Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: KEHANGATAN YANG MENIPU**
# **
Setelah pertengkaran malam itu, Nathan tidak pulang selama tiga hari.
Alara tidak bertanya. Tidak mengirim pesan. Tidak menelepon. Karena ia sudah belajar—Nathan tidak ingin dihubungi. Nathan tidak ingin ada yang peduli.
Jadi Alara hidup seperti biasa. Bangun pagi, sarapan sendirian, berangkat ke kantor, menghadapi tatapan sinis dan bisikan, pulang ke rumah kosong, makan malam sendirian, tidur dengan hati yang semakin hampa.
Rutinitas yang membunuh. Perlahan tapi pasti.
---
**HARI SENIN, MINGGU KETIGA**
Alara duduk di mejanya, menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Di depannya, desain untuk proyek baru Erlangga Corp—gedung perkantoran 20 lantai. Tapi pikirannya tidak fokus. Tangannya bergerak di atas mouse, tapi tidak ada yang diklik.
Matanya sembab—bukti tidur yang tidak nyenyak. Semalam ia bermimpi tentang ayahnya. Mimpi di mana ayahnya menatapnya dengan tatapan kecewa, bertanya, *"Apakah ini yang kau inginkan, Alara? Hidup seperti ini?"*
Dan Alara tidak punya jawaban.
"Alara?"
Suara Rian menyadarkannya. Alara mengerjapkan mata, berusaha fokus.
"Ya?"
"Kamu baik-baik aja? Dari tadi aku panggil nggak nyahut," kata Rian dengan nada khawatir. "Kamu... kelihatan pucat."
"Aku baik," jawab Alara refleks—jawaban otomatis yang sudah menjadi mantra. "Cuma kurang tidur."
Rian tidak terlihat yakin, tapi ia tidak mendesak. "Oh iya, ada kabar. Divisi Marketing dapat kepala baru. Direktur baru dari cabang Singapura. Katanya cantik banget dan super profesional."
Alara hanya mengangguk pelan, tidak terlalu peduli. Perubahan manajemen di divisi lain bukan urusannya.
"Namanya Kiara Anjani," lanjut Rian sambil menyeruput kopinya. "Katanya dulu pernah kerja di Erlangga Corp, terus resign lima tahun lalu. Sekarang balik lagi dengan posisi lebih tinggi. Hebat ya?"
Nama itu terngiang di kepala Alara.
*Kiara.*
Kenapa nama itu terasa... familiar? Seolah pernah ia dengar di suatu tempat.
Tapi ia tidak ingat di mana.
---
**JAM MAKAN SIANG**
Alara memutuskan makan di kantin—sesuatu yang jarang ia lakukan karena tidak tahan dengan tatapan dan bisikan. Tapi hari ini, ia terlalu lelah untuk peduli. Ia mengambil nasi dan sayur sederhana, lalu duduk di meja pojok sendirian.
Kantin ramai. Suara percakapan, tawa, dan dentingan sendok-garpu memenuhi ruangan. Alara makan dalam diam, fokus pada piringnya, mencoba tidak mendengar bisikan dari meja-meja sekitar yang sesekali menyebut namanya.
Tapi tiba-tiba, kantin sedikit hening.
Alara mengangkat wajah—dan melihat seorang wanita cantik berjalan masuk. Rambut panjang bergelombang, setelan blazer putih yang sempurna, heels yang berklik percaya diri di lantai keramik. Wajahnya... sempurna. Seperti model di majalah.
Semua mata tertuju padanya.
"Itu dia, Kiara Anjani," bisik seseorang dari meja sebelah.
"Cantik banget..."
"Pantas aja bisa jadi direktur."
Alara menatap wanita itu sekilas, lalu kembali fokus pada makanannya. Tapi matanya tidak bisa lepas sepenuhnya—ada sesuatu tentang wanita itu. Sesuatu yang... mengganggu.
Kiara mengambil nampan, memilih makanan dengan gerakan anggun. Lalu matanya menyapu ruangan—mencari tempat duduk.
Dan tatapannya berhenti pada Alara.
Untuk sesaat, Kiara menatap Alara dengan ekspresi yang sulit dibaca. Lalu, ia tersenyum—senyum yang hangat, ramah—dan berjalan mendekat.
Alara membeku.
*Tidak. Jangan ke sini. Kumohon jangan ke sini.*
Tapi Kiara sudah berdiri di hadapannya.
"Halo," sapa Kiara dengan suara yang lembut, merdu. "Boleh aku duduk di sini? Meja lain penuh."
Alara melirik sekeliling—ada beberapa meja kosong. Tapi ia tidak bisa bilang tidak tanpa terlihat kasar.
"Silakan," kata Alara pelan.
Kiara duduk dengan gerakan anggun, meletakkan nampannya. Ia tersenyum lagi—senyum yang begitu tulus, begitu hangat.
"Kamu Alara, kan? Alara Davina?" tanyanya.
Alara mengangguk kaku. Jantungnya berdegup lebih cepat—tapi ia tidak tahu kenapa.
"Aku Kiara. Kiara Anjani. Direktur Marketing yang baru." Kiara mengulurkan tangan.
Alara menatap tangan itu sebentar, lalu menjabatnya. Tangannya terasa lembut, hangat—kontras dengan tangan Nathan yang selalu dingin.
"Senang bertemu denganmu," kata Kiara tulus. "Aku dengar kamu designer berbakat. Proyekmu untuk perumahan Green Valley bagus banget. Aku lihat portfolionya."
Alara tersentak kaget. Tidak banyak orang yang memuji pekerjaannya. Kebanyakan hanya melihatnya sebagai "istri CEO".
"Terima kasih," gumam Alara, tidak tahu harus bilang apa.
Mereka makan dalam diam sebentar. Tapi bukan diam yang canggung—diam yang... nyaman. Aneh, karena ini baru pertama kali mereka bertemu.
"Kamu terlihat lelah," kata Kiara tiba-tiba, nadanya penuh empati. "Kerjaannya berat?"
Alara mengangkat wajah, menatap Kiara. Mata wanita itu penuh perhatian—perhatian yang tulus, bukan perhatian yang ingin tahu gosip.
"Lumayan," jawab Alara pelan.
"Atau..." Kiara berhenti sejenak, "...ada yang lain?"
Pertanyaan itu terlalu personal untuk orang yang baru dikenal. Tapi entah kenapa, Alara tidak merasa tersinggung. Justru ada yang... lega. Lega karena ada yang bertanya dengan nada peduli.
"Hanya... beradaptasi," kata Alara akhirnya. "Masih baru di sini."
Kiara mengangguk mengerti. "Aku paham. Erlangga Corp itu... bisa menjadi tempat yang keras. Orang-orang di sini kompetitif. Terkadang kejam."
Alara menatap Kiara lebih lama. Ada sesuatu di nada bicaranya—seolah ia mengerti. Seolah ia pernah mengalami.
"Kamu... pernah kerja di sini sebelumnya?" tanya Alara hati-hati.
Kiara tersenyum—senyum yang sedikit pahit di ujungnya. "Ya. Lima tahun lalu. Tapi aku resign. Ada... alasan pribadi."
Ia tidak menjelaskan lebih jauh, dan Alara tidak bertanya.
Mereka melanjutkan makan. Kiara mulai bercerita tentang pengalamannya di Singapura, tentang proyek-proyek yang ia tangani, tentang betapa berbedanya budaya kerja di sana. Ia berbicara dengan antusias, dengan kehangatan yang membuat Alara—untuk pertama kalinya sejak lama—merasa nyaman.
Tidak ada tatapan menghakimi. Tidak ada bisikan. Hanya... percakapan normal.
"Kamu tahu," kata Kiara sambil menyendok dessert-nya, "aku rasa kita bisa jadi teman baik."
Alara tersentak. Teman? Sudah lama ia tidak punya teman—bukan teman sungguhan. Rian baik, tapi mereka tidak dekat. Tidak ada yang mau dekat dengan "istri kontrak CEO".
"Aku... aku tidak tahu banyak orang yang mau berteman denganku di sini," kata Alara jujur, suaranya sedikit getir.
Kiara menatapnya dengan tatapan lembut—tatapan yang penuh pengertian. "Karena kamu istri Nathan?"
Alara membeku. Jantungnya berhenti sedetik.
Kiara tersenyum tipis. "Semua orang tahu, Alara. Tapi itu tidak berarti kamu harus diasingkan. Kamu bukan gelarmu. Kamu lebih dari itu."
Kata-kata itu... kata-kata itu menyentuh sesuatu di dalam dada Alara yang sudah lama mati rasa. Matanya memanas.
"Terima kasih," bisik Alara. Suaranya bergetar sedikit.
Kiara mengulurkan tangan, menyentuh tangan Alara sekilas—sentuhan yang lembut, menenangkan. "Aku tahu rasanya sendirian di tempat ini. Jadi kalau kamu butuh teman... aku di sini."
Alara menatap wanita cantik di hadapannya ini. Ada kehangatan di sana—kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Alara tersenyum. Senyum kecil, tapi tulus.
"Aku... aku suka itu."
---
**SORE HARINYA**
Alara pulang dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Pertemuan dengan Kiara memberinya sesuatu yang tidak ia sangka—harapan. Harapan bahwa mungkin, ia tidak harus sendirian di tempat ini.
Ia memasuki mansion dengan langkah yang tidak se-berat biasanya. Tapi begitu masuk, ia berhenti.
Nathan duduk di ruang tamu. Jas sudah dilepas, lengan kemeja digulung. Ia menatap layar laptopnya dengan ekspresi serius.
Pulang? Nathan pulang sore?
"Kau sudah pulang," kata Alara pelan—lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Nathan mengangkat wajah sebentar. Tatapannya bertemu dengan Alara—dan untuk sesaat, ada sesuatu di sana. Penyesalan? Rasa bersalah?
Tapi ia segera mengalihkan pandangan.
"Meeting dibatalkan," jawabnya singkat.
Hening.
Alara ingin bertanya banyak hal. Ingin bilang tentang Kiara. Ingin cerita bahwa hari ini sedikit lebih baik. Tapi ia tahu—Nathan tidak peduli.
"Aku ke kamar dulu," kata Alara akhirnya.
Ia melangkah menuju tangga, tapi suara Nathan menghentikannya.
"Alara."
Ia berbalik. Nathan menatapnya—tatapan yang sulit dibaca.
"Tentang malam itu..." Nathan berhenti, seolah mencari kata yang tepat. "Aku... aku tidak bermaksud—"
"Tidak apa-apa," potong Alara cepat. Ia tidak kuat mendengar permintaan maaf setengah hati. "Aku sudah lupa."
Bohong. Ia tidak lupa. Tapi lebih baik begitu.
Nathan menatapnya lama, lalu mengangguk pelan.
Alara naik ke kamarnya, menutup pintu, dan bersandar di sana. Dadanya sesak—tapi kali ini bukan karena sedih.
Karena bingung.
Bingung dengan Nathan yang tiba-tiba mencoba minta maaf.
Bingung dengan Kiara yang tiba-tiba hadir seperti cahaya di kegelapan.
Bingung dengan perasaannya sendiri yang tidak ia mengerti.
Ia merogoh ponselnya, menemukan pesan dari nomor baru:
**"Hei, Alara! Ini Kiara. Aku dapat nomormu dari HRD (semoga kamu nggak keberatan hehe). Kalau kamu mau ngobrol atau butuh temen lunch, kabarin aku ya! 😊"**
Alara menatap pesan itu lama.
Lalu ia tersenyum—senyum kecil yang entah kenapa terasa hangat.
Ia membalas:
**"Terima kasih, Kiara. Aku... aku senang punya teman."**
Pesan terkirim.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam tiga minggu, Alara tidur dengan sedikit harapan di dadanya.
Ia tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa kehangatan yang ia rasakan hari ini adalah awal dari kehancuran yang akan datang.
Karena terkadang, hal yang paling berbahaya adalah bukan kegelapan.
Tapi cahaya palsu yang membutakan.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 9]**