Kisah ini tampak normal hanya dipermukaan.
Tanggung jawab, Hutang Budi(bukan utang beneran), Keluarga, cinta, kebencian, duka, manipulasi, permainan peran yang tidak pada tempatnya.
membuat kisah ini tampak membingungkan saat kalian membacanya setengah.
pastikan membaca dari bab perbab.
Di kisah ini ada Deva Arjuno yang menikahi keponakan Tirinya Tiara Lestari.
Banyak rahasia yang masing-masing mereka sembunyikan satu sama lain.
____________
Kisah ini sedang berjuang untuk tumbuh dari benih menjadi pohon.
Bantu aku untuk menyiraminya dengan cara, Like, Komen dan Subscribe kisah ini.
Terimakasih
Salam cinta dari @drpiupou 🌹
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad Tiara
Kamu milikku sampai kapanpun
...****************...
“Kamu ncamkan ini Mas—Aku punya cara untuk memastikan kamu tetap di sini.” Suara Tiara menggema di seluruh rumah.
Mendengar perkataan Tiara Deva seakan tersulut api ditengah jalan yang panas.
Jalan itu adalah pernikahan paksa ini, dan Tiara sosok api itu.
Deva melangkah mendekati Tiara dan Berteriak di depan wajah Tiara.
“Apa kamu bilang?, Dengar tiara sekali lagi aku katakan padamu!!!!!, jangan bertindak seolah aku menikahimu karena cinta!—Aku menikahimu hanya karena Mbak Susan dan Mas Azzam yang meminta ku untuk menikahimu!.... Kau dengar itu.”Jawab Deva berapi-api.
Kilatan kebencian terlihat dimata Deva.
Tangannya gemetar diiringi dengan rahangnya yang mengeras.
“Tapi—Mas—aku istrimu mas! Aku berhak atas dirimu, kita menikah sah mas!, katakan apa salahku?!!??—apa aku tidak pantas untukmu mas?—katakan???....aku akan melakukan apapun demi hakku atas mu mas!.”Tiara menggenggam kerudung panjangnya dengan erat, mata menatap geram ke arah Deva.
“Wanita tidak tau malu!—kau sendiri tau Tiara aku adalah pria seperti apa, kau mengenal ku tidak sehari dua hari!— bagaimana bisa kau berbicara seolah aku adalah dalang dari semua kejadian yang menimpamu?...dimana akal mu?.”Deva kini telah melangkah menjauh dari tempat Tiara berada, menjaga jarak dengan Tiara.
Namun suaranya masih terdengar karena Deva bukan lagi berbicara dengan keras.
Tetapi Deva telah berteriak sekeras-kerasnya hingga suara nya tercekat di tenggorokan nya.
“Mas,—aku tidak mengerti apa maksudmu?,” dalih Tiara mendengar cecaran suami nya.
Tubuh Tiara gemetar hebat menahan deru asing yang menyeruak ke dalam dadanya—secara tiba-tiba.
“huekkk..huekkk,”Tiara menutup mulutnya sambil terus menahan isi perutnya agar tidak keluar.
Peluh membasahi, tubuh Tiara kaki nya lemas layaknya slime.
“Cuihkkk, jangan muntah disini!—bukannya sadar sama semua kesalahan nya malah berperan seperti pelakon—Sama dengan Ibunya. Sama sama pelakon idiot!,”
Tiara hanya diam, Tapi tangan Tiara sudah mengepal, matanya menyala, giginya bergemeletuk kearah Deva.
Tiara menahan rasa mual serta gejolak didada nya yang bisa tumpah kapanpun.
Matanya telah berembun, bara itu masih menyala.
Dengan bibir yang gemetar akhirnya ia berkata, “Cukup!!!, mamaku adalah Mbak dari Mas Deva,
kenapa Mas Deva tega ngomong seperti itu?.
“Tiri!, kami tidak lahir dari rahim yang sama!!!, jelas kami berbeda!!!—dan tutup mulutmu!”cecarnya geram.
Deva berlalu meninggalkan Tiara tanpa mendengar perkataan Tiara selanjutnya.
Suara langkah kaki Deva menjauh.
Suara Mas Deva masih terngiang di kepala Tiara seperti gema yang terus menghantam dinding akalnya.
Jantungnya berdentum liar.
Bukan karena jatuh cinta ataupun karena sakit hati.
Tapi karena bara itu belum padam.
Karena sesuatu dalam dirinya... Hampir meledak.
Tiara berdiri secara perlahan.
Kakinya masih terasa lemas, tapi Tiara tetap berdiri.
Dia tidak akan tumbang,Tiara nggak akan menunjukkan kelemahannya.
Matanya kosong, tapi ada garis tegas di rahangnya. Air mata sudah menggenang, tapi tak setetes pun jatuh. Ia menelan semuanya—kemarahan, luka, dendam, dan... rasa sayang yang memuakkan.
“Mas Deva gak bisa kabur gitu aja...” bisiknya.
Suara itu kecil, tapi bergetar.
Tangannya meraba kearah perutnya.
Belum ada yang berubah.
Tapi ia tahu, di sana ada harapan yang akan menjadi kunci.
Sesuatu yang akan mengikat Tiara dan Deva sampai akhir hayatnya.
“Aku gak akan kalah,” gumamnya lagi, kali ini lebih keras.
"Aku udah ninggalin semuanya... cuma buat kamu, Mas. Kamu pikir aku bakal pulang dengan tangan kosong? Hah?."Ia tertawa—tipis, getir.
Suara tawanya sendiri membuat tubuhnya menggigil. Tapi ia tak peduli.
“Mas pikir aku lemah? Mas pikir aku cuma anak kecil yang bisa dibentak trus langsung menyerah?”
Langkah Tiara goyah saat berjalan menuju cermin.
Kantung matanya nampak jelas, Tiara tidak seperti dulu—sekarang dia terlihat kuyu dan lelah.
Ada sedikit kegetiran di dada nya saat melihat sosoknya di dalam cermin.
“Lihat, Tiara... kamu bukan korban. Kamu bukan pelakor. Kamu bukan perempuan yang bisa disingkirin gitu aja.”
“Mas Deva... kamu akan tetap menjadi milikku. Sukarela ataupun Terpaksa”
Mulai hari itu—Tiara bertekat akan menyingkirkan segala hal yang menjadi penghalang untuk mendapatkan suaminya.
...****************...
Keesokan harinya, Tiara bangun seperti biasa dan namun ada yang berbeda dari Tiara
Senyum nya tidak lagi manis seperti biasa nya, tatapan mata Tiara tak lagi teduh.
Hari ini, Tiara terlihat seperti wanita yang siap memberontak.
Selepas mandi beberapa saat yang lalu, Tiara sekarang sudah bersiap untuk peegi ke Kampus.
Kemeja longgar dengan lengan panjang berwarna cream terlihat cantik ditubuhnya tidak lupa balutan kerudung yang menutupi rambut indahnya.
Jarum jam telah menunjukan pukul delapan pagi.
Tiara melangkah keluar kamar, hembusan nafasnya terasa berat sekarang.
Seakan membawa beban begitu berat.
Tapak kakinya perlahan menuruni tangga.
Mencari keberadaan BI Surti.
“Bi...bibi...”panggil Tiara suaranya menggema keseluruh rumah besar itu.
“Ada apa neng?, kok pagi-pagi begini teriak seakan telinga bibi tuli!,”Gerutu bi Surti.
“Tiara mau pergi bi, ada kuliah pagi hari ini bi—tolong kasih tau ke Mas Deva Tiara nggak bisa masak untuk pagi ini yah.”jelasnya.
“ahh, satu lagi, Tiara bakal pulang sedikit terlambat.”sambungnya lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan BI Surti.
“Si-halu—ada aja gebrakan nya, lagian kapan juga Nyonya masak—masak aja nggak bisa—punya istri kaya gitu modelan nya udah pasti Mas Deva emosian terus bawaannya.”Bisikan lirih yang lebih terdengar seperti gerutuan jenuh terlontar dari bibir bi Surti.
Setelah Tiara sedikit menjauh.
Surti mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke pada seseorang.
Diperjalanan kearah Kampus Tiara menghubungi Cila.
Tuuutttt...tutttt....
“Hoaamm—ha-loo kenapa Ra?,”jawaban yang di imbuhi pertanyaan dari Cila diseberang telpon.
“Gue ada kelas, lu nyusulin gue ke kampus jam 11—gue tunggu di kantin kampus—bye.”
Tutt..
Tiara memutuskan sambungan telponnya sebelum Cila menjawab apapun. Lalu meletakkan nya di kursi mobil yang ada disebelah nya.
Beberapa detik kemudian, handphone Tiara bergetar.
Drrttt...drrttt..
Ada pesan WhatsApp masuk.
“Sahabatku Cila” tertera nama sang pengirim pesan.
Tiara yang menyetir mengalihkan perhatian nya kembali ke arah handphone nya .
Membuka isi pesan dari Cila.
"Gila lu Ra!, ngeselin tau nggak ! ... Ihhh Cila marah sama Tiara... Dan blablabla..."
Tiara tidak membaca keseluruhan pesan itu karena isinya hanya gerutuan kekesalan Cila yang tidak penting bagi Tiara.
Tiara melanjutkan mengemudi ke arah Kampus.
Jalanan pagi ini tidak terlalu padat dan tidak begitu lenggang.
Tiar mengambil handphonenya, mengetik sesuatu lalu tersenyum penuh arti.
Sudut bibirnya terus terangkat sesekali terkekeh saat membalas pesan seseorang yang saat ini membalas pesannya.
Pesan yang mungkin akan membawanya pada titik awal kehancuran dirinya sendiri.
...****************...
Sedangkan dibeberapa kilo meter dari Komplek Aruna bagian Selatan.
Tepatnya di Mansion Mewah yang berdiri Megah. Mansion itu terletak di Distrik lama Kota Mon.
Dikelilingi pagar tinggi dan kebun yang sangat luas dijaga ketat oleh banyak pengawal.
terlihat seorang wanita cantik sedang duduk di meja makan.
Wanita cantik berdarah Bangsawan Negara Glans itu, menghubungi seseorang menggunakan bahasa Negara Pran (Negara Ibunya)
"Bonjour ma chérie, notre enfant est difficile, as-tu le temps de rentrer à la maison, ma chérie?"ucapnya dengan nada merengek.
"Bien sûr chérie, je suis au bureau en ce moment, c'est toi qui m'as dit de l'épouser au cas où tu l'aurais oublié... Si c'était seulement Susan, je ne me serais pas laissée aller à cette folie - je t'ai chérie - et notre enfant."Jawab seseorang yang ada di seberang telpon.
"Baiklah sayang, Je t'aime"Wanita itu memuaskan sambungan telpon begitu saja—saat mendengar langkah kaki seseorang mendekat ke arahnya.
Wanita itu bukan takut ketahuan, namun dia hanya tidak suka bila ada yang menguping pembicaraan nya.
(Padahal belum tentu juga ada yang tau—Wanita itu ngomong apa.)
Beberapa saat kemudian langkah itu semakin mendekat, dan terlihatlah sang pelayang muda.
Tubuhnya sedikit membungkuk mdan badan pelayan itu memberi salam penghormatan pada sang majikan.
"Lady Morgez, Papa Lady sudah menunggu di ruang keluarga,"Ucap pelayan dengan hati hati.
"Baiklah—Ucapnya sambil tersenyum.
Surai indahnya mengalun indah, sungguh wanita yg tidak hanya cantik.... Tapi—sempurna.
Keren Thor... semangat terus ya