ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#25
Wei Li bangun dengan perasaan aneh di dadanya. Bukan takut. Bukan cemas. Lebih seperti… gelisah yang tidak punya bentuk.
Ia membuka mata, menatap langit-langit kamar yang masih sama—putih, tinggi, terlalu mahal untuk seseorang yang dulu menghitung uang receh sebelum naik bus. Tangannya bergerak, menyentuh sisi ranjang yang kosong. Kun A Tai sudah bangun.
Wei Li duduk, menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Rambutnya sedikit berantakan. Ia mengusap wajah, lalu menghela napas panjang.
Hari normal kemarin… terlalu tenang, pikirnya. Dan hidup gue nggak pernah baik-baik aja terlalu lama. Ia bangkit, berjalan ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dingin. Pantulan dirinya di cermin terlihat… stabil. Tidak panik. Tidak tergesa.
Dan itu justru membuatnya waspada. Di ruang makan, Jae Hyun sudah menunggu dengan tablet di tangan. Ia mengenakan setelan sederhana, ekspresinya santai tapi matanya fokus. “Pagi, nyonya.” Wei Li mengambil roti, menggigit tanpa terlalu memikirkan rasa. “Pagi.”
Ia duduk, menyilangkan kaki. “Ada yang terjadi?” Jae Hyun tidak langsung menjawab. Ia meletakkan tablet di meja, memutar layarnya ke arah Wei Li. “Ini muncul pagi ini,” katanya.
Wei Li mencondongkan tubuh. Sebuah laporan singkat pergerakan dana, perubahan kepemilikan minor, nama-nama perusahaan cangkang. Alis Wei Li perlahan berkerut. “Ini pola lama,” katanya. “Tapi waktunya baru.”
“Benar,” jawab Jae Hyun. “Dan satu nama muncul lagi.” Wei Li menghela napas kecil. “Shen Yu An.” Jae Hyun mengangguk. “Dia tidak menyerang. Tapi dia… mendekat.” Wei Li menyandarkan punggung ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. Jarinya mengetuk pelan lengannya sendiri kebiasaan lama saat berpikir. “Dia lagi ngetes batas,” gumamnya. “Liat gue bereaksi apa nggak.”
“Dan Anda?” tanya Jae Hyun. Wei Li menyeringai tipis. “Gue lagi males main catur.” Jae Hyun tersenyum samar. “Itu jawaban paling berbahaya.” Wei Li melirik jam. “Kun A Tai?”
“Sudah di kantor,” jawab Jae Hyun. “Beliau tahu laporan ini.” Wei Li berdiri. “Oke.” Ia berjalan beberapa langkah, lalu berhenti. Menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Jae,” katanya tanpa menoleh. “Menurut lo… hidup normal itu hal bodoh buat gue sekarang?” Jae Hyun terdiam beberapa detik. “Tidak. Tapi berbahaya.” Wei Li mengangguk pelan. “Gue tau.”
Di kantor Kun A Tai, suasana lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada percakapan ringan. Tidak ada langkah terburu. Kun A Tai berdiri di dekat jendela saat Wei Li masuk. Jasnya rapi, sikapnya tenang, tapi bahunya kaku. “Kau sudah lihat laporannya,” katanya tanpa berbalik. Wei Li berdiri di belakangnya, menyandarkan satu tangan ke meja. “Iya.”
“Kau tidak terlihat terkejut.” Wei Li tersenyum tipis. “Karena dia nggak nyerang.” Kun A Tai menoleh. “Dan itu lebih buruk.”
Wei Li mengangkat bahu. “Tergantung sudut pandang.” Ia berjalan ke samping Kun A Tai, berdiri sejajar, menatap kota di bawah sana. Gedung-gedung menjulang, lalu lintas padat, kehidupan berjalan tanpa peduli siapa yang bermain kotor di atasnya. “Dia sedang mengincar ku,” kata Wei Li. Kun A Tai mengangguk. “Aku tahu.”
“Bukan buat ngebunuh,” lanjut Wei Li. “tapi buat ngerusak pelan-pelan.” Kun A Tai mengepalkan tangan, lalu melepaskannya. “Aku tidak akan membiarkannya.”
Wei Li menoleh. “Aku tau. Tapi aku juga nggak mau lo bergerak gegabah.” Kun A Tai menatapnya tajam. “Kau melindunginya?”
Wei Li menggeleng. “Gue melindungi kita.” Keheningan jatuh. Tidak lama, tapi cukup berat. Kun A Tai akhirnya berkata, “Apa yang kau inginkan?” Wei Li menghela napas, lalu berkata jujur, “Waktu.” Kun A Tai mengernyit. “Untuk apa?”
“Buat hidup,” jawab Wei Li. “Sedikit aja. aku butuh untuk mengingat diri sendiri kenapa aku repot-repot bertahan.” Kun A Tai menatapnya lama. “Dan jika waktu itu memberinya celah?” Wei Li menatap balik. “Maka itu risiko ku”
Kun A Tai tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, lalu perlahan mengendur. “Aku akan memperketat pengawasan,” katanya akhirnya. “Tanpa menarik perhatian.” Wei Li mengangguk. “Deal.”
Sore itu, Wei Li kembali ke rumah lebih awal. Ia menolak tawaran rapat tambahan. Menolak makan malam formal. Ia ingin sendiri. Di kamarnya, ia membuka buku catatan. Membaca ulang kalimat yang ia tulis semalam. 'Gue mau hidup. Bukan cuma menang' ia menutup buku, menatap langit-langit.
“Lo bikin hidup lo ribet, Wei,” gumamnya pada diri sendiri. “Padahal bisa aja lo nikmatin semua ini tanpa mikir.” Tapi ia tahu itu bohong. Ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Wei Li menatap layar beberapa detik sebelum menjawab.
“Halo?” Suara di seberang lembut, hampir ramah. “Nona Tian.” Wei Li menegakkan punggung. “Siapa ini?”
“Tuan Shen mengirim salam.” Wei Li tersenyum kecil. “Salam diterima. Tapi gue lagi nggak nerima tamu.”
“Tuan Shen hanya ingin memastikan kesehatan Anda,” lanjut suara itu. “Beliau mendengar Anda sedang… menikmati hidup baru.”
Wei Li tertawa pelan. “Wah, perhatian banget.” Keheningan berlangsung singkat. “Beliau berharap Anda tidak melupakan posisi Anda,” kata suara itu. Wei Li mencondongkan tubuh ke depan, siku bertumpu di lutut. “Posisi ku jelas.”
“Apakah begitu?” Wei Li menyeringai. “Kalau mau ngomong, bilang ke dia langsung. Jangan kirim kurir.” Telepon terputus. Wei Li menatap layar kosong, lalu menghembuskan napas panjang. Tangannya mengepal sebentar, lalu dilepas. Retakan kecil, pikirnya. Dan dia nyoba masuk dari situ.
Malamnya, Wei Li berdiri di balkon. Udara dingin menyentuh kulitnya. Ia memeluk lengannya sendiri, merasakan denyut jantung yang stabil. Kun A Tai muncul di belakangnya. Tidak menyentuh. Hanya berdiri cukup dekat. “Ada panggilan,” kata Wei Li tanpa menoleh.
“Aku tahu.”
Wei Li menoleh. “kau akan marah?” Kun A Tai menggeleng. “Aku akan berhati-hati.” Wei Li mengangguk. “ya aku juga.” Mereka berdiri diam, menatap kota. Di kejauhan, lampu-lampu tetap menyala. Dan di antara ketenangan itu, Wei Li tahu hari normalnya sudah berakhir. Tapi kali ini, ia tidak ingin lari. Ia ingin memilih.