Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Alif yang semalaman mendapat dorongan dari Arsen dan Dito akhirnya memantapkan niatnya untuk mengejar Riana. Pagi-pagi sekali, ia sengaja datang ke rumah Riana dengan alasan membicarakan administrasi keberangkatan sebagai relawan. Namun, alasan sebenarnya jauh lebih dari itu, ia ingin tahu keadaan rumah tangga Riana yang selama ini membuat hatinya tak tenang, apalagi setalah mendengar suaminya memberikan kata talak.
Alif tak pernah bayangkan, begitu pintu terbuka, yang ia temukan justru pemandangan yang membuat darahnya membeku. Riana tergeletak di lantai, tubuhnya lemah, dengan dahi berlumuran darah. Tanpa berpikir panjang, Alif segera membopong tubuh Riana, berlari membawa wanita itu menuju rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, pandangannya tak lepas dari wajah pucat yang terpejam rapat di pelukannya.
“Riana… apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa kamu bisa berakhir seperti ini?” bisiknya lirih, suara tercekat oleh rasa cemas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Sesampainya di rumah sakit, Riana langsung ditangani tim medis. Dito, yang kebetulan bertugas pagi itu, kini menjadi dokter yang merawatnya. Ia hanya bisa menggeleng perlahan, hatinya ikut teriris melihat kondisi Riana sekaligus melihat sosok Alif yang biasanya dingin dan kaku terhadap wanita, kini tampak begitu rapuh.
Bibir Dito terangkat tipis, separuh mengejek, separuh iba. “Sepertinya pohon yang hampir mati mau tumbuh lagi,” gumamnya lirih sambil melirik Alif. “Sayangnya, selalu ada badai yang datang sebelum pohon itu bisa benar-benar tumbuh subur.”
“Berhenti meledek. Gimana keadaannya?” tanya Alif dengan nada kesal.
“Kamu kan juga dokter, masa nggak ngerti situasi? Percuma gelar profesor kalau hasil CT Scan aja masih minta diterjemahin,” sindir Dito santai.
Alif mendengus, urat di pelipisnya menegang. “Sepertinya aku harus benar-benar melapor ke Nisa soal ulahmu ini. Biar dia potong gajimu setahun penuh.”
Dito langsung terkekeh. “Heh, kalau cuma setahun mah aku malah senang. Bisa sekalian cuti panjang. Lagi pula, apa kamu nggak tahu? Aku kerja di sini setengahnya aja udah hobi, bukan butuh gaji. Dan jangan lupa, istriku itu tipe istri cinta mati. Potong gaji? Yang ada malah dikasih bonus, plus-plus.”
Alif menutup wajah dengan telapak tangan, jelas kepalanya makin berdenyut. Ia sudah tahu, melawan Dito hanya buang tenaga.
Tapi Dito belum selesai. Ia menyikut Alif pelan sambil berbisik nakal, “Eh Al, jujur aja deh, kamu tuh dingin sama semua perempuan. Kok tiba-tiba sama wanita bernama Riana berubah jadi es batu yang mulai cair, hm?”
Alif menoleh dengan tatapan datar. “Diam, Dito.”
“Wih, pandanganmu itu lho… kayak mau ngebunuh orang. Tapi sayang, di balik itu aku lihat ada cinta yang meletup-letup,” Dito menahan tawa, sampai bahunya berguncang sendiri.
Alif menghela napas berat. “Dito.”
“Ya?”
“Saya bisa bikin kamu jaga IGD seminggu penuh tanpa pulang.”
“Wah, nggak jadi ke Sorong kah? Eh… Al percaya apa nggak, di sana nanti Riana ini pasti nemuin seseorang yang cinta mati sama dia. Nah, sebelum itu terjadi kamu harus sat set, kalau nggak—”
“Dit, bisa diam nggak?” potong Alif dengan nada tinggi, sorot matanya tajam.
Hening sejenak. Hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Di saat itu, kelopak mata Riana yang tadinya terpejam rapat mulai bergerak. Perlahan, ia membuka matanya, pandangannya masih buram.
Alif langsung mendekat, tubuhnya menegang. “Riana…” suaranya merendah, seolah takut kalau suara kerasnya tadi membuat wanita itu kembali terpejam.
Riana mengerjap pelan, mencoba fokus pada wajah yang menatapnya. Di sela kepalanya yang berdenyut nyeri, ia melihat bayangan Alif, wajahnya cemas tapi berusaha tetap tenang.
“Kenapa… Dokter Alif di sini?” bisiknya lirih, suara nyaris tak terdengar.
Alif tercekat, tidak tahu harus menjawab dengan apa. Ia sempat membuka mulut, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang.
Dito yang berdiri di samping mereka, tersenyum miring sambil menyilangkan tangan di dada. “Kenapa dia di sini? Karena dia nggak bisa napas teratur karena mikirin kamu. Bahkan sampai sempet curhat ke aku segala. Padahal biasanya, si Profesor Dingin ini paling anti ngomongin perasaan.”
“Dito!” suara Alif kembali meninggi, matanya melotot ke arah sahabatnya.
Tapi Dito malah terkekeh puas. “Apa aku salah? Kalau kamu lihat wajahnya waktu gendong kamu tadi, Riana, duh… bener-bener kayak cowok drama Korea yang lagi nungguin ceweknya sadar.”
Alif langsung berdiri dari tempat duduknya lalu menarik tangan Dito dan menyeretnya keluar dari ruangan itu. Meskipun Dito berteriak ia langsung menutup pintu rapat-rapat lalu kembali menemani Riana.
"Jangan dengarkan dia, gimana perasaan kamu sekarang?" tanya Alif.
Riana menutup matanya sejenak, berusaha menahan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya. Namun, seiring dengan itu, potongan kejadian semalam kembali menyeruak di benaknya. Suara bentakan Septian, wajah licik Liliana, tangisan Lira… lalu dorongan keras itu.
Tubuhnya bergetar. Air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan.
“Riana?” Alif langsung sigap, mencondongkan tubuhnya, suaranya lembut tapi tegas. “Hei… kamu aman sekarang. Kamu di rumah sakit. Tidak ada yang bisa menyakitimu di sini.”
Mendengar suara Alif yang mencoba menenangkan, Riana langsung menghapus air matanya, lalu berkata, "Dok, apa dokter punya kenalan pengacara perceraian?"
Alif tertegun, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tatapannya terpaku pada wajah Riana yang masih lemah, namun sorot matanya penuh dengan tekad yang berbeda dari sebelumnya.
“Riana… kamu serius?” suara Alif tercekat, setengah berbisik.
Riana menarik napas panjang, menatap langit-langit dengan mata berkaca-kaca. “Aku sudah terlalu lama bertahan… terlalu lama diperlakukan seperti ini. Kalau aku terus diam, mungkin aku nggak akan hidup lebih lama.”
Alif mengepalkan tangannya, rasa marah bercampur cemas berputar di dadanya. Kata-kata ingin pecah dari bibirnya, tapi ia hanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang begitu dalam hingga membuat dadanya sesak.