah, benar apa yang dikatakan Eliza. Tapi, bukan berarti dia juga termasuk, ya!
"Terserah, yang penting bukan aku!" Rhys mengibaskan tangannya acuh.
"Baiklah, baiklah, ayo lanjutkan lagi. Sampai mana tadi?" kata Eliza. Sudah dibilang, kan, kalau dia ini adalah manusia yang kepo.
"Aku penasaran secantik apa perempuan itu. Kamu ada fotonya?" lanjut Eliza.
Mata Rhys terbelalak. "Untuk apa aku menyimpan foto tunangan orang lain?!" Dia menyentil kening Eliza saking gemasnya, hal itu membuat si gadis mengaduh kesakitan.
"Tunangan Pak Altezza itu bukan selebriti atau artis, Eliza. Mana mungkin aku mempunyai fotonya? Dia benar-benar perempuan yang tertutup, bahkan kami tidak bisa menemukan akun sosial media nya."
Wow, Eliza speechless! Dia jadi penasaran secantik apa tunangan Altezza itu. Oh, ralat, mantan tunangan.
"Media juga tidak bisa mendapatkan fotonya, karena Pak Altezza benar-benar menjaga keamanan tunangannya."
"Haruskah aku mencarinya? Tapi, untuk apa? Ck! Ayolah, Elizabeth, tidak usah kepo!" batin Eliza.
"Oke, terima kasih infonya. Aku akan kembali ke ruangan. Kamu masih ingin di sini?" Eliza berdiri dan menatap Rhys yang ikut berdiri juga.
"Tidak, kalau lama-lama di sini, tugasku tidak akan selesai," balas Rhys seraya mendengus.
Eliza hanya terkekeh kecil. Setelahnya mereka segera pergi dari sana. Bisa gawat kalau bos menciduk keduanya yang sedang bergosip.
****
H-1, Eliza dan Altezza sudah berada di luar negeri, lebih tepatnya di Los Angeles untuk bertemu dengan Tuan Dreos.
Sialnya, sesampainya mereka di hotel, Eliza jatuh sakit. Sepertinya dia belum terbiasa dengan udara di sini, apalagi di LA sekarang sedang musim dingin. Jadi, setelah mandi, Eliza langsung menyelimuti tubuhnya di atas kasur. Altezza belum tau mengenai hal ini. Mereka sampai di LA sekitar jam empat sore, dan sekarang sudah jam enam sore.
Eliza mencoba untuk membuka mata yang terasa berat. Hidungnya tersumbat, dia juga merasakan sakit di tenggorokannya. Berada di posisi sekarang, rasanya Eliza ingin menangis dan mengadu pada papanya.
"Bukan waktunya menangis, El," gumamnya menggerutu. Dia berjalan mengambil air yang tersedia di nakas lalu meminumnya.
Ini bukan saatnya mengeluh, di sini dia bekerja, bukan untuk merepotkan Altezza. Jadi, Elizabeth benar-benar mencoba untuk tetap kuat meski tubuhnya lemas.
Untungnya dia membawa sweater tebal dan juga kaos kaki. Setidaknya itu bisa cukup menghangatkan tubuhnya.
Setelah memakai sweater dan kaos kaki, ponselnya berdering. Eliza segera menjawab telepon dari Altezza.
"Ayo ke luar, cari makan."
"Baik, Pak. Saya siap-siap lebih dulu."
Sambungan terputus, Eliza buru-buru menyemprotkan parfum dan memakai lipbalm, dia meraih hand bag nya sebelum keluar dari kamar hotel.
Altezza menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Dia mengerutkan dahi melihat penampilan Elizabeth.
"Ayo, Pak."
"Kamu sakit?" Altezza bertanya, mengabaikan ajakan Elizabeth.
Eliza menggeleng. "Tidak. Hanya sedikit kedinginan, jadinya flu," jawabnya.
"Ayo, saya sudah lapar." Gadis itu menyengir sembari mengusap perutnya yang berbunyi.
"Kalau kamu kedinginan, kita pesan makanan saja," ujar Altezza. Tatapan matanya tak lepas dari Elizabeth, hal itu tentu membuat Eliza tidak nyaman.
"Tidak perlu! Saya tidak apa-apa, Pak. Serius!" Eliza menunjukkan dua jarinya dengan senyum terbaik. Berusaha menunjukkan jika dia benar baik-baik saja.
Meski ragu, Altezza pun mengangguk. Akhirnya mereka berdua menuju restoran yang ada di lantai dua. Altezza tidak ingin ambil resiko mengajak Elizabeth ke luar dari gedung hotel, bisa-bisa gadis itu membeku nanti.
Mereka tidak berlama-lama di restoran. Setelah makanan habis, Altezza langsung mengajak Elizabeth kembali ke kamar.
"Jangan lupa minum obatnya." Altezza memberikan dua macam obat. Entah dari mana dia mendapatkan obat itu, Elizabeth tidak ingin ambil pusing.
"Terima kasih, Pak," ucap Elizabeth seraya menerimanya.
Altezza mengangguk. "Kalau ada apa-apa hubungi saya." Setelah mengatakan itu, ia langsung masuk ke kamarnya yang berada tepat di seberang kamar Elizabeth.
Karena sudah sangat kedinginan, Elizabeth segera meminum obat tersebut dan merebahkan diri di kasur, tak lupa dia memakai selimut tebal untuk menghangatkan tubuhnya.
Ya, semoga saja besok Elizabeth merasa lebih baik.
****
Rupanya kesialan terus menimpa Elizabeth.
Bukannya tidur nyenyak, dia malah mimpi buruk dan membuat keadaannya semakin parah. Tengah malam Elizabeth coba menelpon Altezza. Andai tidak dalam kondisi mendesak, mana mau dia menelpon bosnya. Lagi pula hanya Altezza yang Elizabeth kenal di sini, dia juga datang bersama Altezza, lalu, harus dengan siapa dia mengadu selain dengan pria itu?
"Ada apa?"
"Saya tidak bisa tidur, Pak ...." Elizabeth menghela nafas, berusaha agar tidak merengek dan menangis, seperti apa yang dia lakukan pada Austin.
"Bisa buka pintu? Saya di depan kamar kamu."
Tanpa menunggu lama, Elizabeth segera membuka pintu, dan benar saja, Altezza berdiri menjulang di depan sana, memakai kaos hitam dan celana panjang piyama berwarna senada.
Altezza masuk ke dalam dan menarik tangan Elizabeth setelah menutup pintu.
"Obatnya sudah diminum?" tanya Altezza.
Elizabeth mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Dia duduk di pinggiran ranjang dan Altezza berdiri di depannya.
"Apa yang sakit? Mau saya panggilkan dokter?"
"Mimpi buruk, saya tidak bisa tidur," jawab Elizabeth, dia menarik ingusnya.
Sedang sakit seperti ini, rasanya Elizabeth ingin memeluk mamanya dan merengek pada papanya. Meski sudah 25 tahun, dia tetaplah anak bungsu yang manja.
Altezza menyuruh Elizabeth agar merebahkan tubuhnya di kasur. Setelahnya dia ikut naik dan duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Tidur, saya temani."
Elizabeth mengusap air matanya yang terjatuh, ia pun memejamkan matanya mencoba terlelap. Sedangkan Altezza hanya diam memperhatikan wajah sembab Elizabeth. Dia merasa sedang merawat bayi besar sekarang. Tau akan terjadi seperti ini, Altezza lebih baik mengajak Baskara saja.
Bersambung...