Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9
Sore hari, ruang kerja pribadi Ustadz Damar.
Langit tampak memerah di balik jendela kaca. Ustadz Damar duduk tenang di kursi sambil memegang ponsel di telinganya.
Di layar, tertera nama Tuan Narendra Kazehaya kakek sekaligus wali dari Kia Eveline Kazehaya.
Sambungan tersambung. Suara berat dan tegas terdengar dari seberang.
Tuan Narendra dengan aksen Jepang yang tertahan, "Assalamu’alaikum, Ustadz Damar-san. Saya sudah menanti telepon ini sejak tadi siang. Apakah semua sudah baik-baik saja di pondok pesantren Anda?"
Ustadz Damar tenang dan bersahaja, "Wa’alaikumussalam warahmatullah, Tuan Narendra. Terima kasih telah menerima panggilan saya. Saya ingin menyampaikan sesuatu yang penting dan mendesak."
"Setelah berdiskusi dengan orang tua dan para guru di pondok pesantren, serta melalui banyak pertimbangan dan istikharah. Saya memutuskan untuk memajukan pernikahan saya dengan Kia. InsyaAllah akan kami laksanakan Jumat ini."
Tuan Narendra terdiam sesaat, suaranya terdengar berubah lebih berat.
"Saya sangat terharu mendengar keputusan Anda, Ustadz Damar. Dan sekaligus saya merasa sangat bersalah."
"Kia adalah satu-satunya cucu saya. Saya membesarkannya seperti anak sendiri, tapi mungkin dalam banyak hal saya terlalu longgar. Saya tidak mengira langkah-langkahnya akan menjadi masalah sebesar ini bagi pihak pesantren dan keluarga Anda."
"Saya pribadi dengan rendah hati ingin meminta maaf kepada Kiyai Hisyam Hafidz dan Nyai Kalsum atas kegaduhan yang disebabkan oleh cucu saya. Ini bukan kesalahan mereka ini kelalaian saya sebagai wali."
Ustadz Damar menundukkan kepala, menahan haru atas kerendahan hati Tuan Narendra.
"Saya akan sampaikan permintaan maaf Anda, Tuan. Dan saya yakin Ayahanda akan menghargai ketulusan itu. Bukan kehormatan keluarga kami yang ternoda tapi justru ujian ini membuat kami lebih paham bahwa hidayah Allah datang dengan jalan yang tak selalu indah di mata manusia."
"Saya tidak menginginkan pernikahan yang megah, Tuan. Cukup saksi, wali, dan ridha Allah. Tapi saya harap, Tuan berkenan hadir dan menjadi bagian dari saksi perubahan besar dalam hidup Kia."
Tuan Narendra terdengar menarik napas panjang. "Saya akan datang, Ustadz. Saya akan berdiri sebagai wali sekaligus seorang kakek yang ingin melihat cucunya dipandu oleh lelaki beriman."
"Dan saya berjanji… saya akan sepenuhnya mempercayakan Kia kepada Anda bukan sebagai beban, tapi sebagai titipan amanah dari seorang kakek kepada seorang pemimpin sejati."
Ustadz Damar menutup telepon itu dengan tenang, lalu berdiri dan menatap langit senja.
"Ya Allah, cukupkan kekuatan dalam bimbingan-Mu. Jika niat ini Engkau ridhoi, maka mudahkan jalan kami bukan agar terlihat benar di mata manusia, tapi agar selamat di sisi-Mu.”
Keesokan harinya..
Langit sore menggantung kelabu, seperti suasana hati Kia Eveline. Di sudut kafe yang sudah dipesan khusus oleh Kakek Narendra Kazehaya, duduklah seorang perempuan muda dengan jaket hitam dan sepatu boots yang membentur lantai setiap kali dia mengayun kaki.
Rambutnya dikuncir satu ke belakang, mempertegas gaya tomboynya yang khas bukan seperti calon pengantin, tapi lebih mirip calon petarung bisnis NK Corp.
Ketika seorang pria dengan jubah sederhana dan wajah tenang datang, Kia hanya melirik sekilas. Itulah Ustadz Damar Faiz Alfarez, pria 32 tahun yang akan menjadi suaminya hari Jumat nanti, jika rencana kakeknya berjalan mulus.
"Ustadz Damar duduk aja. Tapi aku kasih tahu di awal, jangan berharap ada basa-basi," ujarnya tajam sambil menyilangkan tangan.
Ustadz Damar mengangguk pelan, duduk dengan tenang di hadapannya. Sorot matanya lembut, tapi penuh keteguhan yang tak bisa diabaikan.
Kia menarik napas dalam. Suaranya terdengar datar, tapi getir menyembul di sela-selanya.
"Aku ini bukan perempuan baik-baik, Ustadz," ucapnya.
"Aku nggak bisa masak, ngaji aja nggak pernah tamat, shalat pun kadang aku ngeledek temen yang rajin. Puasa? Paling cuma waktu SD. Dan yang paling penting..."
Kia menatap lurus, tanpa berkedip.
"Aku nggak akan mau dipaksa pakai jilbab. Aku benci diatur. Aku benci dikekang. Jadi kalau Ustadz pikir nikah bisa bikin aku berubah maaf, aku bukan proyek dakwah," serunya, nada suaranya meninggi, sengaja menantang.
Ustadz Damar tetap tak bergeming. Ia menatap Kia seperti seseorang yang melihat luka, bukan kesalahan.
Lalu ia berkata pelan, "Aku tidak pernah menganggapmu proyek, Kia. Dan aku juga tidak berniat memaksa." Ujarnya dengan suara teduh.
Kia mengernyit. "Terus? Buat apa kita nikah kalau aku sendiri bilang dari awal aku nggak bisa jadi istri ideal yang kamu bayangin?"
Ustadz Damar tersenyum kecil nyaris tak terlihat. Tapi sorot matanya dalam dan menghangat.
"Aku nggak mencari istri yang ideal, Kia. Aku mencari seseorang yang nyata. Yang mungkin belum sempurna, tapi tidak pura-pura. Kamu sudah jujur dan itu lebih dari cukup untuk aku hormati," ucapnya dengan mantap.
Untuk pertama kalinya Kia terdiam. Bukan karena kalah, tapi karena terkejut. Ia terbiasa dilabeli 'pemberontak', terbiasa dijudge tanpa diberi kesempatan. Tapi pria ini. tidak menjatuhkan ayat, tidak menekan dengan dogma. Hanya duduk di sana, mendengar dan tidak lari.
"Aku mungkin nggak akan berubah," gumam Kia lebih pelan, menunduk. "Aku keras kepala. Kadang bar-bar. Mungkin kamu bakal nyesel."
"Kalau aku takut menyesal, aku tak akan datang hari ini," ujarnya lembut.
"Dan Kia, kalau Tuhan mengizinkan kita bersatu, mungkin bukan untuk saling mengubah tapi untuk saling mengenal jalan masing-masing. Mungkin nanti kamu akan belajar attau mungkin aku yang belajar lebih sabar."
Kia menatap lelaki itu dalam diam. Di antara semua laki-laki yang mencoba mengubahnya, hanya pria ini yang tidak pernah memintanya jadi orang lain. Entah mengapa itu yang justru mengusik pertahanannya.
Kia mengetukkan jarinya di meja kayu, berusaha meredam detak jantung yang mulai tak teratur. Ustadz Damar masih duduk dengan tenang di hadapannya, seolah badai yang sedang Kia lontarkan hanyalah angin sepoi-sepoi yang tak perlu ditakuti.
Tapi Kia tak pernah suka dipandang seperti itu. Ia perempuan yang hidup di dunia penuh tekanan, bertahan dengan gigi terkertap dan kepala tegak. Ia bukan bunga yang ingin dipetik, tapi batu yang sudah terbentuk dari tekanan bertahun-tahun.
"Dan satu lagi, Ustadz," ucap Kia, kali ini lebih tegas. "Aku akan tetap latihan Taekwondo di Dojo setiap malam. Aku juga masih aktif ikut balapan motor bahkan tahun ini aku lagi daftar sirkuit mobil juga."
Ia melipat tangan di dada, menatap Ustadz Damar dengan sorot tajam yang tak mengharapkan penghakiman.
"Aku bakal tetap kerja di NK Corp sebagai calon CEO. Itu mimpiku dan nggak ada yang bisa cabut itu dariku. Bahkan pernikahan," serunya lantang seakan ingin memastikan lelaki di depannya paham bahwa menikahinya bukan berarti memenjarakannya.
"Dan aku nggak akan tinggal di area pesantren. Maaf. Aku butuh ruang, butuh langit yang luas, bukan dinding-dinding yang membatasi. Aku nggak bisa hidup dengan aturan-aturan yang kaku. Aku cuma nggak bisa," ujarnya dengan nada getir suara Kia perlahan menurun di akhir kalimat.
Untuk sesaat suara-suara di kafe seolah meredup. Hanya ada detak jam dinding dan suara napas yang tertahan. Kia tak menangis. Dia terlalu keras untuk itu. Tapi ada sesuatu di balik matanya yang seperti sedang retak perlahan antara kelelahan melawan dan ketakutan akan diterima.
Ustadz Damar menunduk sesaat, lalu menatap Kia bukan dengan keberanian yang menantang, tapi dengan kelembutan yang menundukkan.
"Kia..." ucapnya lirih, "aku menikah bukan untuk mencabut sayapmu. Tapi mungkin, jadi tempat kamu istirahat sejenak saat lelah terbang sendirian."
Kia berkedip pelan. Tidak percaya bahwa seseorang bisa mengatakan itu tanpa nada meremehkan atau pura-pura paham.
"Kamu bisa terus di Dojo. Kamu bisa tetap balapan, mengejar semua ambisimu. Dan kamu boleh tidak tinggal di pesantren. Tapi izinkan aku sesekali datang, menanyakan kabarmu, mendoakanmu diam-diam di sepertiga malam, meski kamu tidak sadar," ujarnya tenang tapi dalam seperti air yang mengalir di celah batu yang retak.
"Aku tidak ingin mencuri masa mudamu, Kia. Aku cuma ingin membersamai kalau kamu izinkan."
Dan sore itu, Kia tak lagi bisa membedakan mana yang lebih berani ia yang menolak semua hal untuk menjadi dirinya sendiri, atau lelaki itu yang memilih mencintainya, tanpa syarat, dalam wujud Kia yang paling liar, paling keras dan paling nyata.
"Lalu... gimana dengan tanggapan orang-orang di pesantren Al Firdaus? Mereka pasti udah nyinyir dari sekarang kan? Ustadz idola nikah sama cewek ‘liar’ kayak aku?" Tanyanya Kia, menatap lurus seolah ingin memastikan luka itu disampaikan tanpa topeng.
"Mereka mungkin sudah membuat bayangan tentang istri ustadz yang alim, anggun, berjilbab, tahu baca kitab gundul, dan bisa nyambung kalau ngomongin ilmu fiqh," serunya nada bicaranya sarkastik.
"Bukan... aku. Yang masih suka ngumpat kalau marah, yang masih angkat tangan sama sparring partner cowok di Dojo, dan nggak ngerti bedanya surah Makkiyah dan Madaniyah."
Kia tertawa kecil, getir. Tapi matanya tak ikut tertawa. Justru seperti sedang menahan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar amarah seperti luka masa lalu yang tak pernah dijahit benar.
Namun Ustadz Damar tidak tertawa. Ia justru menatap Kia seperti seseorang yang sedang melihat versi paling rapuh dari seseorang yang berusaha terlihat paling kuat.
"Mereka akan bicara, Kia. Dan mungkin sebagian memang akan menilai. Tapi aku bukan menikah untuk menyenangkan semua orang di Al Firdaus," ujarnya pelan tapi tegas.
"Aku menikah karena Allah, dan karena aku melihat ada cahaya di balik kerasnya kamu menolak agama. Kamu belum tahu, Kia. Tapi aku percaya Allah bisa menumbuhkan iman dari tanah yang retak," imbuhnya penuh keyakinan.
Kia memalingkan wajah sejenak, rahangnya mengeras. Tapi dia tetap bertanya,
"Jadi... kamu siap dicibir? Dibilang jatuh cinta sama perempuan yang jauh dari syar’i, Yang bahkan nggak tahu rasanya sujud dengan hati?" tanyanya Kia lebih lirih kali ini.
"Siap," jawab Ustadz Damar singkat.
"Karena Kia yang mereka bicarakan bukan Kia yang aku lihat hari ini. Yang aku lihat adalah perempuan yang berani jujur tentang luka dan batas dirinya. Dan itu jauh lebih mulia di hadapan Allah daripada kemunafikan yang disembunyikan di balik hijab panjang dan ayat-ayat hafalan."
Dan untuk pertama kalinya, Kia kehilangan jawaban. Karena hari itu di sebuah kafe yang hanya seharusnya jadi tempat penolakan, ia malah menemukan seseorang yang tak melawannya dengan dogma melainkan menerima keberadaannya, sepenuhnya.
"Mampir baca novel aku judulnya Dihina Camer Dirajakan Kekasih."
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣