NovelToon NovelToon
AKU SEHARUSNYA MATI DI BAB INI

AKU SEHARUSNYA MATI DI BAB INI

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Isekai / Menjadi NPC / Masuk ke dalam novel / Kaya Raya
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

ongoing

Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.

Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#8

Pagi di Shanghai tidak pernah benar-benar tenang. Bahkan di kawasan elite, di balik pagar besi tinggi dan penjagaan berlapis, kota tetap bernapas masih ada suara klakson jauh di bawah, deru kendaraan yang tidak pernah sepenuhnya tidur, dan cahaya matahari yang memantul di gedung-gedung kaca seperti mata yang mengawasi dari segala arah.

Wei Li duduk di tepi ranjang dengan punggung sedikit membungkuk. Ia melipat kedua tangannya di depan perutnya bukan karena dingin, tapi karena tubuhnya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ujung jarinya saling menekan, lalu terlepas. Menekan lagi. Gugup. Gelisah. Ia mengangkat satu tangan dan menggaruk kepalanya, padahal tidak gatal. Kebiasaan lama. Kebiasaan orang yang pikirannya terlalu penuh. “Ini… makin kacau,” gumamnya pelan.

Bayangan semalam kembali menyeruak. Hujan. Tembakan. Asap. Tatapan Kun A Tai yang gelap dan dingin lalu sentuhan singkat di pipinya. Wei Li mengepalkan tangannya. Tangannya gemetar. Ia menurunkannya cepat-cepat dan mengusap lengannya sendiri, seolah sentuhan itu bisa menghapus sisa dingin yang tertinggal di kulitnya. Ini seharusnya tidak terjadi, pikirnya.

Di novel, Lu Xian Yue mati dengan cara yang jelas, kejam, dan… terencana. Tidak ada peringatan. Tidak ada perlindungan. Tidak ada Kun A Tai yang berdiri di depannya, mengatakan “kau berada di wilayahku.” Wei Li menelan ludah.

“Alurnya rusak,” katanya lirih. “Rusak total.” Ia berdiri dan berjalan ke jendela besar. Tirai sudah terbuka. Dari lantai tinggi mansion itu, Shanghai terbentang luas—megah, padat, dan kejam dalam caranya sendiri. Kota ini mengingatkannya pada dunia lamanya. Kota yang tidak peduli siapa kau, selama kau tidak jatuh di jalurnya. Wei Li menyilangkan kedua lengannya di dada. Posturnya tertutup. Defensif. “Kalau ini masih mengikuti novel,” gumamnya, “aku seharusnya sudah mati.”

Pintu diketuk pelan.“Masuk,” katanya.

Han Jae Hyun melangkah masuk sambil membawa dua cangkir kopi. Ia mengenakan kemeja gelap tanpa jas tanda pagi yang belum sepenuhnya resmi. “Kopi,” katanya sambil menyerahkan satu cangkir. “Dan kabar buruk.” Wei Li menerima kopi itu dengan kedua tangan. Hangatnya meresap ke telapak tangannya yang dingin. “Aku sudah hidup cukup lama hari ini,” katanya datar. “Kabar buruk yang mana?”

Jae Hyun duduk di kursi seberang. “Penyelidikan internal selesai. Serangan semalam bukan dari pihak Shen Yu An.” Wei Li mengerjapkan mata. Alisnya mengerut. Wajahnya jelas menunjukkan kebingungan. “Bukan dia?” ulangnya.

“Bukan,” jawab Jae Hyun. “Atau setidaknya… bukan langsung.” Wei Li mengangkat tangannya, mengusap dahi, lalu menggaruk rambutnya lagi lebih keras kali ini. “Kalau bukan dia,” katanya perlahan, “siapa lagi yang cukup gila buat ngirimin pesan ke aku?”

Jae Hyun menyandarkan punggung, wajahnya serius. “Dunia Kun A Tai tidak hanya diisi oleh satu musuh.” Wei Li menatap kopi di tangannya. Cairan hitam itu bergetar sedikit karena jemarinya tidak sepenuhnya stabil. “Aku bahkan belum melakukan apa-apa,” katanya pelan.

Jae Hyun tersenyum tipis. “Di dunia ini, Nyonya… ada saja sudah cukup.” Wei Li tertawa pendek—tanpa humor. Ia meletakkan kopi di meja dengan gerakan sedikit terlalu keras. “Gila,” gumamnya. “Gue cuma pengen hidup aman.” Ia menutup mata sejenak, lalu membuka lagi. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Kali ini ia tidak berusaha menyembunyikan getarnya.

“Jae Hyun,” katanya. “Kalau aku menghilang”

“Tidak,” potong Jae Hyun cepat. Wei Li menoleh. Jae Hyun berdiri, menatapnya tajam. “Jangan bicara seolah itu pilihan,” katanya. “Bukan di Shanghai. Bukan dengan nama Lu Xian Yue.” Wei Li menghela napas panjang. Bahunya turun, seolah menahan beban yang terlalu berat.

“Aku bukan Lu Xian Yue,” katanya lirih. “Aku tidak pernah jadi dia.” Jae Hyun menatapnya beberapa detik. Lalu, alih-alih bertanya, ia berkata pelan, “Saya tahu.”

Wei Li membeku. “Apa maksudmu?” Jae Hyun tersenyum kecil. “Maksud saya… Lu Xian Yue yang lama tidak akan pernah berdiri di sini dengan wajah bingung seperti itu.” Wei Li mengangkat tangan, menyentuh pipinya sendiri. “Wajah bingung?”

“Iya,” jawab Jae Hyun. “Dia biasanya marah. Atau meremehkan. Bukan… berpikir.” Wei Li terdiam. Ada ketukan lain di pintu. Kali ini lebih tegas. Seorang penjaga masuk. “Nona Lu. Tuan Kun menunggu di ruang kerja.” Perut Wei Li mengencang. Ia melipat kedua tangannya lagi kebiasaan yang kembali muncul lalu mengangguk. “Aku turun,” katanya.

Koridor mansion panjang dan sunyi. Setiap langkah Wei Li terdengar jelas. Ia menyadari caranya berjala npunggungnya lurus, bahunya tegang, tangannya sesekali mengepal lalu terbuka lagi. Ia berhenti di depan pintu ruang kerja Kun A Tai. Menarik napas. Masuk. Kun A Tai berdiri di balik meja besar, memandangi peta digital Shanghai yang menyala di layar. Ia tidak menoleh saat Wei Li masuk.

“Duduk,” katanya. Wei Li duduk. Ia menyilangkan kaki, lalu membukanya lagi—tidak nyaman. Tangannya diletakkan di paha, lalu ditarik ke pangkuan. Ia mengusap lengan kirinya dengan tangan kanan, gerakan kecil yang tidak ia sadari. “Semalam,” kata Kun A Tai akhirnya, “bukan kebetulan.”

Wei Li mengangguk. “Aku tahu.” Kun A Tai menoleh. Tatapannya menyapu wajah Wei Li, seolah membaca garis-garis kecil ekspresi yang tidak bisa disembunyikan.

“Kau takut,” katanya. Wei Li menegang. Rahangnya mengeras. “Aku manusia.” Kun A Tai mendekat. Ia bersandar di meja, jarak mereka lebih dekat dari yang Wei Li sukai. “Tapi kau tidak lari,” lanjutnya.

Wei Li mengepalkan tangan di pangkuannya. “Belum.” Untuk pertama kalinya, Kun A Tai tersenyum tipis, hampir tidak terlihat. “Takdir berubah sejak kau berubah,” katanya pelan. “Dan dunia ini tidak menyukai perubahan.”

Wei Li menelan ludah. “Aku tidak minta ini.”

“Takdir tidak pernah bertanya,” jawab Kun A Tai.

Keheningan muncul . Wei Li menatap lantai sejenak, lalu mengangkat wajahnya. Matanya jernih, meski masih ada sisa ketakutan di sana. “Kalau alurnya sudah rusak,” katanya, “apa aku masih akan mati?” Kun A Tai menatapnya lama. Sangat lama.

“Selama kau berada di Shanghai,” katanya akhirnya, “dan selama kau berada di wilayahku tidak.” Wei Li mengusap wajahnya dengan satu tangan, lalu tertawa pendek. “Ini terdengar seperti ancaman yang dibungkus janji.”

Kun A Tai tidak membantah. Saat Wei Li keluar dari ruangan itu, langkahnya terasa lebih berat. Di balik pintu yang tertutup, ia bersandar sebentar. Punggungnya menempel di kayu dingin. Ia menutup mata, menghembuskan napas panjang. Tangannya gemetar lagi.

Ia mengepalkannya. Mengendurkannya. Lalu mengusap lengannya sendiri, berusaha menenangkan detak jantung yang belum mau turun. “Aku masih hidup,” bisiknya pada diri sendiri. Dan untuk pertama kalinya sejak datang ke dunia ini Ia tidak yakin apakah itu kabar baik atau buruk.

1
Queen AL
nama sudah ke china-chinaan, eh malah keluar bahasa gue. tiba down baca novelnya
@fjr_nfs
/Determined/
@fjr_nfs
/Kiss/
X_AiQ_Softmilky
uhuyy Mangat slalu🤓💪
@fjr_nfs: /Determined/
total 1 replies
Jhulie
semangat kak
@fjr_nfs
jangan lupa tinggalkan like dan komennya yaa ☺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!