Hidup Edo menderita dan penuh hinaan setiap hari hanya gara-gara wajahnya tidak tampan. Bahkan ibu dan adiknya tidak mau mengakuinya sebagai bagian dari keluarga.
Dengan hati sedih, Edo memutuskan pergi merantau ke ibu kota untuk mencari kehidupan baru. Tapi siapa sangka, dia malah bertemu orang asing yang membuat wajahnya berubah menjadi sangat tampan dalam sekejap.
Kabar buruknya, wajah tampan itu membuat umur Edo hanya menjadi 7 tahun saja. Setelah itu, Edo akan mati menjadi debu.
Bagaimana cara Edo menghabiskan sisah hidupnya yang cuma 7 tahun saja dengan wajah baru yang mampu membuat banyak wanita jatuh cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HegunP, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Bingung Lagi
“Enak banget Kak Pangeran!” racau Miya, menikmati gempuran Edo yang sangat menggebu-gebu.
“Miya, aku mau keluar. Arghh…!” seru Edo yang diakhiri dengan erangan kuatnya yang pecah.
Edo melepas semua kenikmatannya ke dalam milik Miya. Kepuasan tiada tara langsung menyelimuti tubuh dan jiwanya, sampai mulutnya menganga lebar. Dia lalu istirahat sambil mengatur napas. Tapi alangkah kagetnya, datanglah 5 wanita tidak dikenal dari belakang. Mereka juga ingin merasakan nikmatnya kegagahan Edo.
“Sayang. Kami juga mau!” mohon mereka sambil membelai mesra tiap tubuh Edo yang dibasahi keringat.
Edo tersenyum, lalu langsung menggempur 5 cewek itu secara bergantian sampai mereka semua puas.
Ketika mereka sudah selesai dan Edo kembali beristirahat, Miya tiba-tiba datang entah darimana sambil menggendong bayi manusia.
“Ini anak siapa?” tanya Edo, keheranan.
“Ini anakmu, Kak Pangeran. Kita sudah jadi pasangan suami-istri,” ujar Miya senang.
Edo terkesiap. “Enggak. Aku gak mau jadi suamimu. Ini bukan anakku!”
Tiba-tiba, 5 cewek yang sebelumya dinikmati Edo juga datang sambil membawa bayi di masing-masing tangan mereka.
“Mas jangan lupa, kami juga istrimu. Ini juga anakmu!”
Edo makin melotot dan ketakutan. Sampai-sampai dibuat duduk tersungkur di tanah. “Bukan! Aku bukan suami kalian. Itu juga bukan anakku. Tidaaak!”
Edo mencoba berlari sekuat tenaga tapi tubuhnya seakan tatap berada di tempat. Tidak bisa pergi ke mana-mana meski telah berlari sekuat mungkin.
“Mas Edo mau ke mana. Kami istrimu. Kamu harus hidup bersama kami sampai tempo kutukan tampanmu habis. Hahaha!” ucap mereka ber-5, termasuk juga Miya dengan tawa jahat yang sangat nyaring.
“TIDAK! PERGI KALIAN!”
Dan akhirnya, Edo tersadar dari pingsannya sambari berteriakan kencang. Wajahnya sampai dibuat basah karena keringat yang bercucuran. Dia lalu memijat-mijat dahinya.
Sampai akhirnya, dia tersadar kalau Miya dan 5 cewek yang membawa bayi itu hanyalah mimpi.
“Syukur cuma mimpi. Aduh kepalaku, ko jadi sakit banget!” keluh Edo sambil bergeser dan duduk di tepi tempat tidur. Penglihatannya masih sedikit buram. Sampai akhirnya ia terheran-heran saat pandangannya benar-benar sudah jelas.
“Ini ruangan apa? Ko kaya rumah sakit?” tanyanya pada diri sendiri. Dan memang benar, Edo ada di ruangan rumah sakit sekarang.
Sementara itu, ada seorang pemuda bertubuh tinggi di luar pintu kamar. Dia lalu melihat Edo yang akhirnya tersadar.
“Dokter, dia udah siuman!” panggil pemuda itu ke seorang dokter yang sedang berdiri di dekatnya.
Si pemuda dan pak dokter bergegas masuk ke ruangan, menghampiri Edo.
“Akhirnya sadar juga kamu,” kata pemuda itu yang parasnya bisa dibilang tampan dengan rambut bergelombang yang dipotong pendek.
Edo cuma diam menatap rupa si pemuda yang ternyata nampak masih seumuran dengannya.
Edo yang masih lupa-lupa ingat tentang kejadian apa yang menimpanya sebelum pingsan cuma bisa diam mendengarkan semua kejelasan yang diterangkan oleh pemuda itu.
Pemuda itu juga sempat memperkenalkan diri sebelum bercerita panjang. Namanya adalah Aldi. Dia cerita kalau Edo jatuh pingsan ke motornya yang terparkir di depan minimarket.
“Aku merasa kasihan. Mangkanya kubawa kamu ke sini. Terus aku juga berfikir kamu mungkin korban penculikan yang berhasil meloloskan diri,” cerita Aldi dengan wajah semangat.
Pemuda bernama Aldi itu memang mengira begitu, karena ia sempat melihat pergelangan tangan dan kaki Edo saat pingsan ada bekas luka merah seperti pernah diikat tali.
Setelah Aldi cukup bercerita, pak Dokter pun menjelaskan keadaan kesehatan Edo sekarang.
“Kamu pingsan karena kepala belakangmu habis terkena pukulan benda tumpul. Tapi tidak terjadi cedera fatal. Kamu bisa langsung pulang dari rumah sakit sekarang,” kata si dokter.
“Terimakasih dokter,” ucap Edo.
“Sama-sama. Oh iya, masalah biaya perawatan, dia yang sudah membayar,” tambah si dokter sambil menunjuk ke arah Aldi.
Edo mengangguk, lalu tersenyum kepada Aldi. Dia bersyukur kondisi tubuhnya tidak apa-apa, serta bersyukur diselamatkan oleh orang yang baik.
Aldi balas tersenyum lalu mengajak Edo untuk keluar dari rumah sakit.
“Jadi kamu bukan korban penculikan, Bro!” tanya Aldi yang tidak sungkan memanggil Edo dengan panggilan ‘Bro,’ padahal baru kenal. Mereka berdua sedang berjalan di lorong rumah sakit.
“Bukan. Aku jatuh pingsan karena …. Ah, sudahlah, ceritanya panjang,” tukas Edo yang memang tidak mau membahas musibah yang menimpanya sebelum jatuh pingsan.
Edo sekarang sudah mengingat semuanya, dan karena ingatannya sudah kembali jelas, itu membuat tubuhnya langsung dibuat gemetar. Ia pun tidak mau mengingat-ngingat perbuatannya yang tidak terkontrol itu—yang hampir menghamili Miya, serta hampir menghancurkan masa depannya sendiri yang singkat.
Ditambah lagi, soal mimpi yang tadi. Masih teringat jelas di benaknya. Ingat itu saja sekujur tubuh Edo langsung merinding.
Aldi yang paham kalau orang di sebelahnya tidak mau bercerita, memilih manggut-manggut dan membiarkan.
Sekarang, Edo yang sudah tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan mulai merasa kebingungan dan resah. Di depan sana sudah terlihat pintu keluar rumah sakit. Yang artinya, setelah sampai di pintu itu Edo harus memulai dari awal lagi. Mencari tempat tinggal dan pekerjaan baru. Tapi bingung harus kemana dan bagaimana. Apalagi uang hasil kerja bersama Taufik di dompetnya masih sangat sedikit untuk bertahan hidup.
Edo menghela napas panjang. Merasa frustasi.
Dia merasa hidupnya kembali berat. Bahkan ketika sudah menjadi tampan seperti ini, semua masih saja terasa sulit.
Satu-satunya orang yang bisa dimintai bantuan mungkin adalah pemuda di sebelah Edo yang bernama Aldi ini. Tapi Edo malu untuk meminta. Apalagi pemuda itulah yang telah menolongnya. Masa masih mau minta bantuan lagi.
Karena tidak ada pilihan lain untuk bisa bertahan hidup, maka Edo pun memberanikan diri untuk mengatakannya saja sambil tetap melangkah.
“Aldi, boleh gak—” ucapan Edo terputus karena Aldi lebih dulu mengatakan sesuatu dengan cepat.
“Bro, kamu kelihatan pantas banget. Mau gak jadi orang sukses bareng aku?” tawar Aldi.