NovelToon NovelToon
SETIAP HUJAN TURUN, AKAN ADA YANG MATI

SETIAP HUJAN TURUN, AKAN ADA YANG MATI

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Hantu
Popularitas:311
Nilai: 5
Nama Author: Dranyyx

Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.

Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri


Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?

Ia pintar dalam hal .....


Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 : Di balik tatapan kosong itu

Sang fajar mulai menampakkan sosoknya. Dan Riski masih bersandar di tembok, lututnya tertekuk, dan perlahan ia melepaskan sebilah pisau itu. Darah segar tadi pun tampak mulai mengering. Sekujur tubuh yang kaku bersimbah darah, masih tergeletak di depannya. Dengan arteri yang robek, dan posisi tubuh yang menghadap ke langit-langit rumah tua itu.

Masih tak ada satu kata yang keluar dari mulut Riski. Sosok Dinda pun seolah tak berwujud. Dinda mulai menerima kenyataan itu. Tangan Dinda perlahan menyentuh jemari Riski. Menariknya perlahan. Tubuh Riski secara alami mengikuti irama tindakan yang dilakukan Dinda . Perlahan ia bangkit dan mengikuti arah langkah Dinda yang mulai menjauh dari dapur itu. Dinda pun tak bersuara. Ia menuntun Riski naik di kamar lantai dua. Riski pun didudukkan ke ranjang.

Riski masih terjebak dalam benaknya.

"Aku membunuh? Aku pembunuh ? Aku kriminal?"

Sementara itu, Dinda mencari P3K , berharap ada sesuatu untuk membersihkan luka yang menganga di lengan kanan Riski.

Karena di lantai satu ia tak menemukan apa-apa, ia naik kembali ke lantai dua. Dinda melihat Riski dengan tatapan iba—bercampur khawatir. Mata Riski masih terlihat kosong. Tenang, tak bersuara. Selang beberapa saat setelah luka Riski diperban, Kring... Kring...!!!. Terdengar suara notifikasi panggilan masuk dari HP Riski. Dinda pun tak menunggu lama, mencoba mencari di mana benda itu berada.

Ia menuju arah dapur. Bau logam—dan bau amis menyebar di area tersebut. Terlihat telepon genggam yang tergeletak di lantai, tepat di samping mayat tersebut. Dinda muntah sejadi-jadinya. Tapi tak lama ia menguatkan diri, mengambil telepon genggam itu.

Kring... kring...

Cliik...!!!

"Halo, assalamualaikum sobku. kamu nda masuk kerja kah? Jam berapa mi ini kasian."

Terdengar suara yang tak asing untuk Riski. Yap, Rizal teman karibnya. "Wehhh, kenapa abis jalan ka sama aku, tau-tau nda masuk kerja kamu. Kenapa kamu Riski..."

Suara Sinta yang teredam karena jarak dia dan telepon agak jauh.

"Halo..."

Dengan nada gugup, Dinda mencoba membalas telepon itu.

"Wehhh suara cewe, pagi-pagi? Siapa kamu... Kenapa bisa teleponnya kamu yang pegang?". Rizal menggerutu diiringi rasa curiga.

"Tolong..." suara Dinda berat. "Riski... dia..."

"Hah?! Apa? Mana Riski?" Rizal kini benar-benar tegang.

"Kak, tolong temui kami." Dinda semakin panik.

"kalian di mana saat ini? Cepat kamu, kenapa? Apa yang terjadi?". Rizal mengerutkan dahinya.

Sinta yang sedari tadi menguping pun mulai buka suara.

"Kirim lokasi lewat GPS... Cepat... Heii kau wanita asing."

"Hah, wanita asing?" Rizal menunjuk ke Sinta.

"Heh... Apa maksudmu?"

Cemberut Sinta sembari melipat tangan.

"Tidak jelasnya ya Tuhan 😭😭. Ehemm... Cepat kau, wanita tak dikenal..."

"Ahh iya, GPS. Tunggu kak, tunggu."

Dinda seketika baru sadar mereka punya GPS. Dikirimkanlah koordinat mereka saat itu.

"Di rumah tua...???!!!!" Seakan tak percaya dengan yang mereka sadari, mereka pun mulai curiga.

"Kak, tolong temui kam..."Dinda pun tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri.

"Halo? Halo...?". Telepon mereka terputus, meninggalkan misteri yang cukup dalam.

"Wehhh, kenapa? Kenapa?". Sinta beranjak dari tempat duduknya, menggoyang-goyangkan tubuh Rizal meminta penjelasan yang Rizal tak tahu.

"Kita harus segera ke sana. Ada yang tidak beres."

Setelah meminta izin ke atasan mereka, mereka pun segera lari ke tempat parkir. Tanpa basa-basi, kedua muda-mudi itu naik ke motor.

Cekrekk... Cekrekk...

"Kenapa ii motormu, Rizal? Masa nda mau bunyi."

"Sabar kamu, biawak. Na kita usaha juga ini."

Rizal yang mulai kesal karena motornya tidak kunjung bunyi.

Plllakkkkkkkkkk...!!

Sinta memukul helm Rizal dengan spontan.

"Wehhh, kuncinya putar dulu."

Karena buru-buru, Rizal lupa memutar kunci motornya.

"Wehhh, maaf-maaf. Buru-buru ka ini."

Ucap Rizal sembari memutar kunci motornya.

Cekrekk...!!! Vroommmmmm...!!!

Mereka pun langsung tancap gas.

Debu dan asap kendaraan menghiasi jalanan. Kemacetan pun tak terhindarkan.

Tiiinnn... Tiiiiiinnnnn...!

"Awehh puang... Macet sekali, beh."

Rizal menekan terus klakson motornya.

"Wehhh ributnya. Tidak ada jalan kah?". Sinta menggerutu.

Hiruk-pikuk perkotaan dan jalan yang macet menghambat perjalanan mereka.

"Bukan jalan bapak kau ini..."

"Klakson terus... Tekan terus sampai jebol."

"Jalan cepat, macet. Apakah di depan itu?"

Orang-orang saling berteriak di tengah jalan kota yang macet.

"Kita cari jalan nah. Jalpin—jalan pintas."

Rizal memutar arah kendaraannya, mencoba cari alternatif lain.

"Nah, bagus. Tumben pinta, hehe.". Ucap Sinta sembari tertawa tipis.

"kamu mau turun di jalan kah? Bilang kalau kamu mau jalan kaki." ucap Rizal.

Mereka pun mencari jalan pintas. Mwaaawwww...!!!. "Eh, hati-hati ada kucing itu."

"Peluk...!!!". Rizal pun memain-mainkan gas motornya.

"Ihh, malasku, beh. Kecuali Riski baru aku mau."

"Bilang kalau mau jatuh. Mode Valentino Rossi ini."

Rizal menutup kaca helmnya. Seketika, Sinta memeluk dengan erat tubuh Rizal dari belakang.

"NGGGRRRRAAAAAAAHHHH!!"

Menyalak, memecah keheningan lorong. Motor Rizal melaju semakin cepat. Tiap tikungan dilewati dengan mulus, bak pembalap jalanan.

"Wehhh, pelan-pelan..."

Sinta teriak.

"Apa? Hah?".Ucap Rizal. "Apa?" .Suara Rizal samar-samar terhalang arus udara.

"Ditanya apa, dijawab apa?"

"Diam dulu. aku tidak dengar."

Mereka melewati lorong-lorong dan gang sembari mengikuti arah GPS. Tak lama, mereka tiba di dekat bangunan tua itu.

Suara mesin motor Rizal perlahan mereda.

"Brraaangg... ngg..."

Lalu senyap. Hanya terdengar "klik" halus saat kunci diputar.

"Akhirnya aku sampai." .Rizal melepaskan helmnya.

"Dengan kau, semakin dekat dengan Tuhan." . Sinta pun turun dari motor itu.

"Wah, bagus lah."

"Bagus matamu. Kita itu terlalu balap. Minta maaf cepat."

Sinta menjambak rambut Rizal.

"Iya, maaf."

Suasana suram langsung terasa ketika mata mereka tertuju ke arah bangunan tua itu. Terlihat anggun—dan bekas kejayaannya masih tersirat.

"Rumah kayu ini seram juga, yah.". Sinta merinding melihat rumah itu. Suasana mencekam dari bangunan itu, pagar kayu yang rusak, jendela yang menggantung, serta daun-daun pohon yang berhamburan, menambah kesan misterius itu.

"Mari mi kita masuk."Ucap Rizal sembari menuntun tangan Sinta untuk masuk ke sana.

"Tunggu." Sembari melepaskan genggaman tangan Rizal.

"Telepon mi dulu Riski. Jangan sampai kita salah lokasi."

Rizal pun menelpon Riski, tapi tak ada jawaban. "Coba masuk mi dulu. Masalahnya, tidak dengar kah kamu tadi suara cewe yang tiba-tiba matikan telepon?"

Sinta hanya mengangguk. Mereka pun masuk ke dalam rumah itu.

Kreettt... Kretttt...!!!

"Riski... Risss."

Suara Rizal menggema di seluruh ruangan.

"Rizal, kita berpencar. Nanti aku ke dapur. Kamu ke mana-mana hatimu senang."

Rizal langsung melangkah ke arah yang lain.

"Beritahu jika ada sesuatu, ya, Sinta.". Rizal pun meneruskan langkahnya. Tak berselang lama terdengar suara jeritan...

"Aaaaaahhhhhhhhh......!!!!" Pekikan itu menghentikan langkah Rizal untuk naik ke atas. Segera, Rizal mengecek apa yang terjadi. "Sintaa... Ada apa?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!