Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
“Gue pusing banget, Ca…” Diandra menghela napas panjang, menunduk lesu.
Beberapa hari terakhir hidupnya terasa penuh tekanan. Ia sibuk di rumah sakit, lalu terjun langsung mengurus kasus salah satu pasien korban kekerasan rumah tangga. Ironisnya, saat ia berusaha menyelamatkan orang lain dari rumah tangga yang berantakan, pernikahannya sendiri pun tak kunjung menemukan ujung.
“Ambil cuti lah,” saran Marissa sambil menyeruput kuah bakso pedas yang mengepul panas.
Mereka sedang duduk di warung bakso tak jauh dari rumah sakit. Entah kenapa, Diandra selalu mencari pelarian di makanan pedas tiap kali pikirannya kusut. Dan sekarang, hanya dengan duduk di sini bersama sahabatnya, ia merasa sedikit lebih ringan.
“Setelah kasus Mbak Naya selesai, gue baru bisa mikir cuti. Gue nggak bisa tinggalin dia sendirian, Ca. Kalau suaminya muncul tiba-tiba… bisa kacau semua,” ucap Diandra lirih, mengingat betapa berpengaruhnya pria itu seorang politikus yang memiliki kuasa.
Marissa mengangguk pelan, sementara Diandra melanjutkan dengan nada sedikit lebih lega, “Untungnya, Lingga ikut bantu ngurus. Dia yang cari pengacara, urus ini itu.”
“Lingga?” Marissa menoleh cepat, seakan memastikan ia tak salah dengar.
“Hmm.” Diandra menyendok baksonya lalu berkata, “Gue minta tolong dia cariin pengacara yang bersih, anti suap. Katanya sih temen deketnya.”
Marissa tersenyum tipis. “Ternyata dia baik juga ya, Ra.”
Diandra mendengus kecil. “Lumayan lah… tapi tetep aja nyebelin. Gue nggak boleh gampang percaya. Karena balik lagi, dia itu Lingga Aditya Wijaya, lelaki dengan seribu rencana dan strategi di kepalanya.”
Senyum miris tersungging di bibirnya. Ada kalanya Lingga terlihat tulus, tapi Diandra tahu, di balik itu selalu ada rahasia yang ia sembunyikan.
“Iya sih… setidaknya dia ada gunanya juga,” ujar Marissa akhirnya, mengangkat bahu.
Diandra mengangguk sambil menyunggingkan senyum tipis. “Selagi masih bisa gue manfaatin, ya gue manfaatin, Ca. Gue nggak mau rugi.” Ia terkekeh kecil, tapi nada suaranya terdengar lebih pahit daripada lucu.
“Untuk rencana lo itu?” tanya Marissa, mengingat tujuan tersembunyi di balik pernikahan Diandra dengan Lingga.
Diandra menunduk, matanya tajam menatap mangkok bakso di depannya. “Gue masih berusaha nyari tahu. Kejadian itu udah lama, buktinya pasti susah dicari. Dan lo tau kan, Lingga mainnya selalu bersih rapi, nggak pernah ninggalin jejak. Tapi lo juga inget kan tugas lo, Ca?” Nada suaranya lebih serius sekarang. Hanya Marissa yang ia percaya cukup untuk dilibatkan sejauh ini.
Marissa tersenyum penuh arti. “Tenang aja, gue lagi usahain. Lo tau sendiri gue nggak pernah main setengah-setengah.”
“Sip.” Diandra terkekeh lagi, kali ini lebih ringan.
“Eh, ngomong-ngomong… pasien lo si Naya itu, suaminya siapa?” tanya Marissa, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. “Gue takutnya dia juga salah satu mitra bisnis keluarga suami lo.”
Pertanyaan itu membuat Diandra terdiam sesaat. Ia mengingat-ingat lalu menjawab pelan, “Felix Gunawiharja.”
Mata Marissa langsung menyipit. “Nama itu… gue nggak asing, Ra.” Ia bergumam sambil mencoba mengingat.
Berbeda dengan Diandra yang jarang bersinggungan dengan dunia bisnis, Marissa tumbuh di lingkungan penuh pengusaha dan pejabat. “Kayaknya dulu dia pernah kerja sama sama bokap gue. Tapi… lo tau lah, waktu itu gue lebih sibuk mikirin nongkrong sama belanja daripada urusan bisnis.”
Diandra menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. “Kalau Felix pernah jadi rekan bisnis bokap lo…” suaranya melemah, “berarti kemungkinan besar Lingga juga kenal dia?”
“Ra, bukannya gimana ya… lo nggak pernah kepikiran kalau sebenernya Lingga nggak ada andil langsung dalam masalah itu?” suara Marissa terdengar hati-hati.
Diandra spontan mengangkat wajah, alisnya berkerut. “Hah? Maksud lo apa, Ca?”
Marissa mencondongkan tubuh, menurunkan nada suaranya. “Gue dapat info, hubungan Lingga sama bokapnya… nggak akur. Mereka nggak sedekat yang orang-orang kira.”
Diandra terdiam. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Sejak menikah dengan Lingga, ia dan Marissa memang punya misi terselubung: membongkar siapa sebenarnya keluarga Lingga, rahasia apa yang mereka sembunyikan. Dan semakin dalam mereka menggali, semakin aneh pula hubungan ayah dan anak itu terlihat.
Keluarga itu memang pandai menjaga citra. Dari luar tampak sempurna, kompak, tanpa celah. Tapi di balik topeng rapi yang mereka pasang, retakan halus tetap terlihat bagi mereka yang jeli.
“Atau… mungkin gara-gara pernikahan gue sama dia?” tebak Diandra pelan.
Marissa menggeleng cepat. “Jauh sebelum lo nikah sama Lingga, masalah itu udah ada. Dan lo tau kenapa sampai sekarang Yudhistira masih duduk di kursi direktur utama?”
“Kenapa?” tanya Diandra curiga.
“Karena Lingga nggak mau jadi penerus keluarga Wijaya.” Marissa menatapnya serius.
Diandra terdiam. Ucapan itu menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Kenapa Lingga menolak? Justru memilih menikah dengannya yang jelas-jelas anak musuh dari keluaganya ? Dan kenapa Lingga begitu keras menutupi pernikahan mereka, meskipun kabar itu sudah terlanjur tersebar sebagai rumor?
“Apa ini cuma cara Lingga memberontak terhadap keluarganya sendiri? Kalau iya… licik juga, ya.” pikir Diandra, nada hatinya campur antara kagum dan curiga.
Yang lebih membingungkan lagi, selama satu minggu ini, tidak ada tingkah mencurigakan darinya. Alih-alih dingin dan penuh intrik seperti yang ia duga, Lingga justru menunjukkan sisi suamiable, ya..meski tetap dengan sifat menyebalkannya yang khas.
“Bingung kan lo?” Marissa menyeringai.
Diandra menarik napas panjang lalu mengangguk mantap. “Kalau gitu, kita fokus dulu ke keluarga Wijaya. Soal Lingga… biar gue yang urus.”
“Ra, lo bisa manfaatin status lo sekarang,” saran Marissa, nada suaranya penuh perhitungan.
“Manfaatin gimana?” Diandra menoleh, matanya menyipit penuh penasaran.
“Dari cara gue lihat, Lingga emang punya ketertarikan sama lo. Nah, itu celah. Kalau dia beneran jatuh sama lo, lebih bagus lagi kalau dia cinta sama lo, maka semakin gampang buat kita gali semua rahasia keluarga itu.”
Kata-kata itu membuat Diandra terdiam. Ada gejolak aneh di dadanya, antara ragu dan tak percaya. “Tapi… apa mungkin?” gumamnya lirih.
Marissa terkekeh, menepuk tangan Diandra dengan ringan. “Lo cantik, pintar, dan cerdik, Ra. Gunain semua kelebihan lo itu. Lo yang main di dalam, gue yang bergerak di luar. Kita pecahin keluarga Wijaya pelan-pelan.”
Diandra menatapnya, mata mulai menyala.
“Dan lo juga bisa buktikan video itu… apakah benar atau cuma tipu muslihat mereka,” lanjut Marissa, nada suaranya tegas, menekankan bahwa langkah ini bukan sekadar rencana, tapi misi yang harus mereka jalankan.