Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09
PLAK!
"NONA!"
Suara tamparan menyebar di koridor, membuat suasana seketika menghening. Beberapa karyawan yang tadinya berpura-pura sibuk sampai serentak menoleh.
"Oh. Kasar sekali," sindir Arsen dengan sunggingan samar. Sensasi panas yang perlahan menjalar di area pipi sudah tak sanggup menutupi ekspresi palsunya lagi.
Elira menatapnya seperti memandang tumpukkan sampah yang busuknya menusuk hidung. "Itu baru pemanasan."
Arsen terkekeh, terkesan meremehkan lawan bicaranya. "Kalau bukan karena aku tahu siapa ayahmu, aku sudah menyeretmu ke ruangan pribadi sekarang juga."
Elira berdecih. "Cih. Kini kau mengancamku di hadapan banyak orang? Dasar pengecut."
Ann terkejut, begitu pun semua orang yang mendengarnya. Situasi makin terasa gawat. Pelayan itu pun mencoba maju selangkah, lalu berbisik tergesa di belakang Elira, "Nona, tolong hentikan. Ini bukan saatnya--"
"Diam, Bibi," potong Elira tanpa menoleh. "Pria ini sudah terlalu lama merasa dirinya tak tersentuh. Sudah saatnya seseorang menurunkan egonya yang menjijikkan itu."
Lontaran-lontaran Elira yang terkesan sangat kurang ajar membuat siapa pun merasa terseret gawat. Pasalnya, Arsen adalah manusia yang paling dihormati di sini. Hari-hari mereka biasanya mendapati pemandangan Elira yang selalu patuh pada Arsen. Namun kali ini, ia tampak garang dan melawan.
"Kau yakin ingin memulai perang denganku?" Arsen menahan senyumnya, tetapi sorot matanya memancarkan peringatan.
"Memulai?" Elira menyipitkan mata dengan raut jenaka. "Sayang sekali, Tuan Vaelric. Perang ini sudah dimulai sejak kau memutuskan menempatkan namaku dalam permainan kotormu."
Arsen mendekat, hingga jaraknya kini hanya sejengkal. "Kau bukan Elira yang kukenal," bisiknya penuh penekanan.
Ann sebenarnya ingin membela Elira, apalagi jika ingatan Nona mudanya sedang bermasalah. Namun, ia juga khawatir jika kelemahan Elira saat ini justru memberi Arsen celah untuk kembali menguasai keadaan.
"Kenapa diam saja? Siapa kau sebenarnya?" Arsen memandang lawan bicaranya dengan tatapan bengis.
Elira mencondongkan wajah, membalas tatapan itu tanpa gentar. "Aku adalah neraka dalam wujud Elira."
Jawaban itu membuat Arsen tersenyum miring. "Sangat menarik."
Elira mundur setengah langkah. Bukan karena takut, melainkan agar semua orang bisa melihat jelas senyum sinisnya. "Nikmati rasa penasaranmu itu, Tuan Arsen Vaelric. Karena mulai hari ini, aku akan menjadi duri yang menancap di tenggorokanmu."
Drrrrrt
Ponsel dalam genggaman Ann bergetar, menampilkan nama 'Tuan Cedric' dalam sebuah panggilan.
......................
Cedric baru saja pulang dari luar kota karena pekerjaan bisnisnya. Pria itu terlihat berkacak pinggang di ambang pintu kamar Elira. Ia berdiri dengan menempelkan ponsel di sebelah telinga. Rautnya kentara cemas dan murka.
"Halo, Tuan," sahut Ann di seberang sana.
"Di mana putriku?"
"Tuan ... ampuni hamba," cemas Ann begitu lirih. "N-nona sudah pulih, dan sekarang--"
"Pulih? Sejak kapan? Di mana putriku sekarang?" tuntut Cedric tidak sabar, langkah lebarnya tergesa untuk kembali ke mobil.
"Ceritanya terlalu panjang, Tuan. Tapi keadaan sekarang sedang gawat. Nona menghampiri Tuan Arsen di kantornya-"
Tut.
Cedric memutuskan panggilan secara sepihak. Lalu menancap gas meninggalkan halaman rumah.
Setelah sampai ke tempat tujuan, Cedric tidak segera melangkah masuk, dengan tatapan menyelisik sekitar. Tak butuh lama, ia melihat sebuah pemandangan yang tampak membuat orang-orang terlihat tegang.
"Menjauh dari putriku," peringatnya seraya berjalan tergesa, hingga membuat tolehan tertuju padanya.
"Dia Cedric, ayah Elira yang menjadi direktur utama di perusahaan keluarga besar Maeven. Pemegang saham terbesar dengan persentase tujuh puluh lima persen," gumam Elira mengingat-ingat yang ada di novel. "Pria yang cukup banyak disegani, dan segala keputusannya selalu mutlak, sampai menumbuhkan rasa benci di hati manusia yang iri padanya."
"Ayah?" panggil Elira, mengamati wajah Cedric yang serius mengkhawatirkannya. Ayahnya itu berdiri di sisinya, menariknya sedikit ke belakang dengan gerakan agak menyentak tetapi penuh hati-hatian. Tangannya bertumpu di bahu Elira, seakan memastikan tak ada satu pun celah bagi Arsen untuk mendekat.
Di sisi lain, Ann bernapas lega.
Sedangkan Arsen hanya mengangkat alis, menyungging tipis yang memancing amarah. "Tuan Cedric. Lama tidak bertemu."
"Diam." Cedric memotong dengan nada dingin, hingga tatapannya teralihkan pada Arsen dan enggan melepasnya. "Kau sudah cukup banyak mengganggu keluargaku. Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya, meski hanya dengan bualan kata-kata."
"Pria ini membuatku merinding," batin Elira tegang. Seolah-olah seluruh energi bengisnya melebur begitu saja. Ia tak mampu berkutik saat berdekatan dengan Cedric.
"Kita pulang," ucap Cedric seraya melepas jas dan menyelimutinya ke bahu sang anak. "Bibi, kita harus bicara," tatapnya tajam pada Ann.
"B-baik, Tuan," patuh Ann. Selain Ann yang selalu menurut, Elira pun manut saja tanpa protes apa pun.
Setelah ketiganya pergi tanpa pamit, Arsen yang sejak tadi menahan murka tampak membenarkan kerahnya. Kejadian ini begitu memalukan dan melukai harga dirinya.
"Memang keluarga tidak tahu malu," gerah Arsen, mengingat kelakuan mereka seperti para kacang yang lupa pada kulitnya.