Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam purnama dan kegelisahan
malam itu Langit malam tampak bersih.
Awan seolah memberi jalan bagi sang bulan purnama yang bersinar penuh dan terang di atas kepala.
Cahaya peraknya membasahi hutan dan perkampungan tradisional itu dengan ketenangan yang aneh.
Tapi bukan damai yang dirasakan malam itu..melainkan kecemasan dan bisik-bisik ketakutan yang tersebar seperti kabut di neraka.
Pak Jono duduk di dekat tungku bersama Kapten Rahmat, Jefri, dan Gilang. Mereka baru saja selesai makan singkong rebus dan air kelapa muda yang disuguhkan oleh salah satu wanita tua dari suku tempat mereka berlindung. Meski makanannya sederhana, tapi perut yang lapar tak banyak menuntut.
Namun, malam itu berbeda dari malam sebelumnya.
“Pak, dengar nggak?” bisik Gilang sambil menegakkan tubuhnya. “Sunyi banget... kayak bukan malam biasa.”
Pak Jono mengangguk perlahan.
Hutan yang biasanya dipenuhi suara burung malam dan nyanyian serangga kini hening.
Tak ada lolongan anjing liar yang biasa terdengar dari kejauhan.
Bahkan anak-anak suku yang biasa berlarian di sekitar jalanan tanah itu,kini lenyap tanpa jejak.
Para wanita terlihat sibuk.
Mereka tergesa-gesa menyembunyikan anak laki-laki ke dalam lubang-lubang bawah tanah yang disamarkan dengan anyaman daun dan semak belukar.
Beberapa pria tua membawa tombak dan duduk di dekat rumah panggung, seolah menjaga sisa harapan.
Hanya mereka yang terlihat di luar bersama perempuan dan lelaki tua.
Alex datang tergopoh-gopoh menghampiri Kapten Rahmat.
“Captain... we need to move now. The full moon... it's the night,” katanya tergesa dalam bahasa Inggris.
Kapten Rahmat menerjemahkan cepat kepada Pak Jono dan yang lain.
“Alex bilang, malam purnama ini bukan sembarang malam.
Ini malam perburuan.
Suku perempuan itu... mereka akan keluar berburu pejantan.”
Pak Jono mengernyit, tubuhnya menegang.
Luka di pahanya memang sudah mulai mengering, tapi masih terasa ngilu saat berdiri.
Kepala suku, pria tua bertubuh kecil dan berwajah keriput dengan mata tajam, datang mendekat.
Ia membawa sebatang tongkat kayu dan mengenakan kalung dari taring binatang.
Bahasa lokal yang digunakan tak bisa mereka pahami, namun Alex bertindak sebagai penerjemah.
“Kalian harus pergi sekarang ke goa di balik air terjun.
Itu satu-satunya tempat aman dari suku wanita itu. Mereka tak pernah berani menyeberang air terjun suci!” ujar Alex.
“Berapa jauh dari sini?”
tanya Kapten Rahmat.
“Sekitar dua jam jalan kaki.
Tapi kita harus menyelinap. Tak boleh ketahuan, apalagi oleh pengintai mereka.”
Mereka segera berkemas. Tak ada waktu untuk bertanya lebih banyak.
Pak Jono dibantu berjalan oleh Gilang dan Jefri. Mereka membawa sisa makanan kering dan sebuah obor kecil dari kain yang dibakar dengan getah pohon.
Cahaya remang-remang itu jadi penuntun langkah mereka di kegelapan.
Mereka menyeberangi sungai kecil, melalui semak-semak dan jalur licin yang dikelilingi pohon tinggi.
Sesekali mereka berhenti saat terdengar suara ranting patah dari arah yang tak mereka kenali. Detak jantung Pak Jono terasa cepat, seperti bisa terdengar jelas di telinganya sendiri. Bukan karena kecapekan, tapi karena takut.
Setelah berjalan hampir satu setengah jam, mereka akhirnya mendengar gemuruh air terjun.
“Sudah dekat,”
gumam Alex.
Namun saat mereka hampir sampai, terdengar suara jeritan jauh di belakang.
Suara perempuan,tapi bukan teriakan biasa. Suara itu seperti lolongan binatang liar yang sedang lapar dan marah.
Mereka mempercepat langkah.
Di balik dinding batu yang ditumbuhi lumut dan akar gantung, terdapat celah sempit yang mengarah ke goa.
Air terjun mengalir di depan celah itu, seperti tirai yang melindungi pintu masuk.
Satu per satu mereka masuk. Pak Jono hampir tergelincir karena bebatuan licin, namun berhasil ditahan oleh Jefri.
Goa itu gelap, hanya diterangi obor kecil yang mereka bawa. Di dalamnya terdapat ruang sempit dengan lantai batu yang dingin. Udara di dalam terasa lembap, tapi aman.
Alex menyalakan api unggun kecil dari ranting kering yang ia kumpulkan di sepanjang jalan.
Asap tipis mengepul, mengusir kelembaban sekaligus nyamuk-nyamuk hutan yang mulai berdatangan.
“Di sinilah kita bermalam. Besok kita baru keluar,” ujar Kapten Rahmat.
“Kalau benar apa yang dibilang Alex... kita nggak boleh ambil risiko malam ini.”
Pak Jono duduk sambil mengelus dadanya. Ia teringat pada keluarganya,Bu Ani, Siti, Rudi, dan Ayu.
Rindu menusuk-nusuk hatinya. Di benaknya, ia bisa membayangkan bagaimana Bu Ani menangis di depan TV, mendengar kabar tenggelamnya kapal mereka.
“Semoga mereka baik-baik saja,” gumam Pak Jono pelan.
Jefri duduk tak jauh darinya, menggenggam pisau kecil yang ia temukan di kapal dulu. Ia mencoba mengukir kayu, bukan untuk seni, tapi untuk menenangkan pikirannya.
Di luar, suara aneh mulai terdengar. Bukan binatang. Tapi seperti... nyanyian. Suara wanita dengan nada monoton, berulang-ulang, disertai dentingan batu atau kayu.
“Jangan bersuara,”
bisik Alex tajam.
Mereka membeku di tempat masing-masing. Detak jantung terasa keras di telinga.
Dari balik tirai air terjun, samar terlihat bayangan beberapa sosok bergerak cepat. Beberapa berjongkok seperti sedang mengendus-endus tanah. Ada pula yang membawa tombak kayu dengan ujung tajam dan berpakaian minim dari daun dan kulit.
“Jika mereka mencium bau asap, mereka bisa tahu kita di sini,” bisik Kapten Rahmat.
Pak Jono memadamkan api kecil perlahan, membiarkan goa tenggelam dalam kegelapan pekat.
Waktu berjalan lambat malam itu.
Kadang mereka bisa mendengar suara derap kaki di atas bebatuan, kadang suara teriakan keras entah dari siapa. Sekali waktu, terdengar suara seperti sesuatu dilempar ke air. Mungkin tubuh. Mungkin binatang. Tapi tak ada yang berani menanyakan.
Jam demi jam berlalu. Bulan terus memancarkan sinarnya di luar.
Namun, mereka tak bisa tidur. Mata mereka terus berjaga, telinga siaga. Menunggu waktu aman.
Hingga akhirnya, sekitar menjelang subuh, suara-suara aneh itu perlahan menghilang.
Satu per satu mereka menghela napas lega, namun tetap tak berani langsung keluar.
Alex menunggu hingga cahaya fajar mulai menyusup ke dalam goa sebelum akhirnya berkata, “Malam ini... kita selamat.”
Pak Jono menunduk. Dalam hati ia tahu.hidup mereka sekarang bukan hanya soal bertahan. Tapi juga soal waktu. Seberapa lama mereka bisa bersembunyi sebelum nasib mereka benar-benar berubah menjadi korban?
Dan pertanyaannya sekarang... apakah suku wanita itu akan kembali?
Atau... apakah mereka sudah tahu keberadaan para lelaki yang bersembunyi?
Sementara itu
Ketika cahaya fajar mulai merambat masuk ke dalam goa, perlahan menggantikan gelap pekat malam yang penuh kecemasan, satu per satu dari mereka mulai bangkit dari posisi bertahan. Wajah-wajah pucat karena kurang tidur kini berubah menjadi tegang saat mereka bersiap untuk keluar. Bau lembap dari dinding goa masih melekat kuat di hidung mereka, dan tubuh mereka terasa pegal karena semalaman duduk dalam posisi siaga.
Pak Jono menoleh ke arah Kapten Rahmat. “Kita sudah bisa keluar, Pak?”
Kapten Rahmat mengangguk.
“Tapi pelan-pelan saja. Pastikan semuanya ada dan siap.”
Mereka berbaris pelan menuju mulut goa, menyingkap tirai air terjun dengan hati-hati. Suara alam pagi mulai kembali terdengar.
Burung-burung mulai berkicau dari kejauhan, kabut tipis menggantung di antara pepohonan.
Suasana seolah kembali normal.
seolah malam penuh ancaman itu hanyalah mimpi buruk yang lewat sebentar.
Namun sesaat setelah mereka keluar dan mulai menyusuri jalan kembali menuju perkampungan, Alex berhenti di tengah langkahnya.
Keningnya berkerut, lalu ia berbalik menghitung satu per satu dari mereka.
“Wait... Wait. Something's not right.”
Kapten Rahmat juga mulai merasa ada yang aneh. “Pak Jono, coba lihat... Aldi mana?”
Pak Jono ikut menengok ke sekeliling. Gilang dan Jefri juga menoleh panik.
“Bukan cuma Aldi, kep...”
gumam Gilang dengan suara tercekat.
“Raka juga gak ada... sama Seno...”
Suasana mendadak membeku.
Tiga nama yang disebutkan.
Aldi, Raka, dan Seno.
adalah teman mereka yang ikut mengungsi semalam. Mereka ingat betul bertujuh memasuki goa tadi malam. Tapi kini, hanya empat orang yang tersisa bersama Alex. Mereka yang tersisa saling pandang dengan wajah tegang dan mata yang kini tampak memerah.
Kapten Rahmat menegakkan tubuh. “Semalam kita terlalu panik. Tidak menghitung orang satu per satu. Mungkin mereka tertinggal?”
Alex menggeleng pelan. “Saya yakin... saya lihat mereka masuk... tapi mungkin... saat kita tidur sebentar... mereka keluar?”
“Keluar?! Dalam kondisi seperti itu?”
bentak Jefri tak percaya.
“Gak mungkin mereka seceroboh itu!”
Pak Jono menunduk, mencoba mengingat. Tapi kepalanya penuh rasa kantuk dan trauma.
Semalam memang mereka bergantian tertidur meski mencoba berjaga.
Goa sempit itu tak memungkinkan untuk selalu waspada. Dan... bisa jadi, memang saat itu mereka bertiga keluar.
“Kalau mereka diculik?” gumam Gilang lirih. “Suku perempuan itu... mungkin tahu...”
Hening. Kemungkinan itu membuat bulu kuduk berdiri.
Seakan ketiga nama itu..Aldi, Raka, dan Seno,telah menjadi bagian dari korban mitos pulau itu...dijadikan pejantan, lalu dikorbankan.
Kapten Rahmat menatap tegas.
“Kita nggak bisa pastikan apa-apa sekarang. Kita harus kembali ke perkampungan dulu.
Lapor pada kepala suku. Setelah itu... kita cari jejak mereka.”
“Kalau mereka masih hidup,”
tambah Pak Jono pelan, dengan suara berat yang membuat semua kembali diam.
Langkah kaki mereka kembali menyusuri jalan hutan, kali ini terasa lebih berat. Bukan hanya oleh rasa lelah, tapi juga oleh kehilangan dan kekhawatiran.