Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Rombongan dari Kekaisaran Siu berangkat saat fajar pertama menembus cakrawala. Di bawah cahaya keemasan, Bai Xue Yi berdiri di punggung kuda putih, menatap ke arah istana yang kini ia tinggalkan sementara. Wang Ji berdiri di gerbang utama, mengenakan jubah hitam berhias naga perak. Ia tak berkata apa pun cukup satu tatapan dalam yang berbicara lebih dari seribu kata perpisahan.
“Jangan terlalu lama menungguku,” kata Xue Yi dengan suara bergetar tapi tegar.
“Aku tidak akan menunggu,” jawab Wang Ji lembut. “Karena hatiku sudah ikut bersamamu ke Bai.”
Ia tersenyum samar, dan Xue Yi menunduk dalam, menahan air mata. Ia lalu memberi aba-aba pada pasukannya, Lan Er, Su Mei, dan Yi Chun, yang masing-masing sudah siap dengan kuda mereka.
“Berangkat!”
Debu berterbangan, dan iring-iringan panjang itu melaju menembus gerbang barat Siu, menuju jalan panjang yang mengarah ke selatan ke Kekaisaran Bai, tanah kelahiran Xue Yi.
Perjalanan memakan waktu hampir tujuh hari tujuh malam. Gunung-gunung yang dulu mereka daki saat peperangan kini tampak damai, sungai yang dulu merah oleh darah kini berkilau jernih di bawah sinar bulan. Setiap malam, Xue Yi duduk di depan api unggun, menatap langit dengan senyum tenang mengingat janji Wang Ji di bawah cahaya lentera.
Lan Er, sang pelayan setianya, mendekat sambil membawa selimut. “Nona, jika terus menatap langit seperti itu, nanti bintang pun cemburu.”
Xue Yi tertawa kecil. “Kau sudah mulai belajar menggoda, Lan Er.”
Su Mei ikut menimpali sambil menambahkan kayu ke api. “Sepertinya nona tidak sadar, senyum nona sekarang tidak seperti dulu. Dulu selalu penuh beban. Sekarang… seperti seseorang yang baru saja menemukan rumah.”
Xue Yi menatap nyala api itu lama, lalu berkata lirih, “Mungkin karena aku memang sudah menemukannya.”
Yi Chun, yang duduk tak jauh dari mereka, hanya menatap tanpa bicara. Sebagai jenderal wanita yang kaku, ia jarang tersenyum. Tapi malam itu, senyum kecil akhirnya terbit di wajahnya.
Saat matahari ke delapan naik di langit, rombongan akhirnya tiba di gerbang megah Kekaisaran Bai. Lentera merah menyala di sepanjang jalan masuk, dan ribuan prajurit berbaris menyambut. Bendera dengan lambang burung bangau berkibar tinggi.
“Putri Bai Xue Yi kembali!” seru pengawal dari menara penjaga.
Sorak sorai rakyat menyambut, membanjiri jalan utama menuju istana. Mereka bersorak, melempar bunga, dan menangis bahagia melihat pahlawan perempuan mereka kembali dengan selamat.
Di puncak tangga istana, Kaisar Bai berdiri gagah dengan jubah emas berlapis sutra, sementara di sisinya Permaisuri Yi Zhu dengan wajah teduh menahan air mata. Di belakang mereka, berdiri Putra Mahkota Bai Xiang kakak kandung Xue Yi dengan wajah lembut namun tegas, mengenakan baju perang berwarna perak.
Xue Yi turun dari kudanya dan segera berlutut. “Putrimu kembali, Ayahanda, Ibunda.”
Kaisar Bai melangkah maju, suaranya bergetar. “Bangunlah, anakku. Tak perlu berlutut. Istana ini kehilangan sinarnya sejak kau pergi.”
Permaisuri Bai menahan tangis sambil merangkul Xue Yi erat. “Oh Yi’er… berbulan-bulan kami mendengar kabar perang dan pengkhianatan di Siu. Setiap malam Ibu berdoa agar langit mengembalikanmu dalam keadaan utuh.”
Xue Yi tersenyum sambil menatap ibunya. “Langit mendengar doa Ibu.”
Bai Xiang mendekat sambil tertawa kecil. “Dan tentu saja, aku tidak sabar menagih janji duel panahanmu yang kau tunda setahun lalu.”
Xue Yi menatap kakaknya dengan geli. “gege masih saja memikirkan itu?”
“Tentu. Aku harus memastikan kau tidak melupakan siapa yang terbaik di keluarga ini.”
“Tentu saja aku tidak lupa,” jawab Xue Yi cepat. “Karena yang terbaik itu aku.”
Kaisar Bai dan Permaisuri tertawa kecil melihat keduanya kembali bercanda seperti dulu, menghapus ketegangan yang sempat membekap aula istana.
bersambung